Dalam rangkaian sermon series The Gospel in Prayer from Abraham to Jesus, tema kali ini adalah doa Paulus: mengalami kuasa dan kasih Kristus. Selama beberapa minggu kita telah melihat doa-doa dari berbagai tokoh Perjanjian Lama: Abraham yang berdoa bagi kota, Yakub yang bergumul dengan Allah, Musa yang memohon penyertaan, Hana yang berseru di tengah kepahitan, serta Heman yang berdoa dalam kegelapan jiwanya. Hari ini kita beralih ke Perjanjian Baru, kepada Paulus.
Bacaan: Efesus 3:14-21
3:14 Itulah sebabnya aku sujud kepada Bapa,
3:15 yang dari pada-Nya semua turunan yang di dalam sorga dan di atas bumi menerima namanya.
3:16 Aku berdoa supaya Ia, menurut kekayaan kemuliaan-Nya, menguatkan dan meneguhkan kamu oleh Roh-Nya di dalam batinmu,
3:17 sehingga oleh imanmu Kristus diam di dalam hatimu dan kamu berakar serta berdasar di dalam kasih.
3:18 Aku berdoa, supaya kamu bersama-sama dengan segala orang kudus dapat memahami, betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus,
3:19 dan dapat mengenal kasih itu, sekalipun ia melampaui segala pengetahuan. Aku berdoa, supaya kamu dipenuhi di dalam seluruh kepenuhan Allah.
3:20 Bagi Dialah, yang dapat melakukan jauh lebih banyak dari pada yang kita doakan atau pikirkan, seperti yang ternyata dari kuasa yang bekerja di dalam kita,
3:21 bagi Dialah kemuliaan di dalam jemaat dan di dalam Kristus Yesus turun-temurun sampai selama-lamanya. Amin.

Teks dasar terdapat dalam Efesus tiga ayat empat belas sampai dua puluh satu. Di sini Paulus menampilkan doa yang mendalam dan penuh keyakinan. Ia sujud kepada Bapa, memohon agar Tuhan menguatkan batin orang percaya melalui Roh Kudus sehingga Kristus tinggal di dalam hati mereka. Ia berdoa agar jemaat berakar dalam kasih, memahami betapa luas dan dalam kasih Kristus yang melampaui pengetahuan, dan dipenuhi kepenuhan Allah. Doa ini ditutup dengan pujian kepada Dia yang sanggup melakukan jauh melampaui apa yang dapat diminta atau dipikirkan, karena kuasa-Nya bekerja dalam diri orang percaya, bagi kemuliaan-Nya turun temurun.
Setiap orang yang membaca dan melakukan firman ini beroleh kebahagiaan. Dari sini muncul pertanyaan penting: mengapa doa itu penting? Banyak orang menjawab bahwa doa adalah cara berbicara kepada Tuhan, menenangkan hati, memiliki kuasa, menjadi nafas hidup, membentuk karakter, dan menolong seseorang bertahan di tengah tekanan. Namun pertanyaan yang lebih tajam adalah apakah doa sungguh penting bagi diri kita sendiri. Sering kali doa hanya dianggap perlu saat ada masalah. Banyak orang datang kepada Tuhan ketika membutuhkan sesuatu, tetapi melupakan-Nya ketika keadaan membaik. Terjadilah jurang antara pengetahuan tentang doa dan kehidupan doa yang nyata.
Karena itu, ketika membaca doa Paulus, terlihat bahwa ia tidak sekadar mengajar jemaat berdoa, tetapi menunjukkan bahwa doa adalah unsur vital kehidupan rohani. Dari doa Paulus ini kita akan mempelajari empat hal: fokus doa yang tampak dalam sikap berserah kepada Bapa, kekuatan berdoa melalui Roh Kudus, tujuan berdoa yang membawa seseorang mengalami kasih Kristus, dan dasar doa yang terletak pada Injil Yesus Kristus.
1. FOKUS DALAM BERDOA: BERSERAH PADA BAPA
Efesus pasal tiga ayat empat belas sampai dua puluh satu menampilkan keindahan karya Tritunggal. Bila dibaca dengan saksama terlihat bahwa Paulus menyingkapkan peran Bapa, Anak, dan Roh Kudus di dalam doa. Melalui bagian ini kita melihat kembali betapa doa sangat penting dan bagaimana hidup orang percaya seharusnya dibentuk olehnya.
Poin pertama berbicara tentang fokus dalam berdoa, yaitu berserah kepada Bapa. Paulus berkata, Aku sujud kepada Bapa. Ungkapan ini mencolok karena budaya Yahudi pada masa itu lazim berdoa sambil berdiri. Ketika Yesus mengajar murid murid dalam Injil Markus Ia berkata, Dan jika kamu berdiri untuk berdoa. Banyak catatan lain memperlihatkan bahwa berdiri merupakan posisi umum dalam doa. Karena itu pernyataan Paulus bahwa ia berlutut menunjukkan adanya luapan perasaan dan kerendahan hati yang sangat dalam di hadapan Allah.

Perbandingan dengan beberapa kisah lain memperjelas maknanya. Salomo berlutut saat peresmian Bait Suci (2 Taw. 6:13), sebuah momen yang dipenuhi rasa hormat dan keagungan. Yesus bersujud di Getsemani menjelang penyaliban (Mrk. 14:35-36), ketika Ia berada dalam pergumulan terdalam. Paulus sendiri berlutut saat berpisah dengan jemaat Efesus (Kis. 20:36-38), momen yang penuh kasih dan duka. Situasi seperti ini menunjukkan bahwa berlutut sering muncul ketika seseorang berada dalam tekanan batin atau penghormatan yang sangat besar kepada Allah.
Tony Merida menjelaskan bahwa berlutut dalam doa menggambarkan kerendahan hati serta kejujuran emosi di hadapan Allah. Namun hal ini tidak boleh dipahami sebagai posisi satu-satunya yang benar dalam doa. Yang menjadi pusat perhatian adalah kepada siapa seseorang tunduk dan berserah. Setiap hari manusia dapat saja berlutut kepada banyak hal yang dianggap memberi makna dan identitas. Ada yang menaruh harapan pada karier, pada hubungan yang diidamkan, pada dunia digital yang memberi pengakuan, atau pada ketakutan yang membuat hati dikuasai kecemasan. Ketika pusat harapan bukan lagi Allah maka seseorang sedang tunduk pada ilah yang tidak dapat menyelamatkan.
Berbeda dengan semua itu Paulus berlutut kepada Bapa. Tindakannya bukan hanya postur tubuh, tetapi deklarasi iman bahwa ia tahu kepada siapa ia menyerahkan hidupnya. Ia datang bukan dengan pusat perhatian pada keinginannya sendiri, tetapi dengan keyakinan bahwa hidup berada dalam tangan Allah. Sikap ini menyatakan dua hal penting. Pertama kesadaran bahwa ia tidak layak di hadapan kemuliaan Tuhan. Kedua keyakinan bahwa Bapa dekat dan memelihara hidupnya.
Ayat empat belas sangat berkaitan dengan ayat lima belas. Paulus memakai kata patera untuk Bapa lalu memakai kata patria untuk keluarga. Hal ini menegaskan bahwa seluruh keluarga Allah di surga dan di bumi berasal dari satu sumber yaitu Bapa Surgawi. Allah bukan hanya Mahakuasa tetapi juga Bapa yang memberi nama, identitas, dan rasa aman bagi anak anak-Nya.
Dalam buku Just Ask, JD Greear menjelaskan bahwa siapa pun yang telah menerima Kristus telah menjadi bagian dari keluarga Allah. Status itu bersifat final. Menyadari hal ini membuat seseorang dapat datang kepada Bapa dengan penuh keberanian di tengah penderitaan. Tidak perlu datang dengan rasa takut atau berusaha membuktikan diri. Cukup datang dan berkata Bapa. Doa Bapa Kami pun dimulai dengan panggilan kepada Bapa yang berada di surga untuk menegaskan kemahakuasaan dan kedekatan sekaligus.
Apa implikasinya? Fokus doa seharusnya lahir dari kesadaran akan siapa diri kita di hadapan Allah. Kita tidak layak, tetapi kita diterima. Kita berlutut bukan karena kuat, tetapi karena sadar akan kelemahan dan betapa besar kasih karunia yang menopang hidup. Kesadaran ini melahirkan kerendahan hati sekaligus sebuah identitas baru bahwa yang dulu adalah musuh Allah kini telah menjadi anak-Nya. Hari ini kita dapat mendekat kepada Bapa karena kita tahu Ia peduli dan memelihara hidup kita. Ini menumbuhkan ketenangan di dalam hati.

Dengan demikian ketika seseorang berdoa sambil berlutut dan berserah kepada Bapa, itu berarti ia datang dengan kerendahan dan ketenangan sekaligus. Rendah hati karena mengenal kebesaran Allah Sang Pencipta. Tenang karena mengetahui bahwa Ia adalah Bapa yang mengasihi. Inilah keunikan iman Kristen. Ada agama yang menekankan rasa takut ketika mendekat kepada ilahi, ada juga yang terlalu bebas tanpa hormat. Iman Kristen menempatkan keduanya dalam satu keseimbangan yang indah. Ketundukan dan ketenangan berjalan bersama.
Namun kerendahan hati dan ketenangan tidak mungkin bertahan tanpa kekuatan dari dalam. Di sinilah Paulus memperlihatkan peran Roh Kudus sebagai sumber daya yang memampukan seseorang untuk terus hidup dalam doa.
2. KEKUATAN DALAM BERDOA: DIKUATKAN OLEH ROH KUDUS
Ayat 16 mengatakan, Aku berdoa supaya Ia menurut kekayaan kemuliaannya menguatkan dan meneguhkan kamu oleh Roh-Nya di dalam batinmu. Terlihat ada perpindahan yang cukup mencolok dari ayat sebelumnya. Tadi Paulus berlutut di hadapan Bapa dan menyadari bahwa Bapa itu mengenal dirinya secara pribadi. Lalu tiba-tiba Paulus berkata, Aku berdoa supaya Ia menurut kekayaan kemuliaannya menguatkan dan meneguhkan kamu. Apa yang ingin ia sampaikan dari perubahan arah ini
James Montgomery mengatakan bahwa Paulus sedang berbicara tentang penderitaan, dan mungkin itulah alasan ia menaikkan permohonan supaya orang percaya di Efesus dikuatkan oleh Roh Allah. Penderitaan yang ia maksud tampaknya ada dua. Pertama adalah penderitaan yang Paulus alami sendiri. Ia menulis surat Efesus sekitar tahun enam puluh hingga enam puluh dua Masehi, dalam kondisi sebagai tahanan di bawah pemerintahan Romawi. Situasi itu tentu tidak nyaman bagi dirinya. Karena itu ia berkata dalam ayat enam belas, biarlah kekayaan kemuliaannya itu menguatkan dan meneguhkan kamu. Ini bukan hanya untuk jemaat, tetapi juga bagi dirinya sendiri.
Namun pada saat yang sama Paulus mengetahui bahwa jemaat Efesus menghadapi tekanan sosial dan tekanan spiritual. Efesus adalah kota yang penuh pemujaan berhala, dengan begitu banyak kuil besar. Orang percaya di sana mendapat tekanan dari lingkungan sekitar, tetapi juga serangan spiritual yang tidak ringan. Efesus pasal enam ayat dua belas menegaskan bahwa perjuangan mereka bukan melawan darah dan daging, tetapi melawan penguasa dan pemerintah serta roh jahat di udara. Ketika Paulus menaikkan doa ini, fokusnya bukan agar penderitaan mereka hilang. Tentu kita boleh meminta agar kesulitan terangkat, tetapi Paulus tidak berhenti pada permintaan semacam itu. Ia juga tidak berdoa supaya hidup jemaat menjadi lebih ringan. Ia justru meminta agar batin mereka menjadi kuat melalui kuasa Roh Kudus.
Hal ini penting, sebab Tuhan tahu bahwa masalah terbesar dalam hidup kita bukan kondisi luar yang menekan, melainkan kelemahan yang ada di dalam. Kita sering meminta supaya keadaan berubah. Kita memohon agar Tuhan menolong pekerjaan yang sedang macet agar terbuka jalan. Kita meminta relasi yang retak dipulihkan. Kita memohon kesembuhan ketika sakit. Tidak ada yang keliru dari itu. Namun Paulus menunjukkan sebuah fokus doa yang berbeda. Ia berdoa agar Tuhan mengubah diri kita di tengah keadaan itu. Persoalan utama sering bukan beban luar yang berat, melainkan batin yang rapuh. Kita kehabisan tenaga bukan karena hidup terlalu menekan, tetapi karena hati terlalu lemah untuk menanggung tekanan itu.
Inilah sebabnya Paulus memohon agar kita dikuatkan dari dalam oleh Roh Kudus. Dialah yang memberi ketahanan, pengharapan, dan keberanian untuk berjalan bahkan ketika keadaan luar tidak berubah. Tim Keller menuliskan sesuatu yang sangat indah tentang hal ini. Ia berkata bahwa ketika Roh Kudus memenuhi hidupmu, engkau akan merasakan tangan Bapa menopangmu. Ini adalah jaminan tentang siapa dirimu. Roh Kudus memampukanmu berkata bahwa jika Pribadi yang maha kuasa mengasihimu, berkenan kepadamu, rela menempuh segalanya untuk menyelamatkanmu, tidak akan pernah melepaskanmu dan bahkan akan menyempurnakanmu, maka tidak ada alasan untuk kuatir. Kesadaran ini melahirkan sukacita, ketenangan, serta hilangnya rasa takut maupun rendah diri.

Inilah yang menjadikan poin ini sangat penting. Kehadiran Roh Kudus melahirkan sukacita dan ketenangan di dalam batin ketika menghadapi penderitaan. Kita tidak menjadi takut dan juga tidak jatuh sebab ada kekuatan dari dalam yang menopang. Implikasi dari kebenaran ini adalah bahwa bukan motivasi dari luar yang menguatkan kita. Bukan juga kalimat positif, positive thinking, atau disiplin diri yang membuat kita bertahan menjalani hidup. Hanya karya Roh Kudus yang bekerja dari dalam hati yang benar-benar menguatkan.
Inilah kekuatan yang muncul ketika seseorang berdoa. Doa tidak lagi sekadar rangkaian kata, tetapi pengalaman hidup yang nyata. Kehadiran dan kuasa Roh Kudus di dalam batin mengubah apa yang kita ketahui tentang Allah menjadi apa yang kita alami bersama Allah. Keller pernah berkata, Prayer turns theology into experience. Doa mengubah pengetahuan teologis menjadi pengalaman bersama Allah. Semua itu terjadi karena karya Roh Kudus.
Dengan kata lain, Roh Kudus membuat semua kebenaran tentang Allah yang tadinya hanya kita ketahui di tingkat intelektual menjadi pengalaman yang hidup. Kita merasakan kehadiran Allah dalam setiap langkah. Kita tidak hanya berbicara tentang Injil atau mampu menjelaskannya, tetapi Injil benar-benar merembesi batin. Ini bukan karena kita hebat memahami Injil, tetapi karena Roh Kudus berdiam di dalam diri. Ketika Roh Kudus membuat kebenaran itu hidup, doa membawa kita kepada pengalaman yang lebih dalam yaitu mengalami kasih Kristus yang mengubahkan.
3. TUJUAN DALAM BERDOA: MENGALAMI KASIH KRISTUS
Kita masuk pada poin ketiga, yaitu tujuan berdoa yang sejati adalah mengalami kasih Kristus. Ayat tujuh belas mengatakan bahwa oleh iman Kristus tinggal di dalam hati dan kita berakar serta berdasar di dalam kasih.
Pertanyaannya, apa arti Kristus tinggal di dalam hati? Dalam Alkitab, kata hati tidak merujuk pada emosi atau perasaan semata. Di dalam Alkitab, hati berbicara tentang pusat kendali hidup. Mengutip perkataan Dallas Willard dalam bukunya Renovation of the Heart: hati manusia adalah pusat kendali kehidupan, tempat keputusan dan pilihan dibuat bagi seluruh diri seseorang. Jadi, saat Paulus mengatakan bahwa Kristus tinggal di dalam hati, ia ingin menyampaikan bahwa Kristus harus menjadi penguasa atas seluruh kendali hidup kita. Dialah yang seharusnya mempengaruhi keinginan, pikiran, kehendak, dan bahkan emosi kita.

Jika memperhatikan teks ini lebih dalam, kata tinggal sebetulnya secara harfiah berarti membuat rumah. Itu sebabnya saat Paulus berdoa supaya melalui iman Kristus tinggal di dalam hati jemaat Efesus dan semua orang percaya, ia ingin menyampaikan bahwa Kristus tidak sekadar mampir, melainkan ingin menetap untuk selamanya. Inilah permohonan Paulus, agar Kristus menempati pusat hati setiap orang percaya dan menguasai seluruh hidup mereka. Namun, pertanyaannya adalah, apakah Kristus sungguh tinggal di dalam hati kita?
Mungkin ada yang berkata bahwa mereka sudah mengenal Kristus, tetapi Paulus menuliskan doa ini justru kepada orang-orang yang sudah percaya di Efesus. Seolah Paulus ingin mengatakan, ya, kamu mengenal Kristus, tetapi benarkah Ia tinggal di dalam hatimu? Untuk menggambarkan ini, bayangkan sebuah denah rumah. Misalnya seorang sahabat datang berkunjung pada akhir tahun dan meminta izin untuk menginap. Kita biasanya menjawab, silakan anggap rumah sendiri. Namun sesungguhnya yang kita maksud adalah kamar tamu sebagai ruang baginya. Kita tidak mengatakan bahwa seluruh rumah adalah miliknya.
Tanpa disadari, sering sekali kita memperlakukan Kristus dengan cara yang sama. Kita berkata hati ini adalah rumah-Nya, namun kita menjadikannya seperti tamu. Kita memperbolehkan Ia tinggal di satu ruangan hati, tetapi ruangan lain kita harap tidak disentuh. Padahal Kristus memiliki otoritas untuk mengetahui setiap bagian yang tersembunyi dalam hidup kita, dan jika kita jujur, seringkali kita takut Ia melihat kekacauan, debu, dan bagian kotor di dalam diri kita. Kristus ingin membuat rumah di seluruh bagian hati, bukan hanya di satu ruangan. Ia ingin memiliki akses penuh untuk melihat dan membersihkan seluruhnya. Ia sanggup melakukannya, namun Ia tidak memaksa. Ia ingin mengganti pikiran yang menyimpang dengan kebenaran firman, mengganti nafsu yang salah dengan buah Roh, mengganti kegiatan sia-sia dengan pekerjaan bagi kerajaan Allah.
Inilah maksud Paulus ketika berdoa supaya Kristus tinggal di dalam hati. Ia memohon supaya Kristus menjadi pusat pikiran, pusat keinginan, pusat emosi, dan penguasa atas seluruh hidup, bukan hanya sebagian.
Ayat 18 dan 19 kemudian melanjutkan bahwa Paulus berdoa supaya kita bersama dengan seluruh orang kudus memahami betapa lebar, panjang, tinggi, dan dalamnya kasih Kristus, serta dapat mengenal kasih itu meskipun kasih tersebut melampaui segala pengetahuan. Ia berdoa agar kita dipenuhi di dalam seluruh kepenuhan Allah. Istilah kepenuhan Allah menunjukkan kehadiran Kristus secara utuh di dalam hidup kita.

Ketika Paulus berdoa supaya kita mengetahui kasih Kristus, ia tidak sekadar meminta supaya kita tahu secara intelektual, tetapi supaya kita mengalaminya dalam perjalanan iman, masuk dalam hati, dan menyentuh hidup kita. Itu sebabnya ia memakai dimensi lebar, panjang, tinggi, dan dalam. Ken Hughes menuliskan bahwa kasih yang lebar merangkul seluruh dunia (Yoh. 3:16), kasih yang panjang bertahan selamanya (1 Kor. 13:8), kasih yang tinggi membawa kita ke surga (1 Yoh 3:1-2), dan kasih yang dalam menjangkau manusia yang paling berdosa (Fil. 2:8). Empat dimensi ini melukiskan kasih Kristus yang tak terbatas dan tak terselami.
Namun, kenyataannya kita sering mengukur kasih Allah berdasarkan pengalaman. Kita merasa dikasihi ketika hidup nyaman, tetapi merasa Allah jauh ketika kesulitan datang. Itu sebabnya Paulus berdoa agar kita semua tidak terjebak di dalam subjektivitas perasaan. Ia menasihatkan supaya kita mengalami kasih Kristus bersama komunitas. Komunitas bukanlah produk gereja tertentu, tetapi rancangan Allah yang baik bagi umat-Nya. Perhatikan kembali ayat delapan belas yang menyatakan bahwa kita memahami kasih Kristus bersama dengan seluruh orang kudus. Istilah ini merujuk kepada semua orang yang sudah dibenarkan oleh iman. Ini menegaskan bahwa tidak ada lagi perbedaan antara rohaniwan dan jemaat.
Itulah sebabnya setiap orang percaya membutuhkan pemahaman yang makin dalam tentang kasih Kristus, dan itu ditemukan dalam komunitas. Kita dipanggil bukan hanya bersama-sama memahami kasih Kristus, tetapi memahami kasih itu melalui kebersamaan. Kebersamaan dengan orang percaya membuat kita dapat belajar tentang kasih Kristus. Kita merasakannya melalui tindakan mereka, seperti ketika sedang bergumul lalu tiba-tiba ada pesan yang menyapa dan menawarkan doa. Dalam momen seperti itulah kita kembali diingatkan akan Allah yang setia dan Kristus yang mengasihi.
John Snot menuliskan bahwa kasih adalah tanah tempat hidup orang percaya berakar dan kasih adalah fondasi tempat hidup dibangun. Artinya, setiap orang percaya membutuhkan kasih Allah sebagai sumber hidup yang memberi kekuatan untuk bertahan. Pada saat yang sama, kasih Allah memberi rasa aman dan arah ketika menghadapi ketidakpastian. Tuhan mengetahui kebutuhan ini dan Ia menyediakan komunitas orang percaya sebagai sarana anugerah supaya kita mengalami kasih Kristus secara nyata. Pertanyaannya sekarang ialah dari mana kita memperoleh keberanian dan pengharapan untuk hidup seperti ini setiap hari? Dari mana kita mendapatkan kekuatan untuk hidup di dalam kasih bersama-sama di dalam komunitas?
4. DASAR DALAM BERDOA: INJIL YESUS KRISTUS
Paulus menutup bagian ini dengan sebuah pengakuan yang sangat indah tentang kuasa Allah. Dalam terjemahan sederhana Indonesia, khususnya untuk ayat dua puluh dan dua puluh satu, tertulis sebuah doa yang menjadi dasar pengharapan umat Tuhan: Allah mampu melakukan jauh lebih besar daripada apa pun yang dapat kita minta atau pikirkan, karena kuasa-Nya bekerja di dalam hidup masing-masing orang percaya. Dan biarlah seluruh jemaat memuliakan Allah, dipenuhi pujian dari segala zaman, karena Ia telah mengutus Kristus Yesus, Putra-Nya.
Penutup doa Paulus ini adalah sebuah doksologi (doksa = kemuliaan, logos/logia = ucapan), yaitu ucapan yang mengakui kemuliaan Allah. Ketika Paulus mengakhiri doanya, ia bukan hanya memohon sesuatu, melainkan mengarahkan hatinya pada pujian. Ini menunjukkan bahwa doa Paulus lahir dari pengalaman nyata melihat apa yang Kristus lakukan. Setiap orang yang sungguh-sungguh mengalami kasih Kristus akan terpanggil untuk memuji dan mengagungkan Allah.

Peter T. O'Brien menjelaskan bahwa memberi kemuliaan kepada Allah tidak berarti menambah sesuatu pada diri-Nya, melainkan pengakuan aktif terhadap siapa Dia dan apa yang telah Ia kerjakan. Doksologi menjadi penegasan keyakinan itu. Apa yang Allah sudah lakukan? Ayat 21 sangat jelas: Allah telah mengutus Kristus Yesus, Putra-Nya.
Untuk memahami karya Kristus, Paulus sudah memberi penjelasan di Efesus pasal dua. Ia menegaskan bahwa mereka yang dahulu jauh kini menjadi dekat oleh darah Kristus. Kristus menjadi damai sejahtera kita, merubuhkan tembok permusuhan, dan mempersatukan kedua pihak. Dengan kematian-Nya, Ia membatalkan hukum Taurat sehingga kedua pihak menjadi satu manusia baru di dalam Dia. Di dalam satu tubuh, Kristus memperdamaikan kita dengan Allah melalui salib. Ia datang membawa damai bagi yang jauh dan yang dekat. Karena melalui Dia, semua orang percaya mendapat jalan masuk kepada Bapa di dalam satu Roh.
Semua penjelasan ini menegaskan bahwa Injil adalah berita tentang pendamaian. Namun pendamaian tidak akan pernah dianggap sebagai kabar baik jika kita belum jujur melihat kabar buruknya. Kita tidak akan menghargai damai Allah jika kita belum sadar betapa dalamnya permusuhan kita dengan Dia. Kita bukan sekadar orang yang tersesat; kita adalah musuh Allah. Kita tidak menginginkan Dia, mengabaikan-Nya, menolak-Nya. Dosa menjadi pemisah antara manusia dan Allah.
Dalam keadaan seperti itu, musuh tidak mungkin datang mencari damai. Musuh tidak mungkin menuntut pemulihan relasi. Seandainya Allah hanya adil, kita pasti binasa. Namun di sinilah keindahan Injil. Allah melakukan apa yang tidak mungkin dilakukan oleh manusia yang memusuhi Dia. Ia mengutus Putra-Nya. Yesus datang sebagai manusia dan taat sampai mati di salib. Di sana Ia mengambil status kita sebagai musuh Allah, supaya kita hari ini menerima status-Nya sebagai anak.
Di salib, Yesus masuk dalam murka yang seharusnya menjadi bagian kita, supaya kita menerima damai dan terang. Di salib, Ia merasakan keterpisahan dari Bapa supaya hari ini ketika kita berseru, kita tahu bahwa Allah mendengar. Di salib, tubuh-Nya hancur supaya relasi kita yang retak dengan Allah dan sesama dipulihkan. Inilah Injil. Inilah karya Kristus yang sempurna.
Karena itu, pendamaian bukan sesuatu yang kita raih atau kita lakukan bagi Allah, tetapi sesuatu yang Kristus lakukan dan selesaikan. Injil bukan tentang apa yang kita capai bagi Allah, melainkan tentang apa yang Kristus selesaikan di salib. Hanya di dalam Injil kita melihat bahwa Allah yang kita lawan justru mengasihi. Allah yang kita kecewakan justru memeluk. Allah yang kita abaikan justru memanggil nama kita. Allah yang kita jauhi justru mendekat kepada kita.
Karena itu, hari ini doa kita memiliki dasar yang kokoh. Ketika berdoa, kita datang kepada Bapa tanpa takut, karena kita sudah diampuni. Kita mengalami kekuatan dan sukacita karena Roh Kudus diam di dalam kita. Kita yakin doa kita didengar karena kita bukan lagi musuh, melainkan anak-anak Allah melalui karya Kristus. Inilah karya sempurna Allah Tritunggal.
Pertanyaannya, apa artinya ini bagi doa kita setiap hari? Apakah doa hanya menjadi ritual, atau relasi yang hidup dengan Allah? Ketika beribadah dan mengakui dosa, apakah itu hanya formalitas, atau sungguh perjumpaan dengan Allah? Ketika kita takut, cemas, atau resah, apakah doa kita hanya menjadi keluhan tanpa arah, atau kita bersandar pada kuasa Roh Kudus dalam hati kita? Ketika doa belum terjawab, apakah kita putus asa atau tetap tenang karena tahu kasih Kristus cukup?

Apakah selama ini doa saya lebih banyak menuntut jawaban daripada sungguh belajar berserah kepada Bapa? Apa yang perlu berubah dalam hati saya agar bisa berdoa dengan ketenangan, yakin bahwa Bapa memegang kendali penuh?
Di bagian mana dalam hidup saya, ketika menghadapi kesulitan, saya masih mengandalkan diri sendiri daripada kuasa Roh Kudus yang bekerja di dalam saya?
Ketika doa saya belum terjawab, apakah saya cenderung menutup diri dan menjauh, atau membiarkan komunitas Injil mengingatkan saya akan kasih Kristus yang setia?