Bacaan : Mazmur 69
Judul khotbah hari ini terdengar cukup menyeramkan: Anger and the Gospel—kemarahan dan Injil. Bagi yang biasa menikmati khotbah dengan nuansa humor dan ringan, kali ini akan terasa berbeda. Tema hari ini cukup serius: tentang kemarahan.
Khotbah ini dimulai dengan sebuah pertanyaan reflektif: siapa yang tidak bermasalah dengan kemarahan? Pertanyaannya saja mungkin sudah cukup memancing emosi. Kenyataannya, hampir semua orang memiliki persoalan dalam mengelola kemarahan. Tapi, apakah kemarahan itu sendiri selalu salah? Tidak selalu demikian. Ada kemarahan yang justru kudus—holy anger—seperti yang ditunjukkan oleh Allah sendiri. Kadang, marah memang perlu.
Namun, saat melihat orang lain marah, sering muncul perasaan bahwa diri sendiri lebih baik. Padahal, bisa jadi hanya karena tidak se-ekspresif orang lain. Bukan berarti lebih benar. Contohnya, seorang suami yang mudah meledak-ledak seperti LPG 3 kilo warna melon—meledak karena hal kecil, gebrak meja, banting barang. Di sisi lain, istrinya terlihat tenang dan tidak menunjukkan kemarahan. Tapi apakah dia tidak menyimpan kemarahan? Belum tentu. Tanpa sepengetahuan suami, istri itu menggunakan sikat gigi suaminya untuk membersihkan kloset, lalu mencucinya kembali dan menaruhnya di tempat semula. Setiap kali si suami menyikat gigi, dalam hati si istri berkata, “Hm, rasain.” Sebuah ide yang bisa jadi jenius—atau mengerikan—bagi banyak orang.
Kebenarannya adalah hampir semua orang memiliki masalah dengan kemarahan, hanya saja ekspresinya berbeda. Ada yang lebih sedikit mengekspresikan, tapi bukan berarti lebih sedikit bersalah. Karena itu, penting untuk belajar mengelola kemarahan. Bukan dengan menghilangkan semua orang yang membuat marah, tetapi dengan mengendalikan diri.
Hari ini, pembahasan akan berpusat pada sebuah teks dari Mazmur. Bukan Mazmur biasa, tapi Mazmur kutukan—yang berisi permohonan pemazmur kepada Allah untuk menghukum musuh-musuhnya dengan cara yang terdengar menyeramkan. Teks yang dipilih adalah Mazmur 69.
Alasan pemilihan teks ini cukup jelas. Mazmur 69 termasuk salah satu yang paling sering dikutip dalam Perjanjian Baru, bersama dengan Mazmur 22 dan Mazmur 110. Selain itu, ini adalah Mazmur kutukan terpanjang—37 ayat. Topiknya sulit, teksnya pun tidak mudah. Tapi justru di situlah letak tantangannya.
Tentu saja, tidak semua ayat akan dibacakan. Sempat terbayang, bagaimana jika semua ayat dibacakan secara puitis, penuh ekspresi dan emosi, lalu waktu habis dan khotbah ditutup dengan kalimat, “Kiranya Roh Kudus yang menjelaskan sendiri.” Tapi kali ini pembahasan akan lebih umum, tidak mendetail seperti biasanya, karena keterbatasan waktu.
Mazmur 69 adalah Mazmur ratapan. Seperti banyak Mazmur lainnya, ia berisi keluhan, permohonan, dan keyakinan kepada Tuhan. Elemen-elemen ini membentuk struktur dasar dari jenis Mazmur ratapan.
Saat membaca Alkitab, penting untuk memahami jenis sastranya—genre-nya. Dalam hal ini, teksnya adalah puisi, berbentuk Mazmur, dan termasuk dalam kategori ratapan. Memahami jenis sastra ini akan membantu dalam penafsiran.
Salah satu ciri khas puisi, terutama Mazmur, adalah adanya pengulangan atau paralelisme. Jika surat biasa ditulis secara linear—A, B, C, D, E—maka Mazmur bisa berpola A-B-C lalu diulang kembali: A-B-C, atau A-B lalu B-C. Dengan kata lain, keluhan bisa ditemukan di awal dan di bagian akhir. Permohonan tersebar di beberapa bagian. Pembaca tidak bisa membacanya secara linear, tetapi harus memperhatikan strukturnya.
