Rasa Bersalah yang Menggerogoti Jiwa

KEBENARAN INJIL UNTUK PERGUMULAN MASA KINI – WEEK 8 "Rasa Bersalah yang Menggerogoti Jiwa" 

Ps. Michael Chrisdion

 

Hari ini kita membahas topik pergumulan yang mungkin paling jarang dibicarakan, namun sangat dalam: rasa bersalah, atau guiltKadang tidak terlihat, tetapi dampaknya nyata. Akar dari rasa bersalah bisa bermacam-macam mulai dari keputusan buruk, dosa tersembunyi, atau hal-hal yang tidak bisa diperbaiki. Misalnya, karena sebuah keputusan, keluarga jadi kesulitan; karena tindakan tertentu, orang lain dirugikan atau bahkan mengalami kecelakaan. Ada juga yang merasa bersalah karena menyebabkan kerugian besar atau penderitaan pada orang lain.

Kadang kita mencoba menghilangkan rasa bersalah itu, tapi tetap saja terasa menghantui. Pernahkah duduk diam dan tiba-tiba teringat kegagalan atau pengalaman yang memalukan? Sudah berusaha melupakan, tapi terus terbayang? Hal itu bisa membuat kehilangan keberanian, kepercayaan diri, dan takut untuk melangkah, selalu overthinking: “Bagaimana kalau gagal lagi?” atau “Bagaimana kalau membuat orang lain susah?”

Rasa bersalah bisa melumpuhkan. Bisa juga muncul dari dosa tersembunyi yang terus dilakukan meski tidak diinginkan. Ketika ditawari pelayanan, rasanya tidak layak. Bahkan takut datang ibadah on-site karena merasa akan dihukum Tuhan.

Rasa bersalah sering kali seperti gunung es: tampak kecil di permukaan, tapi sangat dalam di dasarnya. Mungkin tampaknya hanya overthinking atau rasa lelah yang terus-menerus, tetapi setelah ditelusuri, bisa jadi karena hati yang sedang terbakar oleh rasa bersalah. Kita menyangka itu cuma perasaan tidak enak biasa. Namun sebenarnya, kegelisahan, burn out, dan kecemasan banyak orang berakar dari hati nurani yang merasa bersalah.

Kita sering mencoba menutupinya dengan kesibukan. Tapi saat ada waktu hening, rasa bersalah itu muncul kembali. Dunia punya respons sendiri: “Jangan merasa bersalah, just be yourself. Itu bukan kesalahan kok, mungkin memang kamu begitu.” Dunia mencoba menormalkan sesuatu yang salah, namun tetap saja hati tetap gelisah. Karena itu bukan solusi.

Bacaan: Mazmur 51

51:1 Untuk pemimpin biduan. Mazmur dari Daud, 

51:2 ketika nabi Natan datang kepadanya setelah ia menghampiri Batsyeba. 

51:3 Kasihanilah aku, ya Allah, menurut kasih setia-Mu, hapuskanlah pelanggaranku menurut rahmat-Mu yang besar! 

51:4 Bersihkanlah aku seluruhnya dari kesalahanku, dan tahirkanlah aku dari dosaku! 

51:5 Sebab aku sendiri sadar akan pelanggaranku, aku senantiasa bergumul dengan dosaku.

51:6 Terhadap Engkau, terhadap Engkau sajalah aku telah berdosa dan melakukan apa yang Kauanggap jahat, supaya ternyata Engkau adil dalam putusan-Mu, bersih dalam penghukuman-Mu. 

51:7 Sesungguhnya, dalam kesalahan aku diperanakkan, dalam dosa aku dikandung ibuku. 

51:8 Sesungguhnya, Engkau berkenan akan kebenaran dalam batin, dan dengan diam-diam Engkau memberitahukan hikmat kepadaku. 

51:9 Bersihkanlah aku dari pada dosaku dengan hisop, maka aku menjadi tahir, basuhlah aku, maka aku menjadi lebih putih dari salju! 

51:10 Biarlah aku mendengar kegirangan dan sukacita, biarlah tulang yang Kauremukkan bersorak-sorak kembali!

51:11 Sembunyikanlah wajah-Mu terhadap dosaku, hapuskanlah segala kesalahanku! 

