Doa Hana Berjumpa Dengan Tuhan Ditengah Pahitnya Realita

From Abraham to Jesus : The Gospel in Prayer – WEEK 4 "Doa Hana Berjumpa dengan Tuhan di Tengah Pahitnya Realita" 

Ps. Michael Chrisdion

 

Bacaan : 1 Samuel 1:1-18

1:1 Ada seorang laki-laki dari Ramataim-Zofim, dari pegunungan Efraim, namanya Elkana bin Yeroham bin Elihu bin Tohu bin Zuf, seorang Efraim. 

1:2 Orang ini mempunyai dua isteri: yang seorang bernama Hana dan yang lain bernama Penina; Penina mempunyai anak, tetapi Hana tidak. 

1:3 Orang itu dari tahun ke tahun pergi meninggalkan kotanya untuk sujud menyembah dan mempersembahkan korban kepada TUHAN semesta alam di Silo. Di sana yang menjadi imam TUHAN ialah kedua anak Eli, Hofni dan Pinehas. 

1:4 Pada hari Elkana mempersembahkan korban, diberikannyalah kepada Penina, isterinya, dan kepada semua anaknya yang laki-laki dan perempuan masing-masing sebagian. 

1:5 Meskipun ia mengasihi Hana, ia memberikan kepada Hana hanya satu bagian, sebab TUHAN telah menutup kandungannya. 

1:6 Tetapi madunya selalu menyakiti hatinya supaya ia gusar, karena TUHAN telah menutup kandungannya. 

1:7 Demikianlah terjadi dari tahun ke tahun; setiap kali Hana pergi ke rumah TUHAN, Penina menyakiti hati Hana, sehingga ia menangis dan tidak mau makan. 

1:8 Lalu Elkana, suaminya, berkata kepadanya: "Hana, mengapa engkau menangis dan mengapa engkau tidak mau makan? Mengapa hatimu sedih? Bukankah aku lebih berharga bagimu dari pada sepuluh anak laki-laki?" 

1:9 Pada suatu kali, setelah mereka habis makan dan minum di Silo, berdirilah Hana, sedang imam Eli duduk di kursi dekat tiang pintu bait suci TUHAN, 

1:10 dan dengan hati pedih ia berdoa kepada TUHAN sambil menangis tersedu-sedu. 

1:11 Kemudian bernazarlah ia, katanya: "TUHAN semesta alam, jika sungguh-sungguh Engkau memperhatikan sengsara hamba-Mu ini dan mengingat kepadaku dan tidak melupakan hamba-Mu ini, tetapi memberikan kepada hamba-Mu ini seorang anak laki-laki, maka aku akan memberikan dia kepada TUHAN untuk seumur hidupnya dan pisau cukur tidak akan menyentuh kepalanya." 

1:12 Ketika perempuan itu terus-menerus berdoa di hadapan TUHAN, maka Eli mengamat-amati mulut perempuan itu; 

1:13 dan karena Hana berkata-kata dalam hatinya dan hanya bibirnya saja bergerak-gerak, tetapi suaranya tidak kedengaran, maka Eli menyangka perempuan itu mabuk. 

1:14 Lalu kata Eli kepadanya: "Berapa lama lagi engkau berlaku sebagai orang mabuk? Lepaskanlah dirimu dari pada mabukmu."

1:15 Tetapi Hana menjawab: "Bukan, tuanku, aku seorang perempuan yang sangat bersusah hati; anggur ataupun minuman yang memabukkan tidak kuminum, melainkan aku mencurahkan isi hatiku di hadapan TUHAN. 

1:16 Janganlah anggap hambamu ini seorang perempuan dursila; sebab karena besarnya cemas dan sakit hati aku berbicara demikian lama." 

1:17 Jawab Eli: "Pergilah dengan selamat, dan Allah Israel akan memberikan kepadamu apa yang engkau minta dari pada-Nya." 

1:18 Sesudah itu berkatalah perempuan itu: "Biarlah hambamu ini mendapat belas kasihan dari padamu." Lalu keluarlah perempuan itu, ia mau makan dan mukanya tidak muram lagi.

