Kita masih berada dalam sermon series liturgi, dan minggu ini kita telah memasuki minggu yang ketiga. Tema khotbah hari ini adalah lebih dari sebuah khotbah: firman yang membuka mata, menyentuh hati, dan mengubahkan hidup. Hari ini kita akan bersama-sama merenungkan esensi dari firman Tuhan di dalam liturgi ibadah yang kita lakukan, dan juga firman Tuhan di dalam liturgi hidup kita.

BACAAN: Mazmur 19:1-15
[1] Untuk pemimpin biduan. Mazmur Daud.
[2] Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya.
[3] Hari meneruskan berita itu kepada hari dan malam menyampaikan pengetahuan itu kepada malam.
[4] Tidak ada berita dan tidak ada kata, suara mereka tidak terdengar;
[5] tetapi gema mereka terpencar ke seluruh dunia, dan perkataan mereka sampai ke ujung bumi. Ia memasang kemah di langit untuk matahari,
[6] yang keluar bagaikan pengantin laki-laki yang keluar dari kamarnya, girang bagaikan pahlawan yang hendak melakukan perjalanannya.
[7] Dari ujung langit ia terbit, dan ia beredar sampai ke ujung yang lain; tidak ada yang terlindung dari panas sinarnya.
[8] Taurat TUHAN itu sempurna, menyegarkan jiwa; peraturan TUHAN itu teguh, memberikan hikmat kepada orang yang tak berpengalaman.
[9] Titah TUHAN itu tepat, menyukakan hati; perintah TUHAN itu murni, membuat mata bercahaya.
[10] Takut akan TUHAN itu suci, tetap ada untuk selamanya; hukum-hukum TUHAN itu benar, adil semuanya,
[11] lebih indah dari pada emas, bahkan dari pada banyak emas tua; dan lebih manis dari pada madu, bahkan dari pada madu tetesan dari sarang lebah.
[12] Lagipula hamba-Mu diperingatkan oleh semuanya itu; dan orang yang berpegang padanya mendapat upah yang besar.
[13] Siapakah yang dapat mengetahui kesesatan? Bebaskanlah aku dari apa yang tidak kusadari.
[14] Lindungilah juga hamba-Mu terhadap orang yang kurang ajar; janganlah mereka menguasai aku! Maka aku menjadi tak bercela dan bebas dari pelanggaran besar.
[15] Mudah-mudahan Engkau berkenan akan ucapan mulutku dan renungan hatiku, ya TUHAN, gunung batuku dan penebusku.
Selama lima minggu ini, kita mempelajari esensi tiap rangkaian liturgi yang membentuk dan mendewasakan iman kita agar semakin serupa dengan Tuhan. Pada minggu pertama, kita belajar tentang call to worship sebagai undangan untuk memusatkan hati pada kasih setia Tuhan, bukan pada hal-hal lahiriah. Minggu lalu, melalui confession of sin, kita diingatkan pentingnya mengaku dosa dan bertobat karena tanpa pertobatan, tidak ada relasi dengan Tuhan.

Hari ini, kita masuk ke bagian berikut dari liturgi ibadah kita, yaitu firman Tuhan.
Ketika berbicara tentang firman Tuhan dalam ibadah, banyak orang Kristen yang memiliki pemahaman bahwa firman Tuhan adalah bagian yang terpenting dari seluruh liturgi, bahkan dianggap sebagai puncak dari ibadah. Sehingga, tanpa sadar, bagian-bagian liturgi lainnya cenderung dianggap remeh atau lebih rendah.
Mungkin ini bisa diumpamakan seperti orang yang makan di restoran mewah. Biasanya ada appetizer atau makanan pembuka, misalnya roti dengan mentega dalam porsi kecil untuk menggugah selera. Setelah itu baru masuk ke main course, menu utama seperti nasi dengan berbagai lauk atau steak. Lalu ditutup dengan dessert yang manis seperti kue atau es krim.
Nah, ada orang-orang yang menganggap liturgi ibadah seperti itu: yang penting main course-nya, sehingga bagian lainnya dianggap kurang penting.
