Hari ini kita akan merenungkan tema Deus Absconditus—“Allah yang tersembunyi.” Tema ini terasa relevan dengan kondisi hidup kita yang penuh pergumulan. Saya pribadi pun sedang bergumul melihat keadaan dunia. Syukurlah, ada secercah kabar baik seperti adanya upaya perdamaian di Israel. Namun di sisi lain, masih banyak penderitaan tersembunyi, seperti persekusi terhadap orang Kristen di Nigeria yang jarang terekspos. Bahkan di Indonesia, kasus intoleransi masih terjadi. Kita terus berdoa agar pemerintah sebagai wakil Allah dapat menjalankan keadilan bagi masyarakat.
Belum lagi berita-berita yang mengguncang dunia ekonomi: hanya karena satu pernyataan seorang tokoh, nilai kripto anjlok drastis. Banyak anak muda kehilangan miliaran rupiah; bahkan ada yang mengakhiri hidup karena kehilangan hartanya. Semua ini membuat kita bertanya: di mana Allah?

Kapan Allah terasa begitu tersembunyi?
Mungkin saat kita bekerja keras tanpa arah, hanya menantikan gaji tiap bulan. Mungkin juga ketika doa yang telah kita panjatkan bertahun-tahun terasa tidak dijawab, atau ketika kita jatuh dalam dosa yang sama berulang kali hingga bertanya, “Apakah Tuhan masih mau menerima saya?” Firman Tuhan berkata, “Tanpa kekudusan, tidak seorang pun akan melihat Tuhan.” Maka Allah pun terasa tersembunyi.
Namun saya ingin mengajukan pandangan lain. Gagasan Deus Absconditus ini saya ambil dari pergumulan Martin Luther, tokoh Reformasi Gereja. Luther bukan sedang hidup dalam penderitaan ekstrem; ia justru sangat aktif dalam kegiatan keagamaan dan menaati semua tradisi. Tetapi semakin giat ia beribadah, semakin jauh ia merasa dari Tuhan.
Ini menarik—karena kebenaran yang kita yakini bisa membuat kita jauh dari Allah bila kita tidak sungguh memahami kebenaran itu sendiri. Banyak anak muda juga berkata hal yang sama: “Saya berdoa, baca Alkitab, dan melayani setiap minggu, tapi justru makin sulit melihat Tuhan.” Itulah yang juga dialami Luther.
Yesaya 45:15 berkata, “Sungguh Engkau adalah Allah yang menyembunyikan diri, ya Allah Israel, Juru Selamat.” Dalam situasi sulit, kita kerap kehilangan pandangan yang benar tentang Tuhan. Bukan karena Tuhan tidak ada, melainkan karena cara pandang kita terhadap-Nya yang keliru. Maka Ia tampak tersembunyi, padahal sesungguhnya Ia tetap hadir.
Pada waktu kita bicara tentang hal ini, maka bangsa Yehuda adalah bangsa yang sedang menggumuli tentang perjalanan hidupnya. Mari kita langsung saja membuka Alkitab kita dari Ratapan pasal yang ketiga. Kita akan belajar firman Tuhan hari ini terkait dengan Allah yang tersembunyi.

BACAAN: Ratapan 3:19-26
3:19 "Ingatlah akan sengsaraku dan pengembaraanku, akan ipuh dan racun itu."
3:20 Jiwaku selalu teringat akan hal itu dan tertekan dalam diriku.
3:21 Tetapi hal-hal inilah yang kuperhatikan, oleh sebab itu aku akan berharap:
3:22 Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya,
3:23 selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu!
3:24 "TUHAN adalah bagianku," kata jiwaku, oleh sebab itu aku berharap kepada-Nya.
3:25 TUHAN adalah baik bagi orang yang berharap kepada-Nya, bagi jiwa yang mencari Dia.