Pernahkah Anda merasa doa terasa kosong, pengharapan kabur, dan jawaban atas pergumulan tak kunjung datang? Ada masa-masa dalam hidup ketika semua yang kita tahu tentang Tuhan seolah tidak terasa lagi. Kita tetap datang ke gereja, tetap berdoa, tetap mengucap syukur—tetapi di dalam hati ada ruang kosong yang sulit dijelaskan. Kita sedang hidup di dalam realita yang pahit.

Mungkin Anda menantikan sesuatu yang tak kunjung tiba. Mungkin Anda mengalami kehilangan yang tidak terduga—entah dalam pekerjaan, relasi, keluarga, atau masa depan yang Anda rencanakan. Doa yang terus dipanjatkan seolah tidak mendapat jawaban.

Hana tahu persis bagaimana rasanya. Ia mencintai Tuhan, tetapi juga terluka oleh kenyataan hidup yang terasa tidak adil. Ia tetap setia datang ke rumah Tuhan, namun selalu pulang dengan hati yang hancur.

Sebelum kita masuk ke dalam doa Hana, mari kita lihat terlebih dahulu konteks kisahnya.

1. Masa yang Gelap
Bangsa Israel saat itu hidup di masa yang gelap—zaman para hakim. Dalam kitab Hakim-hakim tertulis, “Setiap orang melakukan apa yang benar menurut pandangannya sendiri.” Ini adalah masa di mana kebenaran kabur dan arah moral bangsa hilang.

2. Kehilangan Kepekaan Rohani
Ibadah masih berjalan, tetapi hati umat Tuhan menjauh dari-Nya. Bahkan para imam seperti Eli dan anak-anaknya telah kehilangan kepekaan rohani.

3. Tekanan Pribadi Hana
Di tengah kegelapan spiritual itu, Tuhan menyoroti bukan seorang raja atau nabi, melainkan seorang perempuan yang tidak dikenal—Hana. Ia hidup dalam tekanan budaya dan kesedihan pribadi yang mendalam. Hana dimadu oleh seorang wanita bernama Penina yang memiliki banyak anak, sementara dirinya tidak memiliki keturunan sama sekali.

Dalam budaya kuno Israel, kemandulan bukan hanya masalah biologis, tetapi juga dianggap sebagai kutukan. Nilai seorang wanita diukur dari banyaknya anak yang ia lahirkan.

Namun di sinilah paradoks Injil muncul. Tuhan memilih bekerja bukan melalui tokoh besar, bukan melalui politikus atau pahlawan yang punya status sosial tinggi, tetapi melalui air mata seorang perempuan sederhana yang dianggap tidak berarti. Tuhan menyoroti bukan orang kuat, melainkan seorang wanita biasa—yang bahkan dianggap sebagai kutuk.

Hana datang ke hadapan Tuhan dengan hati yang hancur. Namun justru dari titik terendah itulah Tuhan memulai sesuatu yang besar. Dari doa seorang perempuan yang berlutut dengan air mata, lahirlah seorang anak bernama Samuel—nabi besar yang akan menyiapkan jalan bagi Raja Daud. Dan dari garis keturunan Daud inilah, pada akhirnya, Kristus sendiri datang ke dunia.

Inilah alasan mengapa kisah Hana layak untuk kita renungkan.

KEPEDIHAN HATI HANA

1:10 dan dengan hati pedih ia berdoa kepada TUHAN sambil menangis tersedu-sedu. 

Kata “hati pedih” dalam bahasa Ibrani adalah marat nefes—kepahitan jiwa. Artinya Hana tidak hanya sedih, tapi terpukul secara eksistensial. Menariknya, kata mara juga muncul di kitab Rut. Naomi berkata, “Jangan panggil aku Naomi, tapi panggil aku Mara,” sebab Tuhan membuat hidupnya pahit. Jadi mara menggambarkan kepahitan yang menembus ke dasar jiwa.

Hana menangis tersedu-sedu—bukan sekadar menitikkan air mata, tapi meraung. Mengapa ia begitu hancur? Karena di zaman itu, nilai wanita diukur dari banyaknya anak. Anak berarti tenaga kerja, masa depan ekonomi, dan status sosial. Tidak punya anak berarti tidak punya jaminan hidup dan nama keluarga. Dalam budaya itu, perempuan tanpa anak dianggap terkutuk. Maka penderitaan Hana bukan sekadar emosional, tapi eksistensial—seluruh identitasnya runtuh.