Sebaliknya, ada juga orang-orang yang justru memperlakukan firman hanya sebagai informasi, motivasi, atau sekadar panduan praktis. Tentu tidak salah kalau firman memberikan pengertian, meneguhkan, bahkan menolong kita dalam menjalani kehidupan ini. Tapi kalau ibadah dan firman hanya berhenti di situ, akhirnya kita menempatkan diri kita sebagai pusatnya. Ukurannya selalu menjadi: “Apa yang saya dapat? Apa yang dapat memperbaiki hidup saya?”
Padahal, firman bukanlah sekadar informasi untuk menambah pengetahuan. Firman bukan sekadar motivasi untuk membuat hati kita merasa lebih baik, tetapi firman adalah undangan dari Tuhan sendiri untuk kita mengenal-Nya, mengasihi-Nya, dan menaati-Nya. Inilah esensi dari firman Tuhan.
Kalau memperhatikan khotbah-khotbah di gereja kita, temanya memang sangat beragam. Ada yang membahas tentang pekerjaan, keluarga, pernikahan, kekudusan, identitas, bahkan pertobatan—sangat beragam. Tapi mungkin juga muncul pertanyaan, mengapa pada akhirnya dari semua khotbah yang beragam itu, ujungnya selalu diarahkan kembali kepada Yesus dan salib?
Sebenarnya hal ini berbicara tentang motivasi hati. Sadar atau tidak sadar, setiap kita digerakkan oleh sesuatu: bisa lingkungan, perasaan, ambisi, bahkan rasa bersalah atau rasa takut. Semua itu akhirnya menjadi pegangan hidup kita, disadari atau tidak.
Jika khotbah hanya memberi informasi dan motivasi, kita mudah jatuh ke dua ekstrem: moralisme (berusaha taat agar diterima Tuhan hingga menjadi sombong) atau keputusasaan (merasa tak akan pernah sanggup memenuhi standar-Nya). Karena itu, setiap khotbah harus kembali pada Injil: menyingkapkan bahwa kita tak mampu, namun Kristus telah menyelesaikannya. Hanya dengan bersandar pada Dia hati kita dipulihkan.
Kembali ke Mazmur 19. Seperti kebanyakan Mazmur lainnya, Mazmur ini memiliki genre puisi. Terkait Mazmur 19 ini, C.S. Lewis pernah mengatakan, “Saya menganggap Mazmur 19 sebagai puisi terhebat dalam kitab Mazmur dan salah satu lirik terhebat di dunia.” Mengapa C.S. Lewis bisa mengatakan demikian? Karena Mazmur 19 secara spesifik menggambarkan bagaimana Tuhan yang kudus dan mulia menyatakan diri-Nya kepada manusia ciptaan-Nya.
Inti dari Mazmur 19 adalah seperti ini: di bagian awal, Mazmur 19 menunjukkan bahwa Tuhan menyatakan diri-Nya melalui ciptaan. Ini yang kita kenal dalam istilah teologi sebagai wahyu umum. Disebut umum karena pengetahuan tentang Tuhan melalui ciptaan ini dinyatakan kepada semua orang di seluruh dunia tanpa terkecuali. Lalu, di bagian berikutnya dari Mazmur ini, kita melihat bagaimana Tuhan menyatakan diri-Nya melalui firman. Ini yang kita kenal sebagai wahyu khusus. Disebut khusus karena tidak semua orang di dunia membaca dan percaya firman.
Jadi, inti dari Mazmur 19 adalah bagaimana Tuhan menyatakan diri-Nya kepada manusia, supaya kita dapat mengenal Dia. Mazmur ini mengingatkan bahwa Tuhan yang Mahabesar dan Mahamulia itu juga adalah Tuhan yang sangat personal.

James Johnston dalam bukunya menyimpulkan demikian: pesan dari Mazmur 19 adalah bahwa kemuliaan Tuhan yang dinyatakan di langit mengarahkan kita kepada kasih karunia Tuhan yang dinyatakan di dalam Alkitab.
Sekarang mari melihat bagian-bagian dari Mazmur 19 ini. Di bagian awal kita melihat bagaimana Tuhan menyatakan diri-Nya melalui ciptaan. Dari Mazmur 19 kita langsung tahu bahwa penulisnya adalah Daud, meski tidak ada catatan detail kapan tepatnya ia menulisnya. Kita tahu bahwa sebelum menjadi raja, Daud terbiasa menggembalakan domba milik ayahnya. Ia tahu bagaimana rasanya duduk sendirian di malam hari di padang yang terbuka sambil menjaga kawanan domba.