51:12 Jadikanlah hatiku tahir, ya Allah, dan perbaharuilah batinku dengan roh yang teguh!

51:13 Janganlah membuang aku dari hadapan-Mu, dan janganlah mengambil roh-Mu yang kudus dari padaku!

51:14 Bangkitkanlah kembali padaku kegirangan karena selamat yang dari pada-Mu, dan lengkapilah aku dengan roh yang rela!

51:15 Maka aku akan mengajarkan jalan-Mu kepada orang-orang yang melakukan pelanggaran, supaya orang-orang berdosa berbalik kepada-Mu.

51:16 Lepaskanlah aku dari hutang darah, ya Allah, Allah keselamatanku, maka lidahku akan bersorak-sorai memberitakan keadilan-Mu!

51:17 Ya Tuhan, bukalah bibirku, supaya mulutku memberitakan puji-pujian kepada-Mu!

51:18 Sebab Engkau tidak berkenan kepada korban sembelihan; sekiranya kupersembahkan korban bakaran, Engkau tidak menyukainya.

51:19 Korban sembelihan kepada Allah ialah jiwa yang hancur; hati yang patah dan remuk tidak akan Kaupandang hina, ya Allah.

51:20 Lakukanlah kebaikan kepada Sion menurut kerelaan hati-Mu bangunkanlah tembok-tembok Yerusalem!

51:21 Maka Engkau akan berkenan kepada korban yang benar, korban bakaran dan korban yang terbakar seluruhnya; maka orang akan mengorbankan lembu jantan di atas mezbah-Mu.

Kita diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Meskipun gambar itu rusak karena dosa, tetap ada kesadaran bahwa kita seharusnya hidup untuk Tuhan. Ketika kita hidup bertentangan dengan tujuan itu, rasa bersalah muncul dan tak bisa hilang hanya dengan pembenaran diri atau pelarian. Rasa bersalah hanya bisa disembuhkan oleh Injil.

Rasa bersalah bukan cuma tentang melanggar aturan, tapi tentang rusaknya hubungan dengan Allah. Mazmur 51 ditulis oleh Daud setelah ia ditegur Nabi Natan. Latar belakangnya adalah dosa Daud yang berzina dengan Batsyeba dan merencanakan kematian suaminya, Uria. Ceritanya sangat tragis dan penuh konspirasi—lebih dahsyat dari seri Netflix mana pun.

Ketika para tentara sedang berperang, Daud tinggal di istana. Suatu hari, saat berjalan-jalan di atas atap istana, ia melihat seorang perempuan mandi, Batsyeba. Ia memanggilnya, dan mereka berzina. Ketika Batsyeba hamil, Daud mencoba menutupi dosanya dengan memanggil Uria pulang dan menyuruhnya menginap di rumah. Tapi Uria menolak karena merasa tidak layak menikmati kenyamanan sementara rekan-rekannya masih berperang.

Akhirnya Daud menempatkan Uria di garis depan pertempuran, tempat paling berbahaya, hingga Uria mati. Setelah itu, Daud mengambil Batsyeba menjadi istrinya. Semua tampak terselesaikan hingga Tuhan mengutus Nabi Natan. Natan datang membawa perumpamaan tentang orang kaya yang merebut satu-satunya anak domba milik orang miskin. Ketika Daud marah dan berkata orang itu pantas dihukum, Natan berkata, “Engkaulah orang itu.”

Saat itulah Daud hancur hatinya. Kita akan membahas apa artinya pertobatan sejati. Topik ini sangat relevan. Banyak orang berkata, “Saya tahu Tuhan sudah mengampuni saya, tapi saya belum bisa memaafkan diri sendiri.” Kalimat ini terlihat bijak, tapi sebenarnya menunjukkan bahwa kita masih berpusat pada diri sendiri seolah pengampunan Tuhan tidak cukup.

Hari ini kita akan belajar dari Daud, yang meskipun bukan tokoh sempurna, mengerti artinya hancur karena dosa dan dipulihkan oleh anugerah Tuhan. Ada tiga poin utama:

  1. Perbedaan antara penyesalan dan pertobatan (remorse vs. repentance).
  2. Perbedaan antara pengampunan sementara dan kelahiran baru (reprieve vs. regeneration).
  3. Pemulihan dimulai dari hati yang hancur.

PERBEDAAN ANTARA PENYESALAN DAN PERTOBATAN (REMORSE VS. REPENTANCE)

Yang pertama, mari kita mulai dengan pertanyaan penting: apa perbedaan antara penyesalan (remorse) dan pertobatan (repentance)? Ini bukan sekadar soal istilah. Banyak orang merasa sangat bersalah, namun tidak pernah benar-benar bertobat. Akibatnya, perasaan bersalah itu tidak menyembuhkan secara tuntas.

Dalam 2 Korintus 7:10, Paulus menulis: “Dukacita menurut kehendak Allah menghasilkan pertobatan... tetapi dukacita dari dunia ini menghasilkan kematian.” Ada dua jenis dukacita. Keduanya terlihat seperti kesedihan, namun yang satu mengarah kepada keselamatan, yang lain menuju kematian.

Penyesalan hanya fokus pada dampak dosa: malu, rusaknya reputasi, atau hancurnya relasi. Kalimat yang muncul biasanya, "Aku bodoh… aku malu…" Tapi itu berhenti di sana. Kelihatannya rohani, tapi kosong dari perubahan sejati. Sebaliknya, pertobatan berpusat pada relasi yang rusak dengan Allah. Fokusnya bukan kerugian pribadi, tapi kesadaran bahwa hati ini telah menolak kasih dan otoritas Tuhan.

Bayangkan dua anak yang tertangkap mencuri. Yang satu menangis karena takut dihukum, yang lain menangis karena sadar menyakiti orang tuanya. Motivasinya berbeda. Yang satu takut konsekuensi, yang lain sadar telah merusak relasi.

Penyesalan berpusat pada diri sendiri, dan sering kali disertai sikap menyalahkan orang lain atau keadaan. Bahkan dalam konteks rohani, manusia bisa menyalahkan orang sekitar. Saya pernah kehilangan pulpen peninggalan ayah saat di acara rohani. Reaksiku? Mencari siapa yang salah. Ini kecenderungan alami manusia. Paul David Tripp berkata, pertobatan sejati dimulai saat kita berhenti menyalahkan orang lain.

Daud menunjukkan hati yang bertobat. Dalam Mazmur 51:6 ia berkata, “Terhadap Engkau sajalah aku telah berdosa.” Daud sadar dosanya bukan hanya terhadap Uria atau Batsyeba, tapi pemberontakan terhadap Allah sendiri. Sebelum dosa muncul secara eksternal, hati terlebih dahulu sudah berkata, “Aku lebih tahu apa yang baik bagiku.

Setiap dosa berakar dari kebohongan: kita tidak benar-benar percaya Tuhan mengasihi kita. Seperti Hawa di Taman Eden yang tertipu iblis, kita mulai berpikir Tuhan sedang menahan yang terbaik dari kita. Maka dosa seperti iri hati, cinta uang, dan pornografi berakar dari ketidakpercayaan terhadap kasih Tuhan.

Penyesalan menyalahkan orang lain. Pertobatan mengakui kebenaran. Adam menyalahkan Hawa—bahkan Tuhan—atas dosanya. John Piper menyebut dosa sebagai “suicidal rejection of joy in the Lord.” Kita menolak sukacita sejati karena ingin mengendalikan hidup sendiri.

Lalu bagaimana kita tahu apakah kita sungguh bertobat? Indikatornya jelas: penyesalan sering diikuti oleh kutukan terhadap diri sendiri. “Aku memang bodoh,” sambil menangis atau bahkan menyakiti diri. Tapi itu bukan pertobatan—itu rasa malu. Pertobatan sejati bukan membenci diri, tapi membenci dosa.

Banyak orang merasa bersalah, menangis, tapi diam-diam masih menikmati dosa yang sama. Pertobatan bukan menjauh dari Tuhan, tapi justru mendekat kepada-Nya. Dosa adalah luka yang ditancapkan ke kasih Tuhan. Mazmur 51:7 mencatat pengakuan Daud: “Dalam dosa aku dikandung ibuku.” Ia tidak menyalahkan siapa-siapa, tapi mengakui kecenderungan hatinya sendiri.

Penyesalan berkata, "Kok aku bisa sejahat ini?"
Pertobatan berkata, "Memang hatiku sejahat ini."
Hanya ketika seseorang sadar betapa rusaknya hati ini, anugerah bisa masuk.

Daud tidak hanya mengakui dosa, ia juga rindu dipulihkan. “Jangan buang aku dari hadapan-Mu... pulihkanlah sukacita keselamatanku” (ay. 13–14). Orang yang bertobat tidak menjauh dari Tuhan, tapi ingin kembali kepada-Nya. Sebaliknya, orang yang hanya menyesal akan berhenti berdoa, meninggalkan gereja, kecewa dengan Tuhan.

Ini membawa kita ke pertanyaan reflektif: Apakah selama ini kita hanya menyesal, atau sungguh bertobat? Jika hanya menyesal, rasa bersalah akan terus menggerogoti. Tak heran banyak orang kehilangan sukacita dan percaya diri—karena belum sungguh bertobat.

Daud bukan hanya minta ampun. Ia minta sesuatu yang lebih dalam: “Jadikanlah hatiku tahir, ya Allah…” (ay. 12). Ia meminta hati yang baru, bukan hanya permohonan religius.

Inilah bedanya agama dan Injil.
Agama berkata, “Tuhan, beri aku kesempatan. Aku janji akan berubah.”
Injil berkata, “Tuhan, aku tidak mampu. Aku butuh Engkau mengganti hatiku.”

PERBEDAAN ANTARA PENGAMPUNAN SEMENTARA DAN KELAHIRAN BARU (REPRIEVE VS. REGENERATION).

Mengapa pengampunan saja tidak cukup? Karena kita membutuhkan pembaruan dari dalam—perubahan hati, bukan hanya penghapusan dosa. Banyak orang, saat jatuh dalam dosa, hanya berdoa minta ampun dan berjanji tidak mengulanginya, seolah yang dibutuhkan hanya kesempatan kedua. Namun ketika Daud jatuh dalam dosa, ia tidak hanya meminta pengampunan, tetapi berkata, “Jadikan hatiku tahir.” (Mzm. 51:12). Daud sadar bahwa masalah utamanya bukan cuma perbuatannya, tapi hatinya yang cenderung berdosa.

Ia tidak meminta hati lamanya diperbaiki, melainkan meminta hati yang baru. Kata “create” (bara) yang ia gunakan sama seperti dalam Kejadian 1—penciptaan dari ketiadaan. Artinya, ia memohon penciptaan ulang, bukan perbaikan. Beberapa komentator menyebut ini bukan sekadar tune-up rohani, tapi kebangkitan rohani. Tanpa pembaruan hati, pengampunan hanya bersifat sementara, dan dosa akan terus berulang.

Inilah perbedaan antara agama dan Injil. Agama hanya ingin bersih dari akibat dosa, bukan dari akar dosa itu sendiri. Banyak orang beragama takut berkatnya tertahan atau hidupnya tidak lancar, sehingga mereka meminta ampun tanpa pertobatan sejati. Tapi Injil menyatakan bahwa masalah kita bukan hanya perbuatan dosa, melainkan hati yang mencintai dosa. Maka solusinya bukan "a better you", tapi "a new you" (2 Kor. 5:17). Tuhan tidak sekadar ingin kita menjadi lebih baik, tapi menjadi ciptaan yang baru.

Sering kali, kita mencari tips praktis untuk hidup lebih baik—menjadi suami yang baik, lebih diberkati, dan sebagainya—tetapi itu semua hanya menyentuh permukaan perilaku, bukan hati. Padahal sasaran utama Injil adalah transformasi hati. Tanpa Roh Kudus, manusia akan selalu kembali pada dosa. Daud tahu ini, sehingga ia berkata, “Jangan ambil roh-Mu yang kudus daripadaku” (Mzm. 51:13). Hanya Roh Kudus yang bisa menjaga hati tetap teguh.

Mazmur 51 juga menunjukkan pengakuan Daud atas kerusakan total (total depravity). Ia berkata, “Dalam dosa aku dikandung ibuku” (ay. 7), artinya, kita berdosa bukan karena berbuat dosa, melainkan karena kita lahir sebagai pendosa. Buktinya jelas: anak kecil tidak perlu diajari untuk