Hari ini merupakan khotbah terakhir dari sermon series From Abraham to Jesus, the Gospel in Prayer. Sebagai puncaknya, kita memusatkan perhatian pada Doa Bapa Kami. Terdengar peringatan agar tidak berdoa demi dilihat, ajakan masuk ke kamar dan berdoa dalam kesunyian, penegasan bahwa Bapa mengetahui kebutuhan sebelum diminta, lalu Doa Bapa Kami dengan permohonan tentang kerajaan, kehendak, makanan harian, pengampunan, pembebasan dari yang jahat, serta penutup tentang kerajaan, kuasa, kemuliaan. Perikop ini diakhiri dengan penegasan tentang pengampunan sesama sebagai cerminan pengampunan Bapa.

BACAAN : Matius 6:5-15
6:5 "Dan apabila kamu berdoa, janganlah berdoa seperti orang munafik. Mereka suka mengucapkan doanya dengan berdiri dalam rumah-rumah ibadat dan pada tikungan-tikungan jalan raya, supaya mereka dilihat orang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya.
6:6 Tetapi jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.
6:7 Lagipula dalam doamu itu janganlah kamu bertele-tele seperti kebiasaan orang yang tidak mengenal Allah. Mereka menyangka bahwa karena banyaknya kata-kata doanya akan dikabulkan.
6:8 Jadi janganlah kamu seperti mereka, karena Bapamu mengetahui apa yang kamu perlukan, sebelum kamu minta kepada-Nya.
6:9 Karena itu berdoalah demikian: Bapa kami yang di sorga, Dikuduskanlah nama-Mu,
6:10 datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga.
6:11 Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya
6:12 dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami;
6:13 dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat. (Karena Engkaulah yang empunya Kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya. Amin.)
6:14 Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga.
6:15 Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu."

Siapa yang merasa kehidupan doanya sudah baik dan tidak perlu bertumbuh? Biasanya tak ada yang berani mengangkat tangan. Tapi jika pertanyaannya diubah menjadi: siapa yang merasa bersalah karena jarang berdoa atau merasa doa menjadi rutinitas tanpa kehidupan? Pertanyaan ini jauh lebih relevan dan sering menggambarkan keadaan hati kita.
Kita bersyukur berada di komunitas yang berpusat pada Injil, akrab dengan kasih Kristus dan salib. Namun kejujuran dalam pengakuan dosa seharusnya juga muncul ketika menilai kehidupan doa. Banyak yang tahu Doa Bapa Kami dan tahu doa itu penting, tetapi tidak mengalaminya sebagai bagian alami dari relasi. Doa sering terasa seperti kewajiban yang menimbulkan ketakutan, seolah bila tidak berdoa Tuhan tidak menyertai, padahal doa adalah napas anak yang berbicara dengan Bapanya.
Bagi banyak orang, doa identik dengan rasa bersalah atau gagal karena lebih tertarik membuka ponsel daripada berdoa. Ada yang malu karena sudah lama Kristen tetapi masih bingung berbicara dengan Tuhan. Hal ini membuat doa menjadi dangkal dan hanya muncul saat krisis sehingga yang terdengar adalah doa panik, bukan doa relasi. Akibatnya, kita tidak menikmati perjumpaan dengan Bapa yang mengasihi.
Jika melihat perikop ini, murid-murid berkata, “Tuhan, ajarlah kami berdoa.” Mereka bukan orang yang asing dengan doa karena tradisi Yahudi kaya liturgi dan Mazmur. Namun mereka melihat sesuatu yang berbeda dalam doa Yesus, bukan sekadar disiplin atau tradisi, melainkan kedekatan dan ketenangan yang terpancar dari relasi-Nya dengan Bapa. Inilah yang membuat mereka meminta pengajaran.