3:26 Adalah baik menanti dengan diam pertolongan TUHAN.\
LATAR BELAKANG PERIKOP
Ratapan pasal 3 ditulis oleh Yeremia, yang melayani pada masa raja Yoas hingga Zedekia. Saat itu bangsa Yehuda berada dalam perbudakan akibat pemberontakan mereka terhadap Tuhan—sebuah disiplin ilahi yang keras namun adil.
Ketika perbudakan terjadi, Tuhan mengambil tiga hal penting dari mereka:

Ketiga hal ini adalah identitas bangsa Yehuda, dan semuanya direnggut dari tangan mereka.
Hal ini menggambarkan pengalaman manusia modern. Setiap orang memiliki sesuatu yang dianggap sangat berharga seperti uang, prestasi, harga diri, atau keluarga. Namun, bayangkan bila semua itu diambil apakah kita masih bisa berkata, “Tuhan adalah segalanya”?
Mudah mengucapkan bahwa Tuhan segalanya ketika kita masih memiliki banyak hal lain. Tapi baru terbukti Tuhan benar-benar segalanya ketika kita tidak punya apa-apa lagi selain Dia.
Kita tidak sedang meniadakan pentingnya uang, prestasi, atau akademik. Semua itu baik, tetapi jika menjadi pusat identitas kita, maka pandangan kita terhadap hidup telah keliru. Melalui latar belakang Ratapan ini, kita belajar: Tuhan sering kali mengambil hal-hal yang kita banggakan agar kita sadar bahwa hanya Dialah satu-satunya sandaran sejati hidup kita.
Bagian kedua berbicara bukan hanya tentang aspek historis, tetapi juga pergumulan psikologis Yeremia. Ia melayani lebih dari 50 tahun, bahkan melewati masa pembuangan 70 tahun. Dalam Ratapan pasal 1, Yeremia memulai dengan kata “Eikha”—yang berarti bukan sekadar bertanya mengapa, tetapi seruan putus asa: “Tuhan, di manakah Engkau?”
Kita pun sering berseru demikian di tengah interupsi hidup yang tak terduga. Saya sendiri pernah mengalaminya ketika menerima kabar mendadak bahwa ayah saya meninggal dunia. Setelah itu, setiap telepon berbunyi terasa menakutkan seolah membawa berita buruk lain. Hidup memang penuh kejutan yang sulit dipahami.
Pergumulan Yeremia pun bukan sesaat, tetapi berlangsung bertahun-tahun tanpa titik terang. Namun yang luar biasa, ia menuliskan Ratapan pasal 3 dengan struktur sastra yang sangat teratur: 66 ayat yang tersusun menurut 22 huruf Ibrani, tiga ayat untuk setiap huruf. Di tengah penderitaan, Yeremia tetap menulis dengan keindahan dan ketertiban—sebuah paradoks antara derita dan harmoni.
Yeremia menunjukkan bahwa di balik penderitaan, ada keindahan yang tersembunyi. Ia ingin kita melihat bahwa penderitaan tidak selalu buruk; justru di dalamnya bisa tersingkap karya Allah yang indah. Itulah esensi Injil: di kayu salib, penderitaan Kristus dibingkai dalam keindahan penebusan. Tanpa Injil, kita takkan mampu melihat makna di balik penderitaan.
Inilah Deus Absconditus—Allah yang tampak tersembunyi, namun sebenarnya sedang merangkai sesuatu yang indah di balik kekacauan hidup kita. Allah sedang merangkai sesuatu yang indah di balik semua ketidakteraturan hidupku dan hidupmu. Maka pertanyaannya, dengan pergumulan apa engkau datang hari ini?

CARA PANDANG YANG KELIRU
Saya tidak sedang meng-endorse siapa pun, tapi siapa yang menyangka bahwa sesuatu yang dianggap stabil bisa tiba-tiba ambruk? Begitu juga hari ini, banyak orang mencari “posisi aman”—membeli emas, menimbun aset—karena takut kehilangan pegangan hidup.