Di ayat kedua, terlihat kekaguman Daud akan Tuhan. Ia menggambarkan langit dan cakrawala seperti manusia yang dapat berbicara: mereka menceritakan kemuliaan Tuhan dan memberitakan pekerjaan tangan-Nya. Bisa dibayangkan saat itu Daud duduk menjaga domba, menatap langit dan terkagum-kagum akan ciptaan Tuhan. Allah Roh Kudus pun menginspirasinya menulis bagian ini.
Kemudian, di bagian berikutnya, Daud menggambarkan kekagumannya akan Tuhan saat melihat matahari. Langit digambarkan seperti kemah, dan matahari seperti seorang mempelai pria yang keluar dari kemahnya dengan sukacita karena akan berjumpa dengan mempelai perempuannya. Daud juga menggambarkan matahari seperti seorang pahlawan yang bersemangat melakukan perjalanannya.
Dari bagian awal ini kita dapat menyimpulkan ada sebuah paradoks: ciptaan tidak berbicara, tetapi suaranya bergema ke seluruh bumi. Artinya, semua orang di segala tempat bahkan sampai ke pelosok terdalam sekalipun mendengar ciptaan berkhotbah tentang Tuhan.
Warren Wiersbe mengatakan, “Ciptaan adalah sebuah buku tanpa kata yang bisa dibaca oleh semua orang karena tidak membutuhkan terjemahan.” Ciptaan menunjukkan kepada kita kebesaran dan keagungan Sang Pencipta, sehingga seharusnya tidak ada seorang pun yang dapat berdalih dan mengatakan Tuhan tidak ada.
Seperti yang Paulus katakan dalam Roma 1:20, “Sebab apa yang tidak nampak dari pada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih.”
Jadi, kalau ada di antara kita yang mungkin berkata di dalam hati, “Aku tidak melihat kemuliaan Tuhan dari ciptaan,” coba bayangkan ini: kita berteriak kepada orang yang berdiri hanya satu meter di depan kita. Jaraknya sangat dekat, tapi orang itu tidak merespons. Ada dua kemungkinan: pertama, mungkin ia tuli. Kedua, mungkin ia dengan sengaja mengabaikan kita.
Kalau kita merasa tidak dapat melihat, mendengar, atau merasakan kemuliaan Tuhan dari ciptaan, cukup beranikah dan jujurkah kita untuk bertanya: mungkinkah saya tuli, atau mungkin saya sedang mengabaikan Tuhan?
Bagian awal Mazmur 19 ini menegaskan bahwa sesungguhnya tidak ada satu pun manusia yang tidak dapat menyadari kemuliaan dan kebesaran Tuhan. Setiap manusia, di lubuk hati terdalamnya, tahu bahwa Tuhan ada, karena ciptaan dengan jelas dan tanpa henti mengkhotbahkannya.
Kalau ciptaan dapat menyingkapkan kemuliaan Tuhan, pertanyaannya: bisakah kita benar-benar mengenal Dia dan kasih-Nya hanya dari ciptaan? Masalahnya, ciptaan memang mengkhotbahkan kemuliaan Tuhan, tapi tidak dapat mengkhotbahkan kasih-Nya. Pengenalan lewat ciptaan bersifat subjektif, biasanya muncul saat kita “healing” ke tempat indah seperti Tretes, Batu, atau Puncak—melihat sunrise, gunung, atau alam lalu berkata, “Tuhan baik.” Tapi pengalaman itu sementara; saat kembali ke rutinitas, stres pun kembali.

Kita melihat gunung yang indah, sunrise yang indah, laut yang jernih, semua itu menakjubkan. Dan dari ciptaan yang kita lihat itu, kita bisa kagum dan bisa menyimpulkan Tuhan baik, Tuhan kasih. Tapi apakah yang ditunjukkan ciptaan akan selalu seperti itu? Apakah ciptaan akan selalu berkhotbah seperti itu?