Doa Bapa Kami diberikan sebagai jawaban. Kesalahan yang sering terjadi ialah menganggapnya sekadar doa liturgi. Banyak orang menghafalnya seperti mantra. Martin Luther dalam A Simple Way to Pray menyebut doa ini martir terbesar karena sering diucapkan tanpa makna dan jarang dinikmati. Gambaran ini cukup dekat dengan keadaan kita.
Padahal Doa Bapa Kami menata kembali cara kita memandang Allah, menilai diri, dan memeriksa motivasi. Doa ini adalah peta seluruh kehidupan doa. Hari ini saya mengangkat tiga hal: doa ini membongkar motivasi kita, mengajarkan alur doa yang sehat, dan menunjukkan kepada siapa kita menatap agar benar-benar menghidupinya.

MEMBONGKAR MOTIVASI KITA DALAM BERDOA
Tadi kita telah melihat ayat lima dan enam, ketika Yesus menegaskan bahwa saat berdoa jangan melakukannya demi dilihat orang. Jangan berdoa hanya karena bunyi doanya indah. Saya pernah diingatkan oleh seorang mentor. Ia berkata begini, Mike, kamu sadar tidak kalau ada orang yang ketika berdoa suaranya berubah seakan mereka sedang berbicara kepada Tuhan dengan nada tertentu, tetapi ketika mereka berbicara biasa suaranya tidak seperti itu. Kadang dalam doa orang bersikap seolah mereka sedang menghadap pejabat. Banyak sekali formalitasnya. Padahal Yesus sedang menyentuh sesuatu yang jauh lebih dalam. Apakah kita rindu mengenal Tuhan atau sedang memakai Tuhan untuk tujuan lain. Pertanyaan itu menjadi sangat penting.
Ada banyak doa yang tampak rohani tetapi sebenarnya bukan ditujukan kepada Tuhan melainkan untuk membangun citra. Perhatikan semua bagian dari praktik kekristenan selain doa pribadi bisa dilihat orang. Datang ke gereja terlihat oleh orang lain. Semua yang melayani, para volunteer, usher, pemain musik, pengajar sekolah minggu, semuanya tampak oleh banyak mata. Memberikan persembahan pun terlihat, bahkan orang bisa saja menebak apakah seseorang benar memberi persembahan atau hanya membuka telepon. Semua itu tampak oleh orang lain. Namun doa pribadi, yang dilakukan di kamar, tidak ada yang melihat. Hanya kamu yang tahu isi hatimu.
Karena itu doa pribadi hanya mungkin dilakukan dengan ketulusan jika benar-benar mencari Tuhan, bukan mencari panggung. Jadi dalam kehidupan doa, apakah kita benar-benar hidup di dalamnya. Ada doa yang dipakai untuk membangun reputasi rohani, untuk performa, dan itulah yang Yesus maksud. Jika semua pelayanan, jadwal, aktivitas gerejawi diambil dari hidup kita, semua komunitas dibatasi, apakah kehidupan doa pribadi masih ada. Jika tidak, mungkin doa selama ini bukan untuk mengenal Tuhan tetapi hanya membangun identitas rohani di hadapan orang lain.
Lebih dalam lagi, doa kadang dipakai sebagai sarana untuk mendapatkan kuasa rohani, untuk membangun citra rohani, merasa lebih unggul dari orang lain, atau mendapatkan posisi moral. Menarik sekali bahwa pemikir seperti Nietzsche mungkin akan setuju dengan Yesus dalam hal ini. Nietzsche pernah berkata bahwa agama sering dipakai untuk mendapatkan kuasa dalam bentuk perasaan bahwa diri lebih baik, lebih bermoral, lebih suci dari orang lain. Dari sana muncul superioritas moral yang kemudian bisa dipakai untuk membanggakan diri atau mengontrol orang lain yang dianggap lebih lemah.