Dunia saat itu memandang anak sebagai hal paling berharga. Dunia kini berubah, tapi logikanya sama: kita mencari jaminan hidup dari hal-hal fana—uang, status, reputasi, pengakuan. Itulah berhala modern. Hana mencarinya dalam anak; kita mencarinya dalam kesuksesan.

Dalam ayat 2 dan 6, Elkana memiliki dua istri: Hana dan Penina. Penina punya anak, Hana tidak. Penina menyakiti hati Hana karena Tuhan menutup kandungannya. Seperti sinetron: Penina punya banyak anak tapi kurang kasih, Hana dikasihi tapi mandul. Dua wanita ini melambangkan dua cara dunia mencari arti hidup. Penina mewakili berhala prestasi dan status—“Lihat apa yang kumiliki.” Hana mewakili berhala kasih—“Selama aku dicintai, hidupku berarti.” Dua-duanya salah jika Tuhan bukan pusatnya.

Dalam 1 Samuel 1:8 Elkana bertanya, “Mengapa engkau menangis? Bukankah aku lebih berharga bagimu daripada sepuluh anak laki-laki?” Pertanyaan ini seperti cermin: mengapa kamu hancur saat kehilangan sesuatu—pacar, pekerjaan, jabatan? Sering kali air mata kita bukan karena kehilangan itu sendiri, melainkan karena perbandingan.

Kepedihan terdalam sering lahir dari membandingkan diri dengan orang lain. Bayangkan kumpul keluarga setelah ibadah, anak-anak Penina bermain riang, dan Penina menyindir Hana, “Tahun depan semoga kamu bisa beri anak untuk Elkana, ya.” Luka itu terus menancap. Dalam dunia modern, kita punya banyak “Penina digital.” Media sosial membuat kita membandingkan diri tanpa henti—melihat orang lain lebih sukses, cantik, atau populer, lalu merasa kalah. Dulu perempuan dinilai dari anak, kini dari kecantikan atau popularitas.

Seorang seniman Iran berkata, “Di Timur wanita diperbudak lewat penindasan, di Barat lewat tuntutan tampil sempurna.” Bentuknya berbeda, tapi esensinya sama: semua budaya menindas lewat berhala. Martin Luther menulis, “Apa pun yang menjadi sandaran hidupmu selain Tuhan, itulah sesembahanmu.” Hal-hal baik yang dijadikan hal utama akan menghancurkan kita saat gagal dan memperbudak kita saat berhasil. Dunia selalu berkata, “Kamu berharga kalau punya apa?” — pasangan, harta, jabatan, followers, atau nama besar. Siapa “Penina”-mu hari ini? Suara siapa membuatmu terus merasa kurang?

Kembali ke teks: luka Hana sangat dalam—ekonomi, sosial, emosional, bahkan spiritual. Ia merasa Tuhan diam. Doanya bukan sekadar sedih karena mandul, tapi karena seluruh hidupnya runtuh. Hati yang tidak terpusat pada Tuhan akan terus gelisah, bahkan di tengah berkat. Kadang kita tetap berdoa, tapi doa itu bukan bentuk penyerahan, melainkan cara memaksa Tuhan. Kapan doa salah arah? Saat kita berdoa bukan untuk mendapatkan Tuhan, tapi untuk memaksa-Nya memberkati berhala kita.

Seseorang bisa berdoa sungguh-sungguh untuk kesembuhan, tapi tujuannya agar dikasihi suaminya; atau berdoa untuk berkat finansial supaya dihormati orang. Doa tampak rohani, tapi bisa digerakkan oleh berhala jika hati tak diperiksa. Apakah doa-doamu benar-benar meminta kehendak Tuhan, atau sekadar menjalankan agendamu? Kita semua perlu bertobat dari doa seperti itu.