Namun sering kali, dalam semua usaha itu, kita justru merasa Tuhan tidak tampak. Padahal, Tuhan tidak selalu menenangkan badai; Ia menguatkan kapal jiwa kita agar tetap berlayar. Bahkan badai itu sendiri diizinkan untuk mengkalibrasi arah hidup kita, bukan sekadar menguji iman.
Kita cenderung merespons masalah dengan mencari solusi cepat, bukan perubahan arah. Tapi hidup dalam Injil mengajar kita untuk melihat bahwa setiap pergumulan adalah kesempatan Tuhan mengubah arah dan makna perjalanan hidup kita.
Saya pernah mengabaikan tanda peringatan di mobil saya—lampu odometer menyala, tapi saya matikan karena merasa semuanya baik-baik saja. Tak lama, mobil rusak berat karena timing belt hancur. Dari situ saya belajar: Tuhan sering menyalakan “lampu peringatan” dalam hidup kita. Tapi alih-alih memperbaiki masalah, kita berusaha mematikan tanda-tandanya. Kita mencari solusi instan tanpa mengubah cara pandang.
John Ortberg berkata, “Your identity is defined by the problem you embrace.” Identitas kita ditentukan oleh masalah yang kita rangkul. Jika kita menghadapi masalah hanya di permukaannya—seperti uang, karier, atau relasi—kita akan salah mengenali akar persoalan.
Masalah finansial, misalnya, bukan hanya soal uang. Kadang itu adalah masalah kontrol, kuasa, atau pengakuan diri. Banyak orang menabung besar-besaran demi masa depan agar tak merepotkan orang lain—kelihatannya bijak, tapi bisa menjadi bentuk penyembahan berhala terhadap kontrol.

PERUBAHAN CARA PANDANG ADALAH KENISCAYAAN
Kehidupan penuh interupsi yang tak bisa kita kendalikan. Karena itu, perubahan cara pandang adalah keniscayaan bagi setiap orang yang hidup dalam Kristus. Masalah bukan sekadar untuk diselesaikan, tetapi untuk diubah menjadi sarana transformasi.
Mari kita melihat Ratapan 3:19–20: “Ingatlah akan sengsaraku dan pengembaraanku, akan ipuh dan racun itu. Jiwaku selalu teringat dan tertekan dalam diriku.” Terjemahan Ibrani untuk “tertekan” lebih tepat to sink down—tenggelam. Artinya, bukan sekadar berada di bawah tekanan, tetapi benar-benar kehilangan daya untuk menguasai diri dan bangkit dari penderitaan.
Hal seperti ini tampak pada banyak orang yang bergumul dengan masa lalu. Misalnya dalam kasus KDRT, baik laki-laki maupun perempuan. Setiap kali saya berbicara dengan pelaku, pola yang sama sering muncul: “Saya tahu itu salah. Saya menyesal. Saya berjanji tidak mengulanginya.” Namun, tetap terulang lagi. Mengapa? Karena orang itu tidak lagi mampu menguasai dirinya. Ia hidup dalam pola lama yang terbentuk oleh pengalaman masa lalu—tenggelam di dalamnya.
Tak jarang, pelaku KDRT dulunya adalah korban. Masa lalu yang traumatis membentuk respons otomatis: begitu menghadapi tekanan, ia bereaksi seperti dulu. Inilah artinya “sing down”—ditarik oleh masa lalu. Karena itu, ada yang takut punya anak karena dulu disakiti orang tuanya. Ada pula yang hidup dengan pengandaian negatif: seandainya saya tak menikah dengannya, seandainya saya tak pindah kota, seandainya saya punya keluarga yang lebih baik. Hidup di masa kini tapi dikendalikan oleh masa lalu.
Analogi sederhana: gajah besar yang terikat dengan rantai kecil. Ketika kecil, ia mencoba melepaskan diri tapi gagal. Setelah besar, ia berhenti mencoba karena berpikir “saya pernah gagal.” Pengalaman masa lalu membuatnya pasrah. Begitu pula manusia yang trauma—tak lagi mau mencoba karena luka lama.