Bagaimana dengan gempa bumi? Bagaimana dengan banjir? Bagaimana dengan tanah longsor? Bukankah itu alam? Bukankah itu ciptaan? Bukankah itu juga khotbah dari ciptaan? Kalau ada gempa bumi terjadi, semua bangunan roboh, hanya satu yang berdiri: gereja. Bisakah kita bilang Tuhan baik? Mungkin kita bisa bilang Tuhan baik. Tapi bagaimana kalau sebaliknya? Semua bangunan berdiri kokoh, hanya satu yang roboh: gereja. Bisakah kita bilang Tuhan baik, Tuhan kasih? Paling mungkin kita bertanya, “Bagaimana mungkin Tuhan mengizinkan penderitaan ini kepada umat-Nya?”
Itulah yang terjadi kalau kita merasa dapat mengenal Tuhan hanya melalui ciptaan. Kita tidak akan pernah sungguh mengenal Tuhan kita. Pengenalan kita subjektif, fokusnya ada pada diri kita. Karena akibat dosa, kecenderungan kita adalah transaksional, termasuk dalam pengenalan kita akan Tuhan. Fokusnya balik lagi ke kita.
Ketika ciptaan terlihat indah, kita bisa bilang Tuhan baik, Tuhan kasih. Tapi sewaktu alam dan ciptaan berkhotbah yang menakutkan, yang membuat kita enggak nyaman, kita bertanya, “Tuhan di mana?” Ciptaan bisa membuat kita kagum akan Tuhan, tapi ciptaan tidak bisa membawa kita mengenali Tuhan yang sebenarnya.
Seandainya kita contohkan, misalnya kita adalah penggemar seorang pelukis. Kita membeli semua lukisannya, kita mengagumi semua karya lukisannya, setiap goresan tangannya. Apakah itu menjamin kalau kita mengenali pribadi si pelukis? Tidak. Kita bisa tahu dia berbakat, kita bisa mengagumi keahliannya, tapi kita tidak akan tahu siapa dia sebenarnya, apa isi hatinya, karakternya.
Demikian juga dengan ciptaan. Kita bisa kagum akan kemuliaan Tuhan, tapi itu tidak akan membuat kita mengenal hati-Nya. Ini yang perlu kita pahami. Ciptaan menolong kita memiliki pengetahuan tentang Tuhan, tapi ciptaan tidak akan dapat membawa kita kepada pengenalan pribadi akan Tuhan. Ciptaan berkhotbah tentang kebesaran dan kemuliaan Tuhan, tetapi hanya firman yang menyingkapkan siapa Dia sebenarnya dan betapa Dia mengasihi kita.
Inilah maksud dari Mazmur 19 dituliskan. Sebagai orang percaya kita tidak boleh berhenti pada ciptaan. Kita perlu belajar mengenal dan mencintai Tuhan melalui firman-Nya. Seperti yang dikatakan Warren Wiersbe, suara kemuliaan Tuhan yang dinyatakan melalui ciptaan mempersiapkan jalan bagi suara kasih karunia-Nya yang dinyatakan melalui Injil.
Oleh sebab itu, Daud di bagian berikutnya menekankan bagaimana Tuhan menyatakan diri-Nya melalui firman. Setelah Daud menyatakan kekagumannya akan kemuliaan Tuhan yang dinyatakan melalui ciptaan, dia tiba-tiba banting setir, berbalik kepada kekagumannya akan firman Tuhan yang dinyatakan-Nya kepada dia.
Pada waktu Daud menuliskan kekagumannya akan Tuhan yang dinyatakan melalui ciptaan, Daud menggunakan nama umum untuk Tuhan, Elohim — satu kali. Tapi pada waktu dia menuliskan bagian yang berikutnya, yaitu firman Tuhan, Daud menyebut Tuhan dengan sebutan Yahwe sebanyak tujuh kali. Yahwe adalah nama perjanjian. Tuhan memberikan nama itu sewaktu perjumpaan-Nya dengan Musa di semak yang terbakar. Ini bisa dibaca di kitab Keluaran. Yahwe adalah nama yang Tuhan nyatakan kepada umat pilihan-Nya yang ada di dalam perjanjian kasih dan relasi dengan-Nya.