Namun di tengah kepedihan, ada titik balik. 1 Samuel 1:9 berkata, “Setelah mereka habis makan dan minum di Silo, berdirilah Hana.” Dalam bahasa aslinya: Hannah arose—bangkitlah Hana. Dalam Alkitab, “bangkit” selalu menandai tindakan iman. Setelah kepahitan dan tangisan, saat seseorang bangkit, di situlah titik balik dimulai.

PERUBAHAN HATI HANA

Robert Alter, dalam The Art of Biblical Narrative, menulis bahwa ketika seseorang “bangkit” dalam narasi Ibrani, itu menandakan titik balik iman. Hana, yang semula pahit dan berdoa agar Tuhan memenuhi keinginannya, kini mengalami perubahan dalam hati—ia bangkit.

Bangkit dari apa? Hana berhenti menjadi pasif di bawah tekanan budaya. Ia menolak dua sumber identitas yang menjeratnya: kasih Elkana dan pengakuan Penina. Pertama, ia tak lagi mendasarkan harga dirinya pada kasih suami yang membagi cintanya. Kedua, ia berhenti mencari pengakuan dari Penina dan masyarakat. Ia menolak membandingkan diri, berhenti membangun identitas pada cinta atau status sosial.

Dua sumber itu mencerminkan dua cara manusia modern mencari arti hidup. Orang Timur mengidolakan keluarga, reputasi, dan nama baik; orang Barat mengidolakan cinta, kebebasan, dan pencapaian pribadi. Dua-duanya perbudakan rohani. Kita pun harus bertanya: berhala mana yang sedang kita kejar?

Ada yang berkata, “Yang penting aku dicintai,” atau sebaliknya, “Yang penting aku sukses.” Dua-duanya menukar Tuhan dengan sesuatu yang fana. Ketika kita mencintai sesuatu lebih dari Tuhan, kita kehilangan Tuhan dan hal itu—karena yang fana tak mampu memberi makna kekal.

Contohnya, seorang profesional membangun jati diri di atas karier. Ketika gagal, ia kehilangan pekerjaan sekaligus harga diri, karena Tuhan hanya dijadikan alat menuju sukses. Seorang CEO yang berhasil membawa perusahaannya IPO pun mengaku tak bisa tidur—takut kehilangan performa dan pengakuan. Ia kehilangan makna dari keberhasilannya sendiri.

Demikian pula, ketika pasangan menjadi pusat hidup, cinta itu runtuh saat relasi retak. Atau ketika anak dijadikan berhala, anak tumbuh di bawah tekanan untuk menjadi penyelamat orang tuanya. Hubungan pun rusak. Tim Keller pernah berkata, “If you build your life on your children, you will crush your children. No child can bear the weight of being your savior.”

Hana akhirnya menolak semua itu. Ia berpaling dari hal-hal fana dan beralih kepada Tuhan. Doanya berubah. Dalam ayat 11, untuk pertama kalinya muncul sebutan Yahweh Sabaoth—Tuhan semesta alam. Hana sadar: Allah yang mengatur bintang-bintang pun memperhatikan air matanya. Ia tidak lagi berbicara kepada “Allah keluarganya,” tapi kepada Tuhan yang berdaulat atas semesta. Ia menuangkan emosinya bukan dengan kepahitan, melainkan penyerahan.

Alkitab mengajarkan manusia sebagai makhluk emosional. Dunia sekuler berkata, “Lampiaskan emosimu.” Filsafat Stoik berkata, “Kendalikan emosimu.” Tapi firman Tuhan berkata, “Bawalah emosimu kepada Tuhan.” Mazmur dan Ratapan memperlihatkan pola ini—emosi yang jujur dibawa dalam doa. Doa sejati bukan lari dari realita, tetapi membawa realita pahit kepada kasih karunia Allah.

Perhatikan doa Hana: “Tuhan semesta alam, jika Engkau memperhatikan sengsara hambamu... berikanlah hambamu seorang anak laki-laki, maka aku akan menyerahkan dia kepada Tuhan seumur hidupnya.”