Informasi ini penting agar ketika mendengar kutipan ayat yang lompat-lompat, tidak dianggap sebagai kutipan sembarangan. Justru karena memahami strukturnya, maka pembacaan dan penjelasannya harus mengikuti pola puisi tersebut.
Jika penjelasan awal ini sudah bisa dipahami, maka kini saatnya melihat apa sebenarnya persoalan yang sedang dihadapi oleh pemazmur. Setelah itu, akan dilihat bagaimana pemazmur memohon kepada Tuhan.
Persoalan yang Dihadapi Pemazmur
Mari kita lihat persoalan yang sedang dihadapi oleh pemazmur dalam Mazmur 69 ini. Kalau kita membaca mazmur ini secara perlahan dan teliti, kita akan segera menyadari bahwa pemazmur sedang berada dalam situasi yang sangat sulit dan menyakitkan—dia dikepung oleh banyak musuh, padahal dia tidak bersalah. Persoalannya bukan karena dia melakukan kejahatan atau kesalahan tertentu, tapi karena ia setia kepada Tuhan. Ayat 5 berkata, “Orang-orang yang membenci aku tanpa alasan lebih banyak dari rambut di kepalaku; orang-orang yang hendak membinasakan aku, yang memusuhi aku tanpa sebab, terlalu besar jumlahnya.” Ini adalah bentuk hiperbola yang kuat. Kalau saya tanya kepada Saudara—siapa di sini yang punya musuh lebih banyak daripada rambut di kepalanya? Tentu itu pertanyaan yang terdengar tidak masuk akal. Mungkin kalau saya ganti: siapa yang punya musuh lebih banyak dari mantan? Nah, mungkin mulai bisa dijawab.
Tapi pemazmur di sini sedang sungguh-sungguh. Bukan sekadar bercanda. Dia sedang berbicara tentang jumlah orang yang memusuhinya secara tidak masuk akal, tanpa sebab. Bahkan ada sebuah pepatah Tionghoa yang berkata, “Satu musuh terlalu banyak, seribu teman masih kurang.” Saya yakin kalau pemazmur mendengar pepatah itu, dia akan menghela napas panjang dan berkata, “Kalau seribu masih kurang, aku punya lebih dari itu. Bonus musuh.” Ini bukan musuh karena konflik pribadi, bukan karena dia menyakiti orang lain, tapi karena dia mencintai Tuhan.
Perhatikan ayat 8: “Sebab oleh karena Engkaulah aku menanggung cela, noda meliputi mukaku.” Dan ayat 10: “Sebab cinta untuk rumah-Mu menghanguskan aku, dan kata-kata yang mencela Engkau telah menimpa aku.” Dia mencintai Allah, mencintai rumah Allah, tapi justru karena itu dia dibenci. Ini sangat menyakitkan. Bukan hanya karena banyaknya musuh, tapi karena kebencian itu tidak beralasan. Dia menjadi korban fitnah, korban permusuhan, korban ketidakadilan.
Saya bisa memahami ini, meski tidak sebanding. Saya juga pernah dibenci oleh seseorang yang bahkan belum pernah saya temui. Saya pernah ditanya, “Kamu kenal si A?” Saya bilang, “Enggak. Bahkan saya baru tahu orang itu eksis di dunia ini.” Lalu orang itu menjawab, “Lho, tapi dia benci sekali sama kamu.” Saya sempat penasaran. Kok bisa? Saya coba cari tahu alasannya, dan ternyata orang itu sering didebat oleh mahasiswa di kelasnya, dan argumen sang mahasiswa selalu merujuk pada nama saya: “Menurut Yakub Trihandoko, ini tidak tepat, Pak.” Rupanya saya terkenal karena dijadikan senjata debat. Saya jadi musuh padahal saya tidak tahu apa-apa. Waktu itu saya ingat nasihat Pak Stephen Tong yang berkata, “Orang paling bodoh adalah yang mencari musuh, karena tanpa dicari, musuh akan datang sendiri.” Dan saya rasa itu benar. Kita tidak perlu cari-cari masalah, kadang masalah datang karena hal-hal sepele. Bahkan karena kita hanya berdiri di posisi yang benar.