Terkait hal itu, Tim Keller menuliskan seperti ini: Mazmur 19 mengatakan, “Jika kamu ingin mengetahui tentang Tuhan — Tuhan yang mulia, agung, dahsyat — lihatlah keindahan ciptaan alam. Tapi jika kamu ingin mengetahui bahwa Tuhan yang mulia dan agung itu mengasihi kamu, dan bahwa kamu dapat masuk ke dalam hubungan kasih yang pribadi dan intim dengan-Nya, satu-satunya cara untuk mengetahuinya adalah melalui Kitab Suci.”
Pada ayat 8 sampai 10, Daud memberikan penggambaran yang begitu luar biasa akan kesempurnaan dari firman Tuhan dan dampaknya bagi hidupnya. Kalau kita perhatikan, ada enam istilah yang Daud gunakan untuk menggambarkan firman Tuhan, yaitu Taurat, peraturan, titah, perintah, takut akan Tuhan, dan hukum. Seolah-olah Daud sedang memegang sebuah permata dan memperlihatkan setiap kilaunya dari berbagai sisi.
Mari kita lihat apa yang Daud sedang tunjukkan ini. Firman itu bukan sekadar kata-kata. Firman Tuhan itu hidup. Dikatakan: firman itu menyegarkan, firman itu memberikan hikmat, firman itu membuat hati bersukacita, firman itu menerangi mata kita, firman itu menumbuhkan rasa hormat yang murni dan tulus kepada Tuhan, dan firman itu menegakkan kebenaran yang kekal.

Inilah sebabnya bagian firman di dalam liturgi ibadah kita begitu penting. Setiap kali kita mendengarkan firman di dalam ibadah, kita sesungguhnya sedang membuka hati kita untuk menerima air segar, menerima makanan rohani, dan cahaya yang memberikan arah. Ini bukan sekadar sebuah bagian dari acara ibadah. Ini adalah saat di mana Tuhan sendiri berbicara kepada kita.
Tapi tidak hanya itu. Liturgi tidak berhenti di gereja. Firman Tuhan juga sangat penting dalam kita menjalani liturgi kehidupan kita sehari-hari. Seperti roti yang kita makan setiap hari, firman harus menjadi santapan harian kita. Seperti cahaya yang kita perlukan setiap saat, firman harus menerangi jalan kita — di rumah, dalam pekerjaan, dalam studi di kampus, dan dalam pergumulan yang sedang kita hadapi.
Itulah sebabnya Daud di ayat ke-11 mengatakan, firman itu lebih indah dari emas, bahkan emas tua, dan lebih manis dari madu — bahkan madu tetesan dari sarang lebah.
Di bagian ini kita akan melihat bagaimana seharusnya respons hati kita terhadap firman yang telah kita terima. Setelah Daud merenungkan kemuliaan Tuhan yang dinyatakan melalui ciptaan, dan setelah ia menikmati manisnya firman Tuhan yang lebih berharga dari emas dan lebih manis daripada madu, ia tidak berhenti sampai di situ. Semua kekaguman itu justru membawanya kepada satu hal yang sangat pribadi: respons hati di hadapan Tuhan.
Ia melihat kepada dirinya sendiri dan menyadari keberdosaannya. Setelah mengenal siapa Tuhan, barulah Daud mengenali siapa dirinya. Seperti yang dikatakan oleh John Calvin, manusia tidak akan pernah sungguh-sungguh mengenal dirinya kecuali ia terlebih dahulu memandang wajah Tuhan dan kemudian turun dari merenungkan Dia untuk memeriksa dirinya sendiri. Dari sinilah Daud meresponsinya dengan doa.
Dalam doanya, ia berkata, “Siapakah yang dapat mengetahui kesesatannya? Bebaskanlah aku dari apa yang tidak aku sadari.” Firman Tuhan bukan hanya indah, tetapi juga menyingkapkan dosa yang tersembunyi di dalam hati manusia. Bahkan Daud, seorang raja dan nabi, sadar bahwa ada dosa-dosa yang tidak ia sadari, dan ia memohon agar Tuhan membebaskannya.
Lalu ia melanjutkan di ayat 14, “Lindungilah hambamu terhadap orang yang kurang ajar supaya mereka jangan berkuasa atasku, maka aku menjadi tidak bercela dan bebas dari pelanggaran besar.” Perhatikan frase “orang yang kurang ajar” ini. Bukan berbicara tentang orang-orang di luar Daud yang mencoba menindas dan menguasai dia, melainkan tentang sikap hati manusia yang angkuh dan berani melawan Tuhan. Dalam teks aslinya, kata yang dipakai berarti “congkak”, menunjuk kepada dosa yang dilakukan dengan sengaja, dengan hati yang menentang Tuhan.