Sekilas sama, tapi kini arah doanya berbeda. Dulu ia menuntut Tuhan mengikuti kehendaknya; sekarang ia tunduk pada kehendak Tuhan. Dulu Tuhan adalah sarana menuju kebahagiaan; kini Tuhan adalah kebahagiaan itu sendiri. Doa Hana berubah dari transaksional menjadi transformasional. Perubahan sejati terjadi bukan ketika doa dikabulkan, tapi ketika kehendak kita tunduk pada kehendak Allah.

Ketika ia berkata “pisau cukur tidak akan menyentuh kepala anak itu,” artinya anak itu—Samuel—akan menjadi nazir, hidup sepenuhnya untuk Tuhan. Ini berarti Hana melepaskan seluruh motivasi duniawi: harga diri, saingan, dan kebutuhan akan pengakuan. Sekarang tujuannya murni: jika Tuhan memberi anak, itu untuk misi Tuhan, bukan dirinya. Ia menyerahkan masa depan, ekonomi, bahkan kasih keibuannya kepada Allah.

Banyak orang tua menjadikan anak proyek identitas. Tapi doa Hana berkata, “Tuhan, pakailah anakku bagi kerajaan-Mu, meski aku harus melepaskannya.” Doa itu dapat diperluas: “Tuhan, pakailah bisnisku, keluargaku, pelayananku untuk-Mu.” Ketika salib Kristus menjadi pusat, segalanya aman.

Setelah Hana berdoa, ia belum hamil, belum menerima apa pun—tetapi wajahnya tidak muram lagi. Damai sejati datang bukan dari perubahan keadaan, melainkan dari perubahan hati. Iman adalah istirahat dalam janji Allah, bahkan sebelum jawaban datang.

Kita semua ingin sukses, tapi tanpa hati yang diubahkan oleh Injil, keberhasilan justru menghancurkan. Setiap berkat bisa berbahaya jika tak diletakkan di bawah salib Kristus. Namun ketika Kristus menjadi pusat, kita bisa berhasil tanpa sombong, gagal tanpa putus asa.

Setelah Hana menyerahkan segalanya, Tuhan bukan hanya memberi Samuel, tapi menjadikannya bagian dari sejarah keselamatan—nabi yang mengurapi Daud, dari mana lahir Sang Mesias. Ketika kita berhenti memakai Tuhan untuk mendapatkan keinginan kita, Tuhan akan memakai hidup kita untuk kemuliaan-Nya.

RAHASIA INJIL DALAM NYANYIAN PUJIAN HANA

Setelah bertahun-tahun menangis, Hana kini menyanyi—dan menariknya, bukan tentang anaknya, tetapi tentang Tuhan: “Hatiku bersukaria karena Tuhan.” Inilah perubahan sejati: ketika sukacita berpindah dari pemberian kepada Sang Pemberi. Saat Tuhan tidak lagi hanya berguna, tetapi menjadi indah, hati sungguh berubah.

Mari lihat rahasia Injil dalam nyanyian ini. Ayat 4 berkata, “Busur para pahlawan patah, tetapi orang yang terhuyung-huyung berikatkan kekuatan.” Ayat 8 menambahkan, “Ia menegakkan orang hina dari debu, dan mengangkat orang miskin dari lumpur.” Di sinilah tema besar Injil tersingkap: pembalikan nilai dunia. Yang kuat dikalahkan, yang lemah ditinggikan. Tuhan bekerja bukan melalui kekuatan, tetapi melalui kelemahan; bukan lewat yang hebat, tapi yang rendah hati.

Sepanjang Alkitab kita melihat pola ini. Allah selalu membalik cara dunia memandang kemuliaan. Inkarnasi Kristus tidak terjadi di Roma, pusat kekuasaan, melainkan di Betlehem yang kecil. Ia tidak lahir di istana, tetapi di kandang. Ia tidak menyelamatkan lewat kuasa, tetapi melalui kematian di salib. Dunia berkata, “Naiklah agar berarti.” Injil berkata, “Rendahkanlah dirimu, dan Tuhan akan meninggikanmu.”