Nah, bagi sebagian orang mungkin ini tidak masalah. “Yah, dibenci orang mah biasa.” Tapi bagi pemazmur, ini bukan hanya soal dibenci. Permusuhan itu nyata dan membawa tiga penderitaan yang sangat berat: bahaya, hinaan, dan kesendirian.
Pemazmur menggambarkan keadaannya dalam metafora yang sangat kuat dan mencekam. Di ayat 2–3 dan 15–16, ia menggambarkan dirinya seperti orang yang hampir tenggelam, air sudah sampai di leher. Seperti terjebak di dalam lumpur yang dalam: kalau dia bergerak, dia makin tenggelam; kalau diam, dia tak tahu sampai kapan bisa bertahan. Ini adalah situasi yang sangat dilematis. Saya ingat sebuah peribahasa lama: “Ibarat buah simalakama—dimakan bapak mati, tidak dimakan ibu mati.” Situasi tanpa jalan keluar.
Pemazmur juga menggambarkan dirinya seperti di “penjara air.” Dalam konteks zaman itu, penjara kadang dibuat di ruang bawah tanah yang lembab, basah, dan gelap. Hanya ada satu lubang kecil dari atas untuk cahaya dan udara. Bayangkan: basah, kedinginan, kegelapan total. Ini bukan cuma metafora emosional—ini sungguh ancaman terhadap hidupnya.
Bahkan kita pun dalam kehidupan sehari-hari cenderung lebih mudah marah kalau situasinya sudah menyentuh area bahaya. Kalau saya makan di restoran dan makanannya tidak sesuai pesanan, biasanya saya tidak marah. Saya cuma tanya, "Apakah ini sering terjadi?" Kalau tidak, ya sudah saya makan saja. Tapi pernah waktu anak saya makan, dan tiba-tiba ada stapler di makanannya. Itu membahayakan nyawa! Dan waktu itu, saya marah besar. Karena nyawa anak saya dipertaruhkan. Bahaya membuat kita kehilangan kesabaran. Dan pemazmur sedang hidup dalam situasi seperti itu—nyawanya terancam.
Mazmur 69 ini penuh dengan kata-kata seperti celaan, hina, fitnah, dan olok-olokan. Ayat 8, 10–12, 20–21 semuanya menyorot aspek ini. Di ayat 5, dia bahkan difitnah mencuri, dan disuruh mengembalikan sesuatu yang tidak dia ambil. Dia dijadikan olok-olok oleh para pemimpin di pintu gerbang—tempat para tua-tua dan pemuka kota berkumpul. Tapi lebih menyakitkan lagi, dia dijadikan lagu ejekan oleh para pemabuk.
Bayangkan itu, Saudara. Dicemooh oleh orang mabuk. Itu berarti harga diri kita benar-benar diinjak. Pernah nggak, Saudara dihina oleh orang gila? Rasanya lebih menusuk karena kita tahu mereka bahkan tidak berada dalam keadaan waras, tapi bisa merendahkan kita.
Saya pun pernah difitnah. Ada yang bilang saya tidak akan masuk surga karena menurut pendeta tertentu, saya sesat. Ada yang kasih tahu saya, “Di medsos kamu dibicarakan.” Saya jawab, “Saya bukan tipe orang yang kalau difitnah di medsos, balas di medsos. Kalau saya lakukan itu, saya sama seperti mereka.” Orang yang tidak dewasa akan selalu membalas gosip dengan gosip. Tapi kita dipanggil untuk hidup dengan hati yang kuat dan bijaksana. Tapi tetap saja, difitnah itu sakit. Nama baik dicemarkan. Reputasi dirusak.
Dan mungkin inilah penderitaan terdalam dari pemazmur: kesendirian. Ayat 9 menyebutkan bahwa dia menjadi seperti orang asing bagi saudara-saudaranya sendiri. Ketika dia berharap akan ada yang menghibur, dia tidak menemukan siapa-siapa. Tidak ada yang menemani. Tidak ada yang peduli.
Saudara, kita semua tahu, punya masalah itu sudah berat. Tapi menghadapi masalah sendirian, itu berkali-kali lipat lebih berat. Kalau kita difitnah dari luar, tapi orang-orang terdekat kita percaya pada kita, kita bisa tetap kuat. Tapi kalau fitnah itu membuat orang-orang yang kita cintai mulai menjauh dari kita, bahkan percaya kepada fitnahan itu—itu menyakitkan.