Dengan kata lain, seruan doa Daud seperti ini: “Ya Tuhan, jangan biarkan aku dikuasai oleh kesombongan dan dosa yang disengaja supaya aku tidak jatuh ke dalam pelanggaran besar.” Inilah pengakuan Daud. Ia sadar bahwa ancaman terbesar bukan datang dari luar, melainkan dari dalam hatinya. Karena itu ia berdoa supaya Tuhan melindungi dan menjaganya, agar ia tetap murni, bebas dari pelanggaran besar, dan dapat hidup berkenan di hadapan Tuhan.
Akhirnya, Daud menutup dengan sebuah doa yang indah dan personal: “Mudah-mudahan Engkau berkenan akan ucapan mulutku dan renungan hatiku, ya Tuhan, gunung batuku dan penebusku.” Di sini tampak penyerahan total dari Daud. Ia tidak hanya meminta dijaga dari dosa, tetapi juga mempersembahkan seluruh hidupnya—perkataannya, pikirannya, bahkan isi hatinya—supaya berkenan kepada Tuhan.

Perjumpaan dengan Tuhan melalui firman selalu menuntun kita pada kerendahan hati. Firman menyingkapkan isi hati kita, menegur dosa yang kita sadari maupun tidak, dan menuntun kita mempersembahkan seluruh hidup kepada-Nya. Namun pertanyaannya: mampukah kita mencintai firman Tuhan dan menaati-Nya dengan kekuatan sendiri? Sebagai manusia berdosa, kita cenderung mengabaikan kebenaran dan melawan kehendak-Nya. Daud pun menyadari bahwa sejak dalam kandungan ia telah berdosa. Ia merindukan hidup yang tidak bercela, namun tahu dirinya lemah dan tidak mampu.
Kerinduan itu hanya dapat dipenuhi oleh satu Pribadi: Yesus Kristus. Ia satu-satunya yang benar-benar mengasihi hukum Tuhan dan melakukannya dengan sempurna. Sepanjang hidup-Nya, Yesus hidup tidak bercela (tamim), sepenuhnya taat kepada kehendak Bapa—bahkan sampai mati di kayu salib. Di sana, Ia yang sempurna rela menjadi tercela, menanggung hukuman yang seharusnya kita tanggung. Apa yang tampak sebagai kekalahan justru menjadi jalan kemenangan: salib yang hina menjadi tempat kemuliaan dan kasih Allah dinyatakan. Di sana kita yang berdosa diampuni, dibebaskan, dan diberi hidup baru.
Yesus, Sang Firman yang hidup, bukan hanya menyelamatkan kita lalu membiarkan kita, tetapi terus memimpin kita agar semakin serupa dengan Dia melalui kebenaran firman. Karena itu, firman bukan sekadar rutinitas, motivasi, atau panduan praktis—firman adalah undangan Tuhan agar kita mengenal Dia, mengasihi Dia, dan menaati Dia.
Itulah sebabnya firman menempati tempat penting dalam liturgi ibadah kita dan dalam liturgi hidup kita. Saat firman dibacakan dan diberitakan, Tuhan sendiri sedang berbicara kepada kita. Firman menolong kita mengenal Tuhan sekaligus mengenal diri, sehingga kita menjadi orang yang tahu diri—kenal Tuhan, kenal diri, tahu diri. Dan pada akhirnya, firman membawa kita bersandar hanya kepada Kristus, penyelamat hidup kita.
REFLEKTIF
1. Bagaimana selama ini sikap saya dalam memperlakukan Firman Tuhan; baik dalam liturgi ibadah, maupun dalam liturgi kehidupan?
2. Apa bukti bahwa saya benar-benar mengasihi Sang Firman, Yesus Kristus, yang telah menyerahkan diri-Nya bagi saya?
3. Sadarkah saya bahwa tanpa Firman, saya tidak mungkin mengenal Tuhan dan tidak akan bertumbuh dalam keserupaan dengan-Nya?
Orang Berinjil