Mengkalibrasi Kemarahan Dengan Injil

Hikmat Amsal Melalui Lensa Injil Week 6  "Mengkalibrasi Kemarahan Dengan Injil" 

Ps. Dave Hatoguan

 

Setiap kita tidak pernah luput dari dari rasa marah, entah itu rasa marah dalam intensitas ringan maupun dalam intensitas marah besar dan yang cenderung meledak-ledak. Memang kalau boleh jujur setiap kita tak pernah luput dari perasaan marah. Bahkan dengan orang yang kita kasihi atau terdekat sekalipun, rasa marah juga tidak dapat terhindarkan. Lalu bagaimana kita melihat perspektif marah menurut kebenaran Injil, apakah marah itu dosa? Kapan marah itu menjadi sebuah dosa? Jika marah itu dosa lalu mengapa Yesus juga pernah marah ketika di bait Allah, apakah itu sesuatu yang salah dan bagaimana , dan bagaimana Injil mengkalibrasi kemarahan kita. Mengapa kita perlu membahasnya dari sudut pandang Injil? Karena kita tahu setiap orang tentunya memiliki jawaban tertentu dari berbagai versi dan mungkin itu sifatnya relatif, tetapi kita akan melihatnya dari terang Injil, karena kebenaran Injil adalah kebenaran yang mutlak dan absolut.

 

Roma 1:16a, 

Sebab aku mempunyai keyakinan yang kokoh dalam Injil, karena Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya. 

          1. KEMARAHAN MELEDAK DAPAT MEMBAWA PADA HAL YANG BURUK 

Amsal 19:19 

Orang yang sangat cepat marah akan kena denda, karena jika engkau hendak menolongnya, engkau hanya menambah marahnya.

Kemarahan bukanlah merupakan sesuatu yang asing dalam kehidupan manusia. Semua orang di dalam dunia ini pernah mengalami dan berkenalan dengan apa yang disebut sebagai kemarahan, entah memarahi atau dimarahi baik dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama maupun diri sendiri. Dapat dikatakan bahwa sebenarnya kemarahan itu adalah sebuah emosi hal yang sejajar dengan bahagia, sedih dan hal lainnya. 

Tetapi yang merupakan hal yang vital dalam kemarahan adalah ia memiliki kekuatan untuk menghancurkan banyak hal, untuk menghancurkan hal-hal seperti bahan peledak. Ketika marah, itu mendistorsi pandangan tentang berbagai hal, pandangan yang sehat tentang situasi, pandangan tentang diri sendiri bahkan pandangan tentang dunia, dan pandangan kita tentang orang lain, sehingga tidak jarang ketika kita marah membuat pilihan yang sangat merusak. 

Semua jenis penelitian menunjukkan bahwa kemarahan memiliki dampak yang paling buruk dari berbagai jenis emosi lainnya, kita tahu bahwa manusia memiliki berbagai macam jenis emosi, entah itu bahagia, sedih, cemas, dan lain-lain. Tetapi dari segala emosi yang ada pada manusia, kemarahan memiliki dampak yang begitu buruk bagi kesehatan, bahkan memiliki dampak lebih buruk daripada cemas atau stress. 

Kemarahan tidak hanya menghancurkan tubuh tetapi kemarahan juga dapat menghancurkan komunitas serta kemampuan untuk membuat pilihan yang bijaksana, seringkali banyak orang melakukan pilihan-pilihan yang bodoh ketika marah, semakin marah kita, semakin banyak konsekuensi yang muncul serta menyebabkan masalah sosial dan psikologis muncul dalam kehidupan kita. 

Bahkan banyak orang percaya juga bergumul dalam hal ini, tetapi jika kita melihat dari sudut pandang firman Tuhan, maka kita dapat segera mengenali akar dari rasa marah yang kita rasakan pada saat itu, sehingga kita perlu untuk merenungkan apakah itu ada penyembahan berhala atau isu dalam hati yang mungkin selama ini tidak kita sadari? Apakah ada luka dari masa lalu yang belum diselesaikan? 

Tetapi apapun berhala, isu, ataupun luka yang ada dalam hati yang menyebabkan kemarahan yang ada, kita perlu menyadari bahwa itu akan membawa dampak yang buruk bagi diri dan orang-orang sekitar. Penyebab kemarahan kita itu rusak akibat dosa, bukan sesuatu yang kudus, tetapi sesuatu yang lain. St. Augustine berkata “ our problem is disordered loves. Disordered loves produce disordered anger

Oleh karena itu kita perlu untuk menganalisa kondisi hati kita dengan seksama, kita perlu mencari tahu. 

Apa penyebabnya kita marah - mengapa kita lebih marah ketika dihina atau dipandang sebelah mata daripada marah ketika melihat ketidakadilan sosial ? 

Dalam proporsinya - mengapa terlalu banyak kesal tentang hal-hal kecil yang terkadang terlihat sepeleh 

Akui saja - Mengakui kemarahan kita adalah tindakan kerentanan, itu memungkinkan rekonsiliasi. Dengan tidak mengakuinya, maka kita akan terus dikendalikan oleh amarah itu 

Analisislah - tanyakan apa yang mengusik hati kita ? Biasanya itu adalah harga diri atau ego dan kita perlu kembali kepada firman Tuhan. Oleh karena itu rasul Paulus kembali mengingatkan melalui suratnya kepada jemaat di Efesus dan saya percaya ini juga berlaku pada kita orang percaya pada masa kini. 

Efesus 4:31-32

Segala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian dan fitnah hendaklah dibuang dari antara kamu, demikian pula segala kejahatan. Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu. 

Seringkali sebagai orang percaya lupa bahwa kita adalah orang-orang bersalah kepada Allah, acap kali kita menganggap bahwa diri kita lebih benar dan baik daripada orang lain, kita menganggap diri sudah berkenan kepada Tuhan, dan seringkali penjara legalistik agamawi justru membuat angkuh secara kehidupan spiritual. Sehingga secara tidak sadar membuat kita selalu gagal dan sulit untuk mengampuni orang lain. 

Dan fakta yang unik menurut pengamatan pribadi justru kita lebih sulit meredam amarah kepada orang-orang terdekat kita, kita lebih sulit mengampuni saudara seiman kita. Tetapi justru Allah sudah mengampuni kita terlebih dahulu, sehingga kita memeroleh pengampunan. Tentunya dengan kekuatan sendiri kita pasti gagal, oleh karena itu perlu memohon supaya Roh Kudus selalu menolong. Pada umumnya dunia mengajarkan self control tetapi Injil mengajarkan kita tidak mampu dengan kekuatan sendiri. 

         2. KEMARAHAN YANG LAMBAT DAPAT MEMBAWA PADA HAL YANG BAIK 

Amsal 16:32 

Orang yang sabar melebihi seorang pahlawan, orang yang menguasai dirinya, melebihi orang yang merebut kota.

Melalui ayat di atas, Salomo selaku raja yang penuh hikmat itu menyatakan bahwa keunggulan manusia bukan terletak pada kekuatan fisiknya. Orang yang menguasai diri mengetahui batas kemampuan, sehingga bertindak pada waktu yang tepat. Sebaliknya, tidak mampu menguasai diri akan membuat marah meledak lewat kata-kata dan tindakan yang tak terkendali oleh karena itu. Seringkali kita berpikir bahwa kemarahan adalah sebuah keegoisan, emosi yang menghancurkan, yang seharusnya kita hapuskan dari kehidupan kita. sebelumnya kita perlu untuk mengenali rasa marah itu dengan baik apakah itu marah situasional atau kondisional? Apakah itu marah substansial? 

Situasional artinya jika kemarahan itu bersifat situasional/kondisional maka kemarahan itu akan menjadikan seseorang menjadi "orang yang marah”, misalnya dia marah karena terjadi suatu hal yang sangat merugikan pada saat itu Atau mereka yang marah ketika dia sedang memperjuangkan hal yang baik. Contohnya seperti orang tua yang melarang anaknya yang masih kecil bermain dengan api, atau bermain di colokan listrik, tentunya sebagai orang tua dapat marah jika anak yang dikasihinya bermain dengan suatu hal yang berbahaya. 

Substansial artinya dalam diri seseorang maka akan menjadikan orang tersebut menjadi seorang “pemarah" yang lebih menunjuk kepada sesuatu yang bersifat permanen di mana orang tersebut mempunyai hobi marah dan karena demikian la akan cepat marah (walaupun tanpa suatu alasan) dapat dikatakan hal ini adalah tabiat atau kebiasaan. 

Jadi kita perlu membedakan “orang yang marah” atau “orang yang pemarah”. Namun kita perlu menyadari bahwa keduanya memiliki potensi yang buruk, tetapi yang membedakan adalah “orang yang marah” adalah modal awal untuk mengarah kepada suatu hal yang baik. Karena ada dua bentuk marah yang tidak sehat, saya mengutip ungkapan dari sesorang yaitu;  John Christenson – “He who is angry without cause sins. But he who is not angry when there is cause sins. For unreasonable patience is the hotbed of many vices.”(Dia yang marah tanpa sebab, berdosa. Tetapi dia yang tidak marah ketika ada sebab, juga berdosa. Karena kesabaran tanpa dasar yang benar adalah sarang dari banyak kejahatan) 

Disini kita belajar bahwa kesabaran pun dapat bersalah, jika ada sesuatu yang salah tetapi kita membiarkan atau mendiamkannya, tetapi jika kita marah ketika ada yang salah maka itu akan membawa kebaikan. Tentunya bukan marah yang meledak-ledak tapi lambat untuk marah, sehingga membuat kita lebih bijak dalam bertindak serta memberi kesempatan menentukan motivasi dari marah tersebut, apakah karena ego pribadi atau benar-benar dengan motivasi demi kebaikan orang lain. 

Jika amarah tidak ditujukan pada dosa, ketidakberesan, kemunafikan dan hal-hal negatif lainnya maka kita berdosa/menjadikan amarahmu menjadi sebuah dosa. Sebaliknya jika amarahmu ditujukan kepada semuanya itu maka amarahmu bukan saja tidak mendatangkan dosa tetapi sekaligus menjadi amarah yang kudus. Seperti kemarahan Yesus waktu di Bait Allah, kemarahan Yesus adalah bentuk cinta dari rumah Allah, kemarahannya itu murni karena semuanya dilakukan demi kemuliaan dan hormat kepada Allah. 

Efesus 4:26-27 4:26 

Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu 4:27 dan janganlah beri kesempatan kepada Iblis.

Ini bukanlah perintah untuk “menghindari amarah” tetapi untuk menghadapi amarah dengan benar, di waktu yang tepat. Kemarahan yang penuh kasih berusaha untuk melawan sesuatu yang salah dan jahat, dan tujuannya untuk mendatangkan kebaikan. 

Mazmur 4:5

Biarlah kamu marah, tetapi jangan berbuat dosa; berkata-katalah dalam hatimu di tempat tidurmu, tetapi tetaplah diam.

         3. YESUS KRISTUS MENEBUS KITA DARI KESIA-SIAAN KEMARAHAN 

1 Petrus 1:18 

Sebab kamu tahu, bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek moyangmu itu bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas.

Pada point pertama dan kedua kita sudah belajar bahwa kemarahan dapat membawa pada hal yang buruk tetapi di point kedua kita belajar bahwa melalui kemarahan dapat juga membawa hal yang baik. Tetapi jika khotbah ini hanya berhenti sampai dua point diatas, maka khotbah ini hanyalah ajaran moralistik, dimana kita mengerti bagaimana bertindak yang benar. Namun kita akan terus gagal dalam mengaplikasikan kebenaran yang kita pahami, karena hati kita selalu memiliki kecenderungan yang salah dan keliru, maka orientasi amarah kita pun seringkali salah.

Tanpa kacamata Injil, emosi atau kemarahan manusia selalu rentan jatuh pada dua ekstrem yaitu ekstrem liberal (antinomian) dan ekstrem legalistik (agamawi) kepada hal-hal yang bersifat self rightoeusness. Ekstrem liberal seringkali anti dengan teguran padahal sifatnya membangun, tidak mau berubah dengan dalih Tuhan menerima kita apa adanya. 

Saat Anda pertama kali datang kepada Kristus, 

Anda sadar bahwa kasihNya cukup besar 

untuk menerima Anda apa adanya, 

seburuk apapun diri Anda. 

 

Saat Anda mengenal Kristus lebih dekat, 

Anda sadar bahwa kasihNya terlalu besar 

untuk membiarkan Anda apa adanya, 

sebaik apapun diri Anda.

 

Kesadaran yang pertama membuat Anda 

lari kepada Kristus; 

Kesadaran yang kedua membuat Anda 

jadi serupa Kristus. – 

(Sen Sendjaya). 

Ekstrem legalistik seringkali mengunakan dalih teguran yang membangun bahkan dengan dalih kemarahan yang kudus, padahal memiliki motivasi tersembunyi untuk kepentingan diri sendiri. Sehingga tidak jarang kita marah kepada Tuhan karena banyak hal dalam hidup yang tidak tercapai, malahan yang terjadi kita marah ketika Tuhan tidak mengabulkan keinginan kita, dan pada akhirnya kita juga mempertanyaakan penyertaan Tuhan atau bahkan mempertanyakan keberadaan Tuhan, kita sering berprasangka buruk kepada-Nya.

Amsal 11:4 

Pada hari kemurkaan harta tidak berguna, tetapi kebenaran melepaskan orang dari maut.”

Bagaimana solusi dari tension ini? Karena kita semua pasti gagal. Kita pasti akan jatuh ke ekstrem legalis atau Liberalis. Kita semua yg gagal harus bertanggung jawab! Karena yang benar-benar berhak marah akan menghakimi semua kemarahan kita yang tidak kudus

menjatuhkan hukuman atas semua dosa-dosa kita

Amsal 11:4b

tetapi kebenaran melepaskan orang dari maut

Dan jawabannya ada di bagian kedua. Kebenaran Melepaskan orang dari Maut.

Siapa yang benar? Apakah ada satu dari kita yg berani mengklaim kita orang benar?

bagaimana kita luput? Tidak ada yg bisa luput. Dan ayat ini adalah bayangan dari Perjanjian Baru, siapa kebenaran itu?

Yesus Kristus Dialah Kebenaran Sejati Yang Memiliki Kemarahan Kudus

Yesus turun ke dunia orang berdosa,Dia menjadi dosa dan menyerap seluruh cawan murka Allah di kayu salib

Kita marah kepada Allah karena ekpektasi dan realita kita tidak sesuai, padahal seharusnya Allah yang layak marah kepada kita, karena dosa dan pelanggaran yang kita perbuat, tetapi malah sebaliknya Allah malah mengutus Pribadi Kedua dari Allah Tritunggal yaitu Yesus, untuk menyerap kemarahan Allah Bapa supaya kita yang mestinya yang layak dimurkai beroleh pengampunan. 

Amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah, tetapi justru melalui murka dan kasih Allah mendatangkan keselamatan bagi orang percaya

Justru Dia tidak datang dengan kepada kita dengan pedang dan busur. malahan Dia mengutus Putra-Nya menyerahkan diri-Nya kayu salib, semestinya kita layak untuk menerima murka Allah dan di kayu salib tetapi Yesus Kristus yang menggantikannya bagi kita, Bahkan di kayu salib itu justru Yesus mengatakan “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” 

Roma 5:9-11

“Lebih-lebih, karena kita sekarang telah DIBENARKAN oleh darah-Nya, kita pasti akan DISELAMATKAN dari MURKA ALLAH. Sebab jikalau kita, ketika masih seteru, diperdamaikan dengan Allah oleh kematian Anak-Nya, lebih-lebih kita, yang sekarang telah diperdamaikan, pasti akan diselamatkan oleh hidup-Nya! Dan bukan hanya itu saja! Kita malah bermegah dalam Allah oleh Yesus Kristus, Tuhan kita, sebab oleh Dia kita telah menerima pendamaian itu.”

Ketika melihat Yesus menyerap orientasi kasih kita yang kacau dan salah arah, maka kita dimampukan untuk membenci dosa namun mencintai orang berdosa. 

Sehingga motivasi dari kemarahan kita di kalibrasi/ditata ulang, ketika kita ada dalam Dia dan kita menjadi manusia baru maka kemarahan kita bukan kemarahan yang berdasarkan ego, bukan karena kita merasa dirugikan atau disakiti, melainkan kemarahan kita karena justru didasarkan karena kita mengasihi, seperti Yesus ketika Ia marah karena sesuatu yang tidak benar. 

1 Petrus 1:18 

Sebab kamu tahu, bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek moyangmu itu bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas

Karena Kristus telah menebus kita dari kesia-sian amarah yang tidak kudus, maka kita:

  • Bisa marah karena melihat dosa tapi juga berbelas kasihan (compassion) pada saat yang sama
  • Bisa marah namun tetap mendoakan
  • Bisa marah tetapi dapat mengampuni dan tidak menyimpan dendam
  • Bisa marah ketika menegur tetapi tetap lemah lembut