Akibatnya, stres, kecemasan, depresi, dan ketakutan muncul. Banyak orang berpikir masalahnya ada pada pasangan, pekerjaan, atau kondisi ekonomi, padahal akar sebenarnya: belum berdamai dengan masa lalu. Bahkan dalam relasi, seseorang bisa mencari pasangan baru untuk menyembuhkan luka lama, tetapi justru menggali lubang lebih dalam.
Masalah utama bukan pada besarnya penderitaan, tetapi karena kita tidak membawa Tuhan masuk ke masa lalu kita. Tuhan tidak tersembunyi; kita yang menolak menghadirkan-Nya di sana. Jika Tuhan mengizinkan masa lalu yang buruk, itu bukan untuk menghancurkan kita, melainkan untuk membentuk kita menjadi pribadi yang lebih baik.
Banyak orang kini merasa kesepian di tengah keramaian, cemas tanpa sebab, sulit tidur, atau bergantung pada obat penenang. Bantuan profesional penting, tetapi pertanyaan terdalamnya tetap: “Apa yang terjadi dengan hatiku?” Sudahkah hatiku disentuh oleh Injil? Berdamai dengan masa lalu dimulai ketika kita mengakui bahwa Kristus hadir dan berdaulat bahkan di masa lalu kita.
Paul David Tripp pernah berkata, “You never just suffer what you are suffering, but you also suffer the way you are suffering it.” Artinya, penderitaan kita bukan hanya karena situasi yang menekan, tetapi juga karena cara pandang kita yang keliru terhadap penderitaan itu sendiri. Masalah hidup menjadi rumit bukan karena tekanan luar, melainkan karena hati kita salah merespons. The heart of the problem is the problem of the heart.

MENGUBAH CARA PANDANG
Yeremia memahami hal ini ketika ia belajar mengubah cara pandangnya. Setelah berkata, “Jiwaku tertekan dalam diriku” (ay. 20), ia melanjutkan, “Tetapi hal inilah yang kuperhatikan” (ay. 21). Kata “kuperhatikan” dalam teks Ibrani berarti “menempatkan kembali,” seperti “debu kembali menjadi debu” (Kej. 3:19). Artinya, Yeremia menempatkan dirinya kembali pada rancangan Allah—bukan berpusat pada diri, tetapi pada Sang Pencipta.
Sebelum ayat itu, Yeremia berkata, “Akulah orang yang melihat” (ay. 1). Di situ ia menegaskan bahwa penderitaan adalah sesuatu yang bisa dilihat. Namun di ayat 21, ia melangkah lebih jauh: hidup bukan lagi berdasar pada apa yang terlihat, tetapi pada iman. Seperti kata Paulus, “Kita hidup oleh iman, bukan karena melihat.” Ada ketegangan antara pandangan jasmani dan pandangan iman—dan di sanalah pembaruan batin terjadi.
Ada ketegangan antara apa yang terlihat dengan apa yang iman lihat. Pertanyaannya: dengan kacamata siapa kita melihat penderitaan? Jika hanya berdasarkan apa yang kelihatan, kita akan terus berputar di tempat—replace, remove, replace, remove—tanpa bertumbuh. Tapi jika dengan iman, kita belajar memperhatikan dengan benar: bukan mengabaikan realitas, melainkan menempatkan kebenaran Injil sebagai dasar untuk memahami dan menjalani kehidupan.
Bagaimana Injil mentransformasi hidup kita dan menjadi lensa kehidupan? Apa yang sebenarnya kita lihat dalam hidup ini?
