Dalam kitab Mazmur, banyak doa lahir dari penderitaan, jeritan minta tolong, perlindungan, dan penghiburan. Hampir semua berakhir dengan pengharapan; pendoanya melihat Tuhan bekerja atau setidaknya menerima penghiburan. Namun, Mazmur 88 berbeda. Ia berakhir dalam kegelapan tanpa secercah terang, tanpa “amin.” Kata gelap muncul tiga kali, dan di akhir dikatakan, “Kegelapan adalah sahabat karibku.”
Doa seperti ini mengejutkan: mengapa doa yang berakhir dengan keputusasaan justru ada dalam Alkitab? Karena Tuhan tahu, akan ada masa ketika kita pun sampai di titik itu, saat gelap menyelimuti dan kita tidak tahu harus ke mana. Mazmur 88 memberi ruang bagi doa seperti itu. Ia bukan tanda kegagalan iman, melainkan iman yang jujur, iman yang goyah tapi tetap bertahan dan berdoa di tengah kegelapan.
Beberapa waktu lalu kita berbicara tentang Facing the world with gospel confidence; kini temanya lebih dalam: Facing the darkness in life. Sebab kegelapan tidak hanya datang dari luar, tapi juga dari dalam hati. Kita bisa melayani Tuhan tanpa merasakan hadirat-Nya, percaya doktrin tanpa merasakan kasih-Nya, hadir di ibadah tapi merasa jauh dari-Nya. Mazmur 88 mengingatkan bahwa iman sejati bukan selalu hidup dalam terang, melainkan tetap percaya dan berdoa meski tak melihat terang sama sekali.

Tim Keller menulis, “Alkitab adalah kitab paling realistis tentang penderitaan.” Ia tidak menutupi luka manusia; bahkan air mata pun menjadi liturgi di hadapan Tuhan. Melalui Mazmur yang berakhir tanpa “amin” ini, kita justru melihat kasih karunia yang tetap bekerja di tengah kegelapan.
Bacaan : Mazmur 88
88:1 Nyanyian. Mazmur bani Korah. Untuk pemimpin biduan. Menurut lagu: Mahalat Leanot. Nyanyian pengajaran Heman, orang Ezrahi.
88:2 Ya TUHAN, Allah yang menyelamatkan aku, siang hari aku berseru-seru, pada waktu malam aku menghadap Engkau.
88:3 Biarlah doaku datang ke hadapan-Mu, sendengkanlah telinga-Mu kepada teriakku;
88:4 sebab jiwaku kenyang dengan malapetaka, dan hidupku sudah dekat dunia orang mati.
88:5 Aku telah dianggap termasuk orang-orang yang turun ke liang kubur; aku seperti orang yang tidak berkekuatan.
88:6 Aku harus tinggal di antara orang-orang mati, seperti orang-orang yang mati dibunuh, terbaring dalam kubur, yang tidak Kauingat lagi, sebab mereka terputus dari kuasa-Mu.
88:7 Telah Kautaruh aku dalam liang kubur yang paling bawah, dalam kegelapan, dalam tempat yang dalam.
88:8 Aku tertekan oleh panas murka-Mu, dan segala pecahan ombak-Mu Kautindihkan kepadaku. Sela
88:9 Telah Kaujauhkan kenalan-kenalanku dari padaku, telah Kaubuat aku menjadi kekejian bagi mereka. Aku tertahan dan tidak dapat keluar;
88:10 mataku merana karena sengsara. Aku telah berseru kepada-Mu, ya TUHAN, sepanjang hari, telah mengulurkan tanganku kepada-Mu.
88:11 Apakah Kaulakukan keajaiban bagi orang-orang mati? Masakan arwah bangkit untuk bersyukur kepada-Mu? Sela
88:12 Dapatkah kasih-Mu diberitakan di dalam kubur, dan kesetiaan-Mu di tempat kebinasaan?
88:13 Diketahui orangkah keajaiban-keajaiban-Mu dalam kegelapan, dan keadilan-Mu di negeri segala lupa?
88:14 Tetapi aku ini, ya TUHAN, kepada-Mu aku berteriak minta tolong, dan pada waktu pagi doaku datang ke hadapan-Mu.
88:15 Mengapa, ya TUHAN, Kaubuang aku, Kausembunyikan wajah-Mu dari padaku?
88:16 Aku tertindas dan menjadi inceran maut sejak kecil, aku telah menanggung kengerian dari pada-Mu, aku putus asa.
88:17 Kehangatan murka-Mu menimpa aku, kedahsyatan-Mu membungkamkan aku,
88:18 mengelilingi aku seperti air banjir sepanjang hari, mengepung aku serentak.
88:19 Telah Kaujauhkan dari padaku sahabat dan teman, kenalan-kenalanku adalah kegelapan.
Konteks Mazmur 88
Heman adalah seorang Lewi, cucu dari Lewi dan anak dari Kehat atau Kohat. Ia seorang imam yang ditugaskan dalam ibadah di Bait Allah pada masa Daud. Ia pemimpin utama di antara para musisi dan penyanyi Bait Allah, satu kelompok dengan Asaf. Heman dikenal sebagai penyair dan pemusik rohani besar di antara orang Lewi.
Jadi, Heman bukanlah orang biasa yang sedang berduka. Ia seorang hamba Tuhan—pelayan penuh waktu, pemimpin pujian, penyanyi, dan penulis lagu. Namun justru dari orang seperti inilah muncul doa yang paling gelap di seluruh Alkitab.
Para penafsir Alkitab seperti Derek Kidner menyebut Mazmur ini sebagai the darkest psalm in the Psalter—mazmur tergelap di seluruh kitab Mazmur. Dan justru karena itu, Mazmur ini penting bagi kita. Ia menjadi suara iman di tengah depresi, di tengah pergumulan kesehatan mental, penderitaan batin, dan kehilangan iman yang panjang.
Mazmur 88 menunjukkan bahwa bahkan doa yang paling gelap pun tetaplah doa di hadapan Tuhan. Keputusasaan yang diucapkan kepada Tuhan tetap merupakan bentuk iman. Mazmur ini akan menolong kita memahami bahwa Allah tidak hanya berbicara lewat terang atau terobosan, tapi Allah juga ada lewat gelap

KEGELAPAN BISA BERTAHAN LAMA
Kadang kita berpikir bahwa jika kita berdoa dengan sungguh-sungguh, hidup benar, dan percaya, Tuhan pasti akan memberi kelegaan. Namun Mazmur 88 mematahkan semua asumsi itu. Seseorang bisa berdoa, hidup benar, dan tetap berada dalam kegelapan untuk waktu yang lama. Itulah realitas hidup di dunia yang rusak.
Pesan ini tidak populer karena terasa berat, tetapi justru mempersiapkan kita menghadapi masa seperti itu. Tuhan sedang melatih kita untuk menghadapi kenyataan iman yang jujur.
Heman mengalami dua lapis kegelapan. Ayat 7 berkata, “Telah Kau taruh aku ke dalam liang kubur yang paling dalam,” menggambarkan penderitaan fisik dan krisis hidup. Ayat 9 menambahkan, “Telah Kau jauhkan kenalan-kenalanku daripadaku,” menandakan kehilangan relasi dan kesepian. Jadi Heman menghadapi dua hal sekaligus: krisis hidup dan relasi yang retak. Dunia luarnya runtuh, dan ia tidak bisa berbuat apa-apa.
Namun kegelapan yang paling berat bukan hanya dari luar, tetapi dari dalam. Ia berkata, “Aku tertekan oleh panas murka-Mu.” Ia merasa ditolak Tuhan. Doanya seperti menabrak langit tertutup. Penghiburan rohani terasa kosong. Ia membaca firman, tetapi tidak menemukan sukacita. Inilah penderitaan batin yang menghantam jiwa.
Kegelapan luar bisa melukai tubuh, tetapi kegelapan dalam menguras jiwa. Ayat 10b menegaskan, “Aku telah berseru kepada-Mu sepanjang hari.” Artinya, penderitaan itu panjang dan berulang, bukan sesaat. Setiap hari ia berdoa tanpa jawaban, namun tidak berhenti berdoa. Ia terus berbicara kepada Tuhan meski merasa tidak didengar.
Mazmur ini menantang kita untuk bertanya: berapa banyak dari kita berhenti berdoa karena kecewa? Heman tidak menyerah, ia tetap berdoa. Iman sejati bertahan bahkan tanpa perasaan, karena iman sejati tidak digerakkan oleh hasil, melainkan oleh keyakinan bahwa Tuhan tetap baik. Mazmur 88 mengajarkan bahwa seseorang bisa berdoa, hidup benar, dan melayani Tuhan, namun tetap hidup dalam kegelapan.
Dunia modern sulit menerima konsep ini. Kita terbiasa berpikir bahwa iman yang kuat membuat hidup lebih mudah. Padahal Alkitab tidak menjanjikan hidup tanpa penderitaan, tetapi memberi hikmat untuk menanggungnya.
Iman sejati tidak menghindari kegelapan, tetapi berjalan di dalamnya bersama Tuhan. Ekspektasi kita menentukan cara kita memandang penderitaan. Jika seseorang sedang bulan madu lalu diberi kamar buruk, ia kecewa. Tapi jika seorang tahanan diberi sel bersih, ia bersyukur. Ekspektasi mengubah cara pandang terhadap penderitaan.
Kita sering berpikir, “Aku anak Tuhan, sudah berdoa dan berbuat baik, maka hal buruk seharusnya tidak terjadi.” Tapi lihat Yesus, Anak Allah sendiri, yang justru menderita karena kasih Allah kepada dunia. Ia berkata, “Murid tidak lebih tinggi dari gurunya.”
Mazmur ini menolong kita keluar dari kenaifan rohani dan membentuk hati yang lebih bijak. Banyak orang tetap beribadah meski penuh kesulitan. Ada yang datang dari jauh setiap minggu, ada keluarga dengan anak kecil yang setia datang, bahkan ada yang berjalan menembus hujan. Semua itu menunjukkan bahwa ekspektasi membentuk pengalaman. Seseorang bisa melihat kesulitan kecil sebagai penderitaan besar, sementara yang lain memandang penderitaan sebagai kesempatan untuk bersyukur. Hidup akan selalu diwarnai kegelapan, namun satu hal pasti: Tuhan tetap hadir di sana.

KEGELAPAN BISA MENUNJUKKAN KASIH KARUNIA
Bagian ini menunjukkan bahwa kegelapan bisa menjadi sarana untuk menyingkapkan kasih karunia. Masa gelap seringkali justru menjadi tempat terbaik untuk belajar tentang kasih Allah. Perhatikan cara Heman berdoa. Mazmur 88 bukan ratapan yang sopan, melainkan doa yang jujur dan mentah. Ia tidak menahan emosi, tidak menutup kemarahan, dan tidak berusaha tampak rohani, namun semua itu ia arahkan kepada Tuhan. Dunia mengajarkan untuk melampiaskan emosi, agama menyuruh menahannya, tetapi Alkitab mengajak membawa semuanya kepada Tuhan dalam doa.
Heman bahkan berbicara dengan nada sinis dan menusuk, “Apakah Engkau melakukan keajaiban bagi orang mati? Masakan arwah bangkit untuk bersyukur kepada-Mu?” Ia seakan berkata, “Tuhan, aku mau memuji-Mu, tapi bagaimana bisa jika Engkau membiarkan aku mati?” Ucapannya terdengar kasar, tetapi Alkitab tetap mencatatnya. Tuhan tidak menyensor doa seperti itu, seolah ingin menunjukkan bahwa Ia tetap Allah bagi orang yang sedang marah dan berjuang dalam gelap.
Derek Kidner menulis bahwa kehadiran doa seperti ini dalam Alkitab adalah bukti kesabaran dan pengertian Allah. Ia tahu bagaimana manusia berbicara ketika putus asa. Bahkan ketika seseorang berkata kasar kepada-Nya, kasih karunia tetap bekerja.
Kasih karunia berarti Allah tetap menjadi Allah kita sekalipun kita gagal. Ia tidak menilai dari seberapa indah doa kita, tetapi dari kesetiaan-Nya yang tidak berhenti mengasihi. Tuhan tetap memeluk kita bahkan ketika kita marah, kecewa, dan menangis di tengah kegelapan.
Melalui doa Heman, kita belajar bahwa Tuhan jauh lebih sabar daripada yang kita sangka. Ia tidak mudah tersinggung oleh manusia yang hancur. Selama hati masih diarahkan kepada-Nya, jeritan dan protes pun tetap disebut doa.
Sayangnya, banyak kesaksian rohani justru menjadi beban. Ada budaya “semua harus luar biasa,” seolah iman sejati selalu disertai kemenangan dan mukjizat. Seorang jemaat pernah berkata setelah bergabung di Gibeon, “Saya bersyukur karena di sini saya bisa jujur tentang brokenness saya. Dalam CG, yang dibagikan bukan hanya kemenangan, tapi juga air mata.” Di tengah tangisan itu, mereka justru menemukan Tuhan hadir.
Gereja yang berpusat pada Injil bukanlah tempat orang yang selalu menang, tetapi tempat yang memberi ruang bagi pergumulan. Bahkan doa yang penuh kemarahan pun bisa menjadi doa iman. Doa sejati tidak selalu indah dan tertata, kadang mentah, berantakan, penuh tangis dan amarah. Mazmur ini mengingatkan bahwa Tuhan mendengar bukan hanya kata-kata manis, tetapi juga jeritan yang jujur.
Hari ini, jika hatimu penuh jeritan, datanglah kepada Tuhan. Berdoalah seperti Heman, jujur apa adanya. Tuhan tidak tersinggung oleh kejujuran, Ia justru menyambutnya dengan kasih.

KEGELAPAN BISA MEMURNIKAN IMAN
Kegelapan bukan hanya alat untuk menyatakan kasih karunia Tuhan, tetapi juga untuk memurnikan iman dan hati. Dalam masa gelap, Tuhan menyingkapkan motivasi sejati kita: apakah kita percaya, berdoa, dan melayani karena Tuhan, atau karena berkat-Nya.
Para penafsir menyebut Heman sebagai versi Mazmur dari Ayub. Seperti Ayub yang diuji, Heman tetap datang kepada Tuhan meski tidak mendapat apa pun. Ia tidak berhenti berdoa, bahkan ketika hanya kegelapan yang menyapanya. Ia tidak murtad, tetap setia memuji Tuhan sepanjang hidupnya. Iman seperti inilah yang murni—iman yang bertahan tanpa imbalan, hanya karena Tuhan layak disembah.
Kegelapan menelanjangi hati kita dari semua rasa aman palsu. Ia menunjukkan apakah kita mencintai Tuhan atau hanya karunia-Nya. Iblis pernah berkata kepada Allah, “Apakah tanpa mendapat apa-apa manusia tetap takut akan Allah?” Mazmur 88 membuktikan bahwa jawabannya bisa: ya.
Ketika doa terasa hampa dan Tuhan seakan diam, kita ditantang untuk berkata, “Aku tidak mengerti Engkau, tapi aku tetap percaya.” Di situlah hati dimurnikan dan iman ditempa seperti batu bara yang menjadi berlian. Tekanan dan penderitaan membentuk karakter yang kokoh, membuat iman lebih sabar, tabah, dan berani.
Alkitab penuh dengan teladan iman seperti itu. Habakuk berkata, “Sekalipun pohon ara tidak berbunga, aku akan bersorak-sorai.” Ayub berseru, “Sekalipun Tuhan membunuh aku, aku akan berharap kepada-Nya.” Sadrah, Mesak, dan Abednego menyatakan, “Sekalipun tidak, kami tetap menyembah Dia.” Inilah iman sejati—bukan karena berkat, tapi karena mengenal siapa Tuhan.
Saya pun pernah melewati masa gelap penuh tuduhan dan kesalahpahaman. Doa terasa tak menembus langit, tapi justru di sanalah Tuhan menyingkapkan motivasi hati saya. Ia tidak meninggalkan, melainkan memurnikan. Saya belajar berkata, “Engkau tetap Tuhan meski aku tak mengerti.” Di situ saya menemukan kasih karunia yang sejati.
Iman sejati bukan untuk menghindari penderitaan, tapi untuk bertahan di tengahnya. Mazmur 88 mengajarkan bahwa iman sering tumbuh bukan di terang, tetapi dalam kegelapan.
Ibrani 11 meneguhkan hal ini: banyak pahlawan iman tetap percaya walau dianiaya, dipenjara, bahkan mati tanpa menerima janji. Mereka bertahan karena iman mereka berakar pada Tuhan, bukan hasil yang terlihat.
Karena itu, jangan kecewa bila doa belum dijawab. Kegelapan tidak akan berlangsung selamanya. Tuhan sedang bekerja memurnikan dan menebusnya. Iman sejati bukan iman yang selalu menang, melainkan yang terus berdoa dan percaya bahkan saat dunia meremukkan kita. Iman bukanlah sarana untuk mendapatkan sesuatu dari Tuhan melainkan untuk mampu berpegang teguh kepada Tuhan bahkan ketika kita tidak mendapatkan apapun selain diri-Nya.

KEGELAPAN BISA MEMURNIKAN IMAN
Tadi kita sudah melihat siapa Heman itu. Dalam 1 Tawarikh 6, Heman disebut sebagai pemimpin paduan suara orang Lewi, seorang seniman, penyair, hamba Tuhan, dan pemimpin penyembahan. Dari garis keturunannya lahirlah beberapa Mazmur yang luar biasa—Mazmur 42 sampai 49, serta Mazmur 84 sampai 88. Artinya, dari hidup seorang yang pernah berjalan dalam kegelapan, justru lahir karya puisi rohani terbesar sepanjang sejarah.
Mungkin saat itu Heman merasa bahwa penderitaan dan keputusasaannya tidak menghasilkan apa pun. Namun ternyata, justru dari titik tergelap itulah Allah melahirkan sesuatu yang jauh melampaui hidupnya sendiri. Ia tidak pernah tahu bahwa ribuan tahun kemudian, puisi ratapannya di Mazmur 88 akan dipelajari di berbagai gereja—bahkan di Gibeon Church, Surabaya. Bahwa jutaan orang di seluruh dunia akan dikuatkan oleh tulisannya. Ada banyak orang yang mungkin telah kehilangan harapan, tetapi memilih untuk tidak menyerah karena membaca Mazmur 88.
Apa yang Heman kira sebagai kegelapan mutlak ternyata hanyalah kegelapan sementara. Ia pikir masa itu tidak berguna, padahal justru menjadi alat anugerah bagi banyak orang. Demikian juga dengan kita. Kegelapan yang kita alami sering tampak begitu total, padahal sebenarnya tidak. Itu hanya terasa mutlak di perasaan kita, namun bukan kenyataan yang sejati. Karena bagi orang yang hidup di dalam Kristus, kegelapan tidak pernah absolut—hanya sementara.
Mengapa? Karena ada satu Pribadi yang telah mengalami kegelapan mutlak bagi kita. Di Matius 27:45–46 dikisahkan, “Mulai dari jam dua belas kegelapan meliputi seluruh daerah itu sampai jam tiga. Dan kira-kira jam tiga berserulah Yesus dengan suara nyaring: ‘Eli, Eli, lama sabaktani?’ yang artinya: Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?”
Yesus Kristus, Anak Allah, menjalani kegelapan mutlak itu. Semua ketakutan Heman—penolakan, murka, keterasingan, dan kematian—ditanggung seluruhnya oleh Yesus di salib. Heman takut ditinggalkan, Yesus benar-benar ditinggalkan. Heman takut tenggelam dalam murka Allah, Yesus sungguh dihantam oleh murka itu. Heman takut pada kematian, Yesus masuk ke dalam kubur yang paling dalam. Dia turun ke jurang maut agar kita bisa keluar menuju terang yang kekal.

Semua yang Heman takuti, Yesus tanggung. Semua yang Heman rindukan—kasih, penerimaan, pengampunan, dan terang—Yesus berikan kepada kita. Itulah kabar baik Injil. Kegelapan tidak menang, kasih karunia yang menang.
Ketika Yesus berada di Taman Getsemani, Ia melihat kegelapan itu datang menghampiri-Nya. Ia bisa saja mundur, tetapi Ia memilih berkata, “Bukan kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mu yang jadi.” Ia melangkah menuju salib dengan penuh keberanian, karena Ia tahu: jika bukan Dia yang menanggung kegelapan itu, maka kita yang harus menanggungnya. Ia melakukannya karena Ia tidak mau meninggalkan kita sendirian.
Di Mazmur 88, ada kalimat sinis dari Heman yang ternyata menubuatkan karya kebangkitan Kristus: “Apakah Engkau akan melakukan keajaiban bagi orang mati?” Jawabannya kini jelas—ya. Melalui kebangkitan Yesus, Allah menunjukkan keajaiban-Nya bagi orang mati. Karena kebangkitan itu, kematian bukanlah akhir. Suatu hari, semua yang mati akan dibangkitkan. Tidak ada lagi air mata, tidak ada lagi penderitaan, karena terang Kristus telah menembus kegelapan.
Saya teringat pada kata-kata terakhir Tim Keller dalam sebuah wawancara sebelum ia dipanggil Tuhan. Saat ditanya bagaimana ia menghadapi kanker pankreas yang mematikan, ia menjawab, “If we believe the cross and resurrection of Jesus Christ are real, then at the end, everything is going to be all right. Everything is going to be restored.” Jika kita sungguh percaya salib dan kebangkitan Kristus itu nyata, maka pada akhirnya, segala sesuatu akan menjadi baik.
Ia melanjutkan, “Bukan berarti kami tidak sedih. Kami menangis, kami bergumul. Tetapi di dalam kesedihan itu ada sukacita dan pengharapan. Karena satu hari, semua luka akan disembuhkan, semua air mata akan dihapuskan.”
Maka saya ingin bertanya: jika Yesus tidak meninggalkanmu di kelamnya Getsemani dan gelapnya salib, bagaimana mungkin Ia akan meninggalkanmu dalam kegelapanmu saat ini? Jika engkau merasa Tuhan diam, itu hanya perasaanmu—bukan kebenaran. Kebenarannya adalah Ia tetap bersamamu. Ia adalah Imanuel, Allah yang tidak pernah meninggalkan umat-Nya.
Beranilah percaya bahwa di balik kegelapan itu, Tuhan sedang membentuk kita menjadi pribadi yang lebih murni dan indah. Ia tidak menghukum kita, melainkan mengasihi dan memulihkan.

REFLEKTIF
• Apakah saya berdoa kepada Tuhan karena saya mengasihi Dia? atau hanya karena saya ingin sesuatu dari-Nya?
• Bagaimana saya tetap beriman Jika doa saya seolah tidak dijawab, dan langit serta kehidupan terasa gelap seperti dalam Mazmur 88?
• Apakah saya berani mempercayai bahwa di balik kegelapan, Allah sedang membentuk saya menjadi seseorang yang lebih indah, bukan menghukum saya?
ORANG BERINJIL
Sadar bahwa doa yang tidak dijawab bukanlah tanda ditolak, tetapi undangan untuk mengenal Allah yang lebih dalam daripada jawabannya.
Tahu bahwa kadang Tuhan tampak diam, tapi justru di diam-Nya, kasih-Nya bekerja paling dalam.
Paham bahwa kegelapan bukan berarti hukuman, namun justru menjadi ruang di mana kasih karunia Tuhan mengukir kekuatan yang baru.