Yesus pun mengalaminya. Di taman Getsemani, Yesus berkata kepada murid-murid-Nya, “Hatiku sangat sedih, seperti mau mati rasanya. Berjaga-jagalah dengan Aku.” Tapi yang dilakukan murid-murid-Nya? Tidur. Dan ketika Dia ditangkap, mereka semua lari. Bahkan puncaknya, di atas kayu salib, Yesus ditinggalkan semua orang. Bahkan seolah-olah ditinggalkan oleh Bapa-Nya sendiri ketika Dia berseru, “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?”
Jika Saudara pernah mengalami dibenci tanpa alasan, difitnah tanpa kebenaran, dan ditinggalkan di saat paling membutuhkan, Saudara tidak sendirian. Pemazmur pernah ada di posisi itu. Bahkan Yesus pun pernah merasakannya. Maka, mari kita buka hati kita untuk mendengarkan bagaimana Mazmur ini mengajarkan kita merespons dengan iman dan pengharapan—bukan dengan kepahitan, tetapi dengan berseru kepada Allah yang mengerti penderitaan kita.
Permohonan Pemazmur kepada Tuhan
Pemazmur, dalam hal ini Daud, menyampaikan dua permohonan kepada Tuhan. Yang pertama cukup umum: ia memohon kelepasan dari penderitaan. Itu permohonan yang wajar. Kita semua pasti pernah berdoa seperti itu. Tapi yang kedua ini... yang bikin sulit. Daud minta supaya musuh-musuhnya dihukum seberat-beratnya oleh Tuhan. Dan inilah yang membuat Mazmur ini disebut sebagai mazmur kutukan.
Coba kita lihat isi doanya mulai ayat 23:
“Biarlah jamuan yang di depan mereka menjadi jerat...”
“Biarlah mata mereka menjadi gelap...”
“Tumpahkanlah amarah-Mu ke atas mereka...”
“Biarlah perkemahan mereka menjadi sunyi...”
“Biarlah mereka dihapuskan dari kitab kehidupan...”
Bacaan ini mengejutkan. Ini bukan kalimat dari buku harian orang yang sedang patah hati. Ini bagian dari Alkitab! Dan kita mungkin bertanya-tanya, “Kok bisa ya doa sekeras ini masuk dalam firman Tuhan?”
Ssiapa di sini pernah merasa begitu marah sampai dalam hati mengharapkan hal buruk terjadi kepada orang lain? Misalnya, ada musuh kita kecelakaan. Kakinya patah satu. Waktu dengar kabarnya, kita merasa... senang. Tapi bukan karena peduli. Kita senang karena... kenapa cuma satu yang patah? Harusnya dua! Nah, itu menggambarkan isi hati kita yang dalam—yang belum tentu kita ucapkan tapi ada di dalam.
Mungkin kita tidak pernah berdoa seperti Daud. Doanya terasa menyeramkan: “Biarlah pinggang mereka goyah senantiasa.” Goyah, bukan goyang ya. Beda. Kalau goyang, kena musik dikit bisa joget. Tapi kalau goyah, itu artinya tidak stabil. Bayangkan jalannya deglek-degleg terus.
Saya bisa paham doa ini. Soalnya saya baru-baru ini rontgen semua tulang, dan hasilnya... sedih. Dokter bilang, “Waktu kecil pasti sering kecelakaan.” Memang betul. Saya dulu nakal. Tapi lebih tepatnya, saya sering kalah dalam berkelahi. Pernah dikeroyok 50 orang. Dari pengalaman itu saya bisa kasih nasihat praktis: kalau mau berkelahi, pastikan menang. Kalau perlu, sebelum berkelahi, berdoalah: “Tuhan, tolong pukulan saya tepat sasaran—dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus.” Biar langsung ketemu Tuhan.
Intinya: saya tahu rasanya pinggang goyah. Jalan susah, berdiri sakit, duduk juga sakit. Jadi, waktu Daud mendoakan pinggang musuhnya goyah, saya mengerti penderitaannya.
Tapi sekarang mari kita luruskan. Ini bentuknya puisi. Dan puisi memakai bahasa hiperbolik—bahasa yang dilebih-lebihkan. Jangan dibaca secara harfiah. Namun, tetap pertanyaannya: apakah doa semacam ini tidak melanggar hukum kasih?