Yesus berkata bahwa seseorang bisa rajin ke gereja, bisa rajin melayani, tetapi jika doanya kering dan tidak memiliki kedalaman, kemungkinan besar ia sedang memakai doa sebagai alat, bukan sebagai jalan untuk mengenal Allah. Tes yang Yesus berikan sangat sederhana tetapi sangat tajam yaitu masuklah ke kamar, kunci pintu, tidak ada yang tahu, lalu berdoalah. Apakah kita memiliki kehidupan doa seperti itu. Apakah kita menikmati saat ketika hanya ada kita dan Tuhan, tanpa pandangan siapa pun.
Rasa ingin diterima bisa menjadi berhala. Kita ingin terlihat baik, terlihat rohani, terlihat mencintai Tuhan, padahal bukan itu motivasi sejatinya. Jika kondisi itu tidak kita alami, kita perlu memeriksa kembali apakah benar mencari Tuhan atau sedang mencari rasa aman, citra, rasa lebih baik dari orang lain, atau bahkan panggung rohani. Doa sejati bukan teknik untuk mendapatkan sesuatu. Kadang kita berdoa karena akan melayani, tetapi ketika pelayanan tidak ada kita tidak lagi berdoa. Artinya kita ingin Tuhan menyertai aktivitas kita, bukan membangun relasi dengan Dia. Itu berarti kita memanipulasi Tuhan untuk memberkati apa yang kita lakukan, bukan mengenal Dia sebagai Bapa.

Setelah itu Yesus melanjutkan memberikan pengajaran pada ayat sembilan. Ketika Ia berkata, karena itu berdoalah demikian, Bapa kami yang di surga. Untuk membongkar motivasi hati, Yesus mengajarkan untuk memulai doa dengan memanggil Allah sebagai Bapa di surga. Murid-murid belum pernah mendengar konsep seperti ini sebelumnya. Mereka orang Yahudi yang bahkan menyebut nama Allah dengan hati sangat hormat sampai nama Yahwe pun tidak diucapkan keras. Tuhan dianggap begitu agung dan transenden. Namun tiba-tiba Yesus memperkenalkan cara baru mendekat kepada Allah, yaitu seperti anak kepada Bapa.
Untuk membongkar motivasi hati kita hari ini, meskipun banyak dari kita sudah sering mengucapkan Bapa ketika berdoa, belum tentu hati kita benar-benar melihat Tuhan sebagai Bapa. Pertanyaannya sederhana, apakah kita melihat Tuhan sebagai Bapa atau sebagai bos. Kita setiap hari terbiasa berhubungan dengan bos, orang yang menilai kinerja, memberi promosi jika kita perform, memberi teguran jika kita gagal. Dengan bos, relasi ditentukan oleh performa. Jika datang kepada Allah seperti kepada bos, doa penuh dengan negosiasi, transaksi, ketakutan, dan kecurigaan.
Tetapi jika datang kepada Tuhan sebagai Bapa, Bapa yang baik tidak akan memecat anaknya. Ia tetap peduli terhadap tingkah laku dan pertumbuhan iman anaknya, tetapi ketika anaknya jatuh atau gagal Ia tidak akan membuangnya. Justru hati seorang Bapa semakin tergerak melihat anak yang tersesat. Bapa dapat menegur dan mendisiplin, tetapi tidak akan meninggalkan. Relasi ini berdiri di atas anugerah, bukan prestasi rohani.
Ini menjelaskan mengapa Yesus menegur orang yang bertele-tele dalam doa. Orang yang bertele-tele merasa jika kata kata mereka indah maka Tuhan wajib mendengar. Itu mentalitas pegawai, bukan mentalitas anak. Sehebat apa pun jabatan seorang Bapa, bahkan jika ia diktator, ketika anaknya menangis pada jam tiga pagi meminta air, ia akan bangun. Tetapi jika seorang suami meminta hal yang sama kepada istrinya, responsnya bisa berbeda. Namun terhadap anak, seorang Bapa yang baik akan bangun karena itu anaknya.