Saat melihat pertikaian pasangan suami istri, pernahkah Anda berpikir, “Tuhan, terima kasih karena Engkau menempatkan istriku yang seperti ini untuk membentuk kesabaran dan kesetiaanku”? Kadang kita lebih mudah mengeluh daripada bersyukur. Begitu pula saat ekonomi sulit dan harapan tidak terpenuhi—Tuhan sedang bertanya, “Engkau bersandar kepada siapa?” Mungkin doa-doa kita hanyalah topeng dari ketergantungan pada manusia, dibingkai dengan nama Tuhan.
Sikap hati menentukan cara kita memandang kebenaran. Tuhan tidak pernah berubah walau kondisi kita berubah, sebab Ia ingin mengubah cara pandang kita.
Seperti handphone: besar atau kecil tergantung konteks. Di saku kecil tampak besar, di ruang besar tampak kecil. Demikian juga masalah hidup. Jika kita melihatnya dari “pocket” yang kecil, masalah terasa besar. Tapi bila kita melihatnya dari “helicopter view” rencana Tuhan, kita menyadari bahwa semua pergumulan diizinkan dengan maksud yang baik.
Itulah esensi Injil. Injil bukan tentang bagaimana kita melihat hidup, melainkan bagaimana Tuhan memakai hidup untuk menyingkapkan pandangan-Nya.
Namun sering kita sulit memperhatikan karena merasa tidak membutuhkan Tuhan. Seperti buku di rumah: ketika tidak butuh, mudah terlihat; tapi saat butuh, sulit ditemukan. Begitu pula kita—baru mencari Tuhan saat terdesak, seolah hidup berjalan biasa tanpa arah rohani.
Selain itu, kita sering fokus pada diri. Misalnya saat berfoto, siapa yang pertama kali kita lihat? Diri sendiri. Kalau kita terlihat bagus, foto layak diunggah; kalau tidak, langsung ditolak. Begitulah kita: hanya memperhatikan hal-hal yang menyenangkan diri, bukan yang Tuhan kehendaki.
Dalam Theologia Germanica, tertulis bahwa Kristus memiliki dua mata—satu untuk melihat keabadian, satu untuk dunia ciptaan. Dalam Kristus, kita pun dapat melihat keduanya. Iman Kristen sejati bukan menyangkal penderitaan, tetapi merangkulnya sambil melihat yang kelihatan dan yang tidak kelihatan. Di balik semua realitas fana, ada keabadian yang Tuhan sedang kerjakan.
Yesus berkata, manusia tidak hidup dari roti saja, tetapi dari setiap firman Tuhan. Injil adalah jawabannya, karena di dalamnya Yesus menebus hati yang gelisah. Di salib, dosa diselesaikan, hati didamaikan, dan kita sadar bahwa di mana pun, kapan pun, Tuhan tidak pernah meninggalkan kita. Maka, kita belajar melihat hidup dengan “mata Kristus”—melihat yang kelihatan sekaligus yang kekal.

PENGHARAPAN DALAM PENANTIAN
Ayat 24 berkata, “Oleh sebab itu aku akan berharap.” Terjemahan Inggris lebih tepat: “I have hope.” Aku memiliki pengharapan—bukan “akan punya.” Dan inilah yang diperhatikan Yeremia: kasih setia Tuhan tak berkesudahan.
Konteksnya penting. Setiap kali Yehuda dijajah, mereka selalu cari aman—menjilat bangsa yang sedang berkuasa. Dengan Asyur, lalu Mesir, kemudian Babel. Gambaran itu mencerminkan kita: saat tertekan, kita segera mencari “raja-raja” dunia untuk menyelamatkan diri. Tapi Yeremia berkata, “I have hope.” Harapanku bukan pada raja, ekonomi, atau investasi; harapanku adalah kasih setia Tuhan.
Kasih setia Tuhan berakar pada perjanjian. Allah yang mencipta mengikat diri-Nya kepada umat-Nya, dan sekalipun umat-Nya melanggar, Ia tetap setia. Karena itu ketika Yehuda jatuh, Tuhan tidak meninggalkan. Waktu kita gagal pun, tangan-Nya tetap terbuka. Itulah hesed—kasih setia yang tak tergoyahkan.
Yeremia menegaskan: “Bangun dan berharaplah!” Sebab harapan itu tidak pernah hilang, karena Tuhan setia. Kesetiaan Tuhan membuat kita terus berjalan, percaya bahwa penderitaan tidak menghancurkan, tetapi mendewasakan—membentuk kita makin serupa Kristus. Dalam badai hidup kita berdoa, “Tuhan, ubahkan cara pandangku agar aku melihat Engkau di balik semua kesulitan.”
Deus Absconditus—Allah yang tampak tersembunyi di tengah penderitaan. Yeremia menulis tentang menanti pemulihan: tujuh puluh tahun masa pembuangan bukan waktu yang singkat. Namun di tengah penantian, ia berkata, “Aku berharap pada kasih setia Tuhan.” Menanti bukan berarti pasif; menanti berarti aktif mencari alasan mengapa kita menanti.
Sebagian menantikan anak, kesembuhan, atau pemulihan keluarga. Usaha boleh dilakukan, tetapi pertanyaannya: jika Tuhan tidak memberi seperti yang kita harapkan, apakah kita tetap percaya bahwa hidup kita berharga? Menghidupi Injil berarti sadar: ada atau tidak ada anak, sehat atau sakit, saya tetap berharga karena Kristus sudah mati untukku.
Penantian adalah ruang pengujian—menguji iman dan motivasi hati. Saya pun mengalaminya ketika istri saya sakit dan kami menanti hasil diagnosa di Penang. Dalam masa itu, Tuhan menyingkapkan kecemasan dan keinginan tersembunyi. Saya belajar bahwa bahkan yang sembuh bisa sakit lagi, yang berhasil bisa jatuh lagi. Hidup penuh interupsi, tapi justru di sanalah Tuhan membentuk hati kita.
Kadang penantian mengungkap berhala yang ingin kita pelihara. Maka kita berkata, “Tuhan, Engkaulah cukup bagiku.” Dalam bisnis, keluarga, atau pelayanan, kita belajar berkata, “Aku hanya pengelola, Engkau pemiliknya.” Kalau Tuhan mau tutup, aku tunduk. Kalau Tuhan mau lanjut, aku jalan.

Bagi yang menikah, percayalah selalu ada harapan. Jangan menyerah berkata, “Memang pasangan saya begini.” Dalam Tuhan, selalu ada pengharapan, karena Ia berkasih setia. Kita hanya perlu mengubah fokus: bukan mencari kenyamanan diri, tapi kesenangan Tuhan.
Kisah Yeremia sejatinya menunjuk pada salib. Saat Yesus berseru, “Eloi, Eloi, lama sabakhtani,” Allah seakan bersembunyi agar kita menemukan kasih-Nya di tengah penderitaan. Dia ditinggalkan supaya kita tidak pernah ditinggalkan.
“I have hope.” Bukan karena kemampuan kita, tapi karena kasih setia Tuhan tak berkesudahan. Dia Allah yang berjanji dan menepati janji-Nya—memberikan hidup-Nya bagi kita. Maka, apa lagi yang mau kita minta?
Saat menanti di ruang diagnosa itu, saya hanya bisa berkata, “Tuhan, apalagi yang harus kuminta, kalau Engkau sudah memberikan hidup-Mu bagiku?” Di situ saya sadar: ketakutan terbesar kita bukan besar kecilnya masalah, tapi dengan siapa kita menghadapinya. Sekecil apa pun masalah, kalau sendirian, kita kalah. Tapi sebesar apa pun masalah, jika Tuhan bersama kita, kita menang. Karena Kristus sudah mati dan bangkit, dan di salib itulah kemenangan kita—sebab tidak ada yang dapat memisahkan kita dari kasih Allah di dalam Kristus.

IMPLIKASI INJIL

PERTANYAAN REFLEKTIF