Jawabannya: tidak.
Kenapa?
Karena:
Daud itu raja. Dia punya kekuasaan untuk membalas. Tapi dia tidak menggunakan kuasanya. Dia malah datang kepada Tuhan dalam doa. Itu artinya dia menahan diri. Banyak orang tidak membalas kejahatan hanya karena tidak mampu. Misalnya, karyawan yang disalimi bos, dia diam saja karena takut kehilangan pekerjaan. Tapi kalau posisinya dibalik, saat kita yang punya kuasa—apakah kita tetap memilih jalan doa?
Daud marah. Tapi kemarahan itu ia bawa ke hadapan Tuhan. Bukan dilampiaskan kepada orang. Banyak orang Kristen justru sebaliknya—di hadapan orang lain marahnya meledak, tapi di hadapan Tuhan malah sok rohani. “Tuhan baik kan?” “Iya, Tuhan baik.” Padahal hatinya penuh kekecewaan.
Pemazmur sedang mengajar kita: kalau marah, datanglah kepada Tuhan. Jangan membalas. Meskipun bisa, jangan balas.
Ayat 25 berkata:
“Tumpahkanlah amarah-Mu...”
Bukan, “Tumpahkanlah amarahku.”
Ini bukan tentang pelampiasan perasaan pribadi. Ini tentang permohonan agar Tuhan menunjukkan keadilan-Nya. Di ayat 28, Daud bahkan berkata, “Jangan sampai Engkau membenarkan mereka.” Artinya: “Tuhan, mereka ini salah. Jangan biarkan mereka lolos dari penghakiman.”
Sering kali kita berdoa agar Tuhan bertindak atas musuh kita bukan karena peduli akan keadilan, tapi karena kita ingin puas. Kita ingin melihat mereka menderita. Misalnya, bayangkan ketemu mantan di jalan. Kita naik mobil mewah, dia bonceng anak-anaknya di motor. Apa perasaan kita? Kasihan? Atau... puas?
Daud berbeda. Yang dia inginkan adalah kemuliaan Tuhan. Supaya semua orang tahu: Allah itu adil.
Lihat ayat 27–29:
“Mereka mengejar orang yang Kau pukul...”
“Mereka menambah kesakitan orang-orang yang Kau tikam...”
“Janganlah mereka tercatat bersama-sama dengan orang-orang benar...”
Isunya bukan cuma pribadi. Ini tentang umat Tuhan. Daud khawatir, jika Tuhan tidak bertindak adil, umat Tuhan akan putus asa. Orang-orang benar akan kehilangan harapan. Mereka akan berkata: “Percuma hidup benar kalau tetap dikalahkan orang jahat.”
Jadi doa Daud ini adalah doa syafaat untuk umat Tuhan. Supaya keadilan Tuhan terlihat. Supaya orang-orang tidak kehilangan semangat dalam mengikut Tuhan.
Saya pernah mengalami situasi yang mirip—diperlakukan tidak adil, difitnah, dijatuhkan. Orang-orang yang tahu kebenarannya membela saya, tapi saya memilih tetap membantu orang yang menyakiti saya ketika ia membutuhkan pertolongan. Teman-teman saya protes: "Kenapa kamu bantu dia? Dia menjatuhkanmu!" Jawaban saya sederhana: "Apa yang saya rasakan tidak penting. Yang penting, apa yang memuliakan Tuhan."
Itu yang Daud ajarkan dalam mazmur ini. Ketika kita mengalami ketidakadilan, jangan langsung pikirkan perasaan kita. Perluas perspektifmu. Ini bukan cuma tentang kamu. Ini tentang umat Allah. Ini tentang keadilan-Nya. Ini tentang kemuliaan-Nya.
Itulah sebabnya Mazmur kutukan seperti ini bisa menjadi bagian dari ibadah kita: karena justru di dalam ketulusan dan keterbukaan seperti inilah, kita diajar untuk membawa luka kita ke hadapan Tuhan, bukan untuk membalas, tapi untuk berharap pada keadilan-Nya. Dan sambil kita berharap pada keadilan Allah, kita juga membuka ruang bagi kasih-Nya bekerja di dalam kita, membentuk kita bukan menjadi orang yang pahit, tapi menjadi umat yang jujur, sabar, dan tetap setia memuliakan Tuhan.