Pola kasih karunia selalu turun lebih dulu sebelum mengangkat manusia naik. Itulah melodi yang dinyanyikan Hana—melodi kasih karunia yang membalik segalanya. Namun puncak pembalikan ini belum terjadi di masa Hana, bahkan belum pada masa Samuel. Ayat 10b berbicara tentang “orang yang diurapi-Nya”—sebuah nubuat tentang Mesias. Dari rahim Hana lahir Samuel yang mengurapi Daud, dan dari garis Daud datanglah Yesus Kristus, Raja sejati.

Air mata seorang wanita sederhana menjadi bagian dari karya penebusan dunia. Nyanyian Hana menjadi benih bagi nyanyian Maria dan gema kabar baik Injil. Ayat 8—“Tuhan mengangkat yang hina dari debu”—menunjuk pada Yesus Kristus yang benar-benar turun ke debu dunia. Di Golgota, tempat pembuangan di luar kota, Tuhan semesta alam disalibkan. Dunia melihat kehinaan, tetapi di situlah Allah membalikkan segalanya.

Yesus masuk ke dalam debu. Yang Mahatinggi turun ke tumpukan abu dunia, menjadi kutuk agar kita yang hina diangkat dan dijadikan milik-Nya. Dalam Hana kita melihat bayangan; dalam Kristus kita melihat penggenapan. Hana menyerahkan anaknya, tetapi Allah Bapa menyerahkan Anak-Nya sendiri agar kita hidup.

Kasih karunia bekerja melalui penderitaan. Setiap penderitaan orang percaya adalah miniatur salib dan kebangkitan. Allah sedang menulis kisah pembalikan yang sama dalam hidup kita. Penderitaan bukanlah akhir, melainkan jalan menuju kemuliaan. Ia tidak pernah menyia-nyiakan air mata umat-Nya.

Nyanyian Hana juga mengubah cara kita melihat hidup di dunia yang memuja kekuatan. Dalam Injil, justru saat kita lemah, kasih karunia bekerja paling nyata. Hana bernyanyi bukan karena hidupnya sempurna, tapi karena ia menemukan Tuhan di dalam luka. Melalui kepedihan, Tuhan melahirkan pujian dan kehidupan bagi orang lain—seperti Kristus yang menderita supaya kita hidup.

Saya pun pernah berdoa di masa pergumulan yang terasa sunyi. Saat itu saya pikir Tuhan menghukum saya, padahal Ia sedang mengundang saya mengenal Dia. Di tengah kepedihan, saya menemukan sesuatu yang lebih berharga daripada jawaban doa: saya menemukan Tuhan sendiri.

Mungkin Tuhan sedang melakukan hal yang sama dalam hidupmu hari ini. Ia tidak menghukum, tetapi mengundangmu untuk mengenal siapa Dia.

Ingat perkataan Elkana kepada Hana: “Bukankah aku lebih berharga bagimu daripada sepuluh anak laki-laki?” Ucapan itu menggemakan suara Kristus yang berkata, “Bukankah Aku lebih berharga bagimu daripada segalanya?” Hanya Yesus yang mampu mengatakan itu dengan benar. Ia adalah Mempelai sejati—kasih yang sempurna, kasih yang berkorban di kayu salib.

REFLEKTIF

  • Apa hal baik yang selama ini menjadi pusat nilai dirimu, yang ketika Tuhan ambil, membuatmu merasa hancur? Maukah kamu menyerahkan hal itu di bawah kasih Kristus agar Dia menjadi pusat hatimu?
  • Apakah doa-doamu lebih sering meminta Tuhan mengubah keadaanmu, atau mengubah hatimu? Siapkah kita berkata: “Tuhan, Engkau cukup bagiku, bahkan sebelum Engkau menjawab doaku”?
  • Di bagian hidup mana Tuhan sedang memakai kepedihan untuk membentukmu dan memberkati orang lain? Apakah engkau percaya bahwa di dalam Kristus, tidak ada penderitaanmu yang sia-sia?

ORANG BERINJIL

  • Belajar menemukan sukacita bukan di dalam pemberian, tapi di dalam pribadi Sang Pemberi.
  • Melihat kepedihan & penderitaan bukan akhir dari ceritanya, namun alat kasih karunia di dalam ceritanya Tuhan.
  • Tidak lagi membangun hidup di atas cinta manusia, tetapi di atas kasih Kristus Sang Mempelai Sejati.