Meski begitu, ada dari kita yang mungkin sinis ketika mendengar hal tentang Bapa yang baik, karena pengalaman dengan ayah di dunia tidak menyenangkan. Ada yang memiliki ayah yang abusif, melukai, mengecewakan. Pertanyaannya bagaimana bisa memanggil Allah sebagai Bapa. Namun Yesus justru sedang membalikkan gambaran itu. Jika seseorang marah mendengar ungkapan Bapa yang baik, itu justru menunjukkan bahwa dalam hati terdalam ia tahu seharusnya ada figur Bapa yang baik. Jika tidak memiliki bayangan itu, ia tidak akan kecewa. Ia akan berkata mungkin memang begitu seharusnya. Yesus tidak berkata bayangkan Tuhan seperti ayahmu. Justru yang Ia maksud adalah sebaliknya. Meskipun engkau memiliki ayah yang buruk, ingatlah bahwa Tuhan di surga adalah Bapamu juga.
Setiap kali kita berdoa Bapa kami, semua laki laki yang menjadi Bapa akan sadar bahwa dirinya jauh dari standar Bapa yang baik. Doa itu mengajar kita bahwa ada Bapa yang sempurna di surga. Ketika kita memiliki relasi dengan Bapa di surga, Ia akan menolong kita menjadi Bapa yang lebih baik di dunia. Jika hari ini seseorang yang menjadi Bapa tidak memiliki relasi seperti itu, bangunlah relasi itu, karena itu akan mengubah cara ia menjadi Bapa bagi anak anaknya.
Berikutnya ayat empat belas dan lima belas yang cukup panjang tetapi intinya tegas. Jika kamu tidak mengampuni, Bapamu juga tidak akan mengampuni. Banyak yang bingung ketika membaca ini. Poinnya adalah apakah kita memiliki hati yang mengampuni. Mengapa pengampunan kepada orang lain sangat berkaitan dengan doa. Ada bagian lain dalam Alkitab yang berkata bahwa ketika seseorang hendak mempersembahkan sesuatu tetapi hatinya sedang menyimpan dendam, ia diminta untuk berdamai terlebih dahulu. Ada koherensi antara sikap hati dan doa. Bahkan ada ayat yang berkata kepada para suami bahwa jika mereka menindas istrinya, doa mereka tidak didengar.
Seolah olah Tuhan mengampuni berdasarkan performa kita mengampuni orang lain. Namun jika melihat konteks Matius enam ayat empat belas sampai lima belas, Yesus tidak sedang mengajarkan keselamatan oleh perbuatan. Ia sedang mengungkap indikator apakah seseorang telah mengalami pengampunan Allah. Dalam konteks khotbah di bukit, Yesus berbicara kepada orang yang sudah memiliki relasi dengan Tuhan. Ia sedang menunjukkan bahwa seseorang yang tidak mau mengampuni, tidak mau belajar rekonsiliasi, sebenarnya belum mengerti bahwa dirinya sudah diampuni. Kita tidak bisa menyimpan dendam. Jika sadar bahwa kita pun berdosa, apa yang bisa disombongkan. Orang yang menyimpan dendam merasa dirinya lebih baik. Ia lupa bahwa dirinya pun pernah jatuh dan diampuni oleh anugerah.

Jika sadar bahwa kita diselamatkan oleh anugerah, kita tidak akan memiliki hati yang sombong. Jika tidak bisa mengampuni, itu tanda bahwa kita belum sungguh sungguh memahami identitas kita di hadapan Allah. Dan jika identitas itu tidak beres, doa akan mentok. Kita tidak memiliki kerendahan hati di hadapan Tuhan. Meskipun Tuhan menolong, kita tidak melihatnya. Meskipun Tuhan baik, kita tidak merasakannya. Hatimu keras. Itulah yang Yesus sedang sentuh.
Karena itu periksa hati kita. Mengapa begitu pahit. Mengapa begitu marah. Mengapa begitu sombong. Kadang seseorang tahu dalam hati bahwa ia seharusnya rendah hati, tetapi sulit melakukannya. Bandingkan dirimu dengan Tuhan. Kekudusanmu tidak ada apa apanya. Seperti orang yang berusaha meraih awan tetapi pohon kelapa pun tidak terjangkau. Begitulah keadaan kita. Jika sadar siapa diri kita, kita tidak akan memiliki hati seperti itu.
Jadi sebelum berdoa, Yesus ingin kita memeriksa hati. Inilah rangkuman dari bagian pertama ini. Apakah kita mencari Tuhan atau hanya citra. Apakah datang kepada Tuhan sebagai anak atau sebagai pegawai. Dan apakah hati kita sudah dilembutkan, sadar bahwa kita berdosa dan sudah diampuni.
MENGAJARKAN ALUR DOA YANG SEHAT
Ketika Yesus berkata, “Karena itu berdoalah demikian,” Ia tidak hanya memberi kata-kata doa, tetapi juga pola rohani yang menjadi ritme setiap doa kita. Polanya terdiri dari empat langkah: adoring, accepting, asking, dan adhering. Kita akan melihat satu per satu.
Pertama, adoring (menyembah).
Doa dimulai dari Allah. “Bapa kami yang di surga, dikuduskanlah nama-Mu.” Dua sisi Allah langsung disajikan: Bapa kami menunjukkan kedekatan, sementara yang di surga menegaskan keagungan. Jika kita hanya melihat Allah sebagai dekat, kita bisa kehilangan rasa hormat. Jika kita hanya melihat-Nya sebagai tinggi dan jauh, kita sulit datang dengan keberanian. Yesus menggabungkan keduanya: Allah yang besar namun dekat, agung namun penuh kasih. Doa yang kering sering lahir dari gambaran Allah yang tidak lengkap. Karena itu, ketika berdoa, biarkan hati kita terpesona oleh pribadi-Nya sebelum membawa permintaan apa pun.
Kedua, accepting (menyerah pada kehendak-Nya).
“Datanglah kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu.” Sebelum meminta apa pun, Yesus mengajar kita untuk membawa kehendak kita di bawah kehendak-Nya. Ini adalah pengakuan bahwa kita bukan Tuhan atas hidup kita sendiri. Terkadang kita seperti anak berusia empat tahun yang tidak mengerti alasan ayahnya berkata tidak demi kebaikannya. Ada banyak hal yang tidak kita pahami hari ini, tetapi baru terlihat jelas beberapa tahun kemudian. Menerima kehendak Tuhan membebaskan kita dari beban seakan-akan seluruh hidup harus kita kendalikan sendiri. Kekhawatiran berlebih sering muncul karena kita menaruh iman pada diri sendiri, bukan pada kebijaksanaan Tuhan.
Ketiga, asking (meminta dengan bebas).
Setelah menyembah dan menyerah, barulah Yesus mengajar kita meminta: “Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya.” Tuhan tidak anti permohonan. Ia ingin kita membawa kebutuhan jasmani dan rohani kepada-Nya. Tetapi permintaan itu dibingkai oleh teologi kecukupan, bukan keserakahan. Seperti manna di padang gurun, kecukupan adalah bentuk pemeliharaan sekaligus ujian. Kita boleh menabung dan merencanakan, tetapi tidak boleh menaruh iman pada keamanan materi. Hidup cukup berarti tetap bergantung pada Tuhan, sehingga apa pun berkat yang kita punya, kita tetap murah hati, tetap berdoa, tetap sadar bahwa tangan Tuhanlah yang memelihara.

Keempat, adhering (melekat dan diubahkan).
Ayat 12 dan 13 berbicara tentang pengampunan dan pembebasan dari yang jahat. Doa tidak hanya meminta Tuhan mencukupi kebutuhan, tetapi juga mengubah hati kita. Hidup sebagai orang yang diampuni merendahkan sekaligus mengangkat. Kita sadar dosa kita begitu dalam sampai Kristus harus mati bagi kita, namun kita juga sadar kasih-Nya begitu besar sehingga kita diterima sepenuhnya. Dari tempat inilah kita meminta Tuhan terus membentuk karakter kita dan menjaga langkah kita dari pencobaan.
KUNCI UNTUK MENGALAMI & MENGHIDUPINYA
Yang terakhir berbicara tentang kunci untuk mengalami dan menghidupinya. Ada satu hal yang menarik dalam iman Kristen yang membuatnya begitu unik. Tidak ada ajaran agama lain yang menunjukkan bahwa Tuhan berdoa. Semua mengajarkan manusia berdoa kepada Tuhan, tetapi iman Kristen menyatakan bahwa Allah juga berdoa. Kita memiliki Tuhan yang berinkarnasi menjadi manusia dan dalam seluruh pelayanan-Nya Ia terus berdoa. Ia tidak hanya melayani tanpa henti, ada saat Ia menarik diri untuk berdoa, ada pula waktu ketika bersama murid Ia berdoa, tetapi Ia juga memiliki doa pribadi.
Kita tadi belajar doa yang diminta Yesus untuk diucapkan, jadilah kehendak-Mu, datanglah kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga. Itulah yang Yesus ajarkan. Namun puncaknya bukan hanya pengajaran itu saja, melainkan bagaimana Ia menghidupinya.
Di Taman Getsemani seperti yang dicatat dalam Matius 26:39, Ia menjalani sendiri apa yang diajarkan. Pada saat itu Ia sedang menghadapi pergumulan pribadi yang sangat berat sampai berkeringat darah. Ia berkata bahwa hati-Nya sangat sedih sampai rasanya mau mati karena membayangkan apa yang akan terjadi beberapa jam kemudian. Ia berlutut dan berdoa, Ia meminta teman-temannya untuk turut berdoa, tetapi semuanya tertidur. Ia berdoa seorang diri, Bapa-Ku, jikalau mungkin biarlah cawan ini berlalu dari pada-Ku, tetapi bukan kehendak-Ku melainkan kehendak-Mu. Allah berdoa bukan hanya sebagai teladan, tetapi doa-Nya adalah kekuatan bagi kita. Ia menjadi manusia, Ia selalu berdoa, dan di Getsemani sebelum salib Ia telah mempraktikkan doa Bapa Kami dalam bentuk yang paling radikal. Sebab jika doa itu dikabulkan, keselamatan bagi kita tidak akan terjadi.

Ketika Ia berkata bukan kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mu, itu terjadi dalam kondisi di mana Ia hampir tidak sanggup karena ketakutan yang begitu besar. Ia menyerahkan diri kepada kehendak Bapa meskipun itu berarti meminum cawan murka Allah dan menanggung dosa dunia di salib. Doa Bapa Kami bukan teori yang diucapkan Yesus, tetapi kenyataan yang Ia jalani sampai mati. Ketika seseorang mengalami pergumulan, sakit, konflik, tekanan hidup dan bertanya bagaimana bisa berkata dengan tulus jadilah kehendak-Mu di tengah semua itu, jawabannya bukan percaya saja atau menguatkan tekad. Yang perlu dilakukan adalah memandang kepada Yesus. Ia telah lebih dulu berkata jadilah kehendak-Mu demi keselamatan kita. Ia satu-satunya manusia sempurna yang benar-benar mengatakan jadilah kehendak-Mu dan itu membawa-Nya masuk ke penderitaan yang tidak terbayangkan di salib.
Ia melakukannya agar kita diampuni, agar kita yang dahulu musuh Allah menjadi anak Allah yang diadopsi. Kita yang tidak layak memanggil Allah sebagai Bapa kini memiliki hak untuk melakukannya. Ia rela berkata jadilah kehendak-Mu ketika harus kehilangan hadirat Bapa di salib. Karena itu ketika memandang kepada Yesus, seseorang dimampukan untuk berkata Tuhan aku mungkin tidak mengerti apa yang aku alami, tetapi aku tahu Engkau mengasihi aku. Karena Engkau telah menanggung cawan terbesar itu demi aku, maka aku bisa mempercayakan cawan kecilku kepada-Mu.
Ada satu masa dalam hidup ketika saya sendiri tidak mampu berdoa demikian. Pada waktu itu saya ingin Tuhan mengikuti agenda pribadi saya. Saya ingin doa dijawab dengan cara, waktu, dan jalan yang saya bayangkan. Ketika hal itu tidak terjadi, konsekuensi yang menyakitkan harus dialami bersama keluarga. Saya kecewa dan merasa marah kepada Tuhan. Saya merasa sudah melakukan banyak hal dan merasa Tuhan tidak mengerti saya. Namun titik balik mulai terjadi ketika saya membaca dan mendengar berulang tentang doa Yesus di Getsemani.
Ketika Ia berkata Bapa jika mungkin biarlah cawan ini berlalu, tetapi jadilah kehendak-Mu. Saat merenungkan hal ini saya menyadari bahwa Ia menyerahkan kehendak-Nya supaya kehendak Bapa terjadi demi menyelamatkan dan demi menebus saya. Jika Ia melakukan itu bagi saya, bagaimana mungkin Ia meninggalkan saya. Jika saya mengalami sesuatu yang tidak saya mengerti, pasti ada kebaikan di baliknya. Dari sanalah saya mulai bisa berdoa Tuhan saya mungkin tidak mengerti, tetapi saya tahu Engkau mengasihi saya. Jika Engkau telah menanggung cawan terbesar itu demi saya, maka saya bisa mempercayakan pergumulan kecilku kepada-Mu. Hal itu mengubah cara saya berdoa. Kehendak-Mu yang jadi karena Engkau Bapaku dan Engkau lebih tahu.
Salib Kristus menjelaskan dua dasar dalam doa. Yang pertama adalah kasih karunia. Di salib Yesus menanggung hukuman yang seharusnya jatuh kepada kita. Ilustrasi bos dan pegawai menggambarkan perasaan takut dipecat. Yesus pernah mengalami seakan-akan Ia dipecat sebagai Anak. Ia ditinggalkan dan dikutuk supaya kita tidak pernah kehilangan status sebagai anak, supaya kita diterima dan diberkati. Kita bisa berdiri sebagai anak Allah di hadapan Bapa. Yang kedua adalah keberanian dalam doa. Ketika datang kepada Tuhan, seseorang tidak datang seperti pegawai yang grogi, takut, dan merasa akan dievaluasi terus. Kita berdoa dengan bebas karena Bapa mengasihi bukan karena kita sempurna, bukan karena performa kita, tetapi karena Kristus sudah sempurna bagi kita.

Pertanyaan Reflektif
Apakah doa saya selama ini lebih seperti hubungan pegawai–bos, atau anak–Bapa? Apa yang membuat saya sulit percaya bahwa Allah menjadi Bapa yang mengasihi tanpa syarat?
Apakah saya sedang hidup sebagai orang yang diampuni? Dengan diri sendiri, apakah saya terus menghukum diri? Dengan orang lain apakah saya masih menyimpan superioritas, kepahitan, dan ketidakmauan mengampuni?
Di bagian mana dalam hidup saya saat ini saya sulit berkata, “Jadilah kehendak-Mu”? Apa yang sedang saya genggam terlalu kuat? Ketakutan apa yang membuat saya sulit menyerahkan kendali kepada Tuhan?
Orang Berinjil
Dapat rendah hati namun tidak rendah diri karena kasih karunia Kristus.
Memiliki hidup yang berserah total, namun tetap berani berdoa untuk meminta tanpa berhenti berharap.
Sudah diampuni untuk terus mengalami proses perubahan sehingga mampu untuk mengampuni tanpa menjadi permisif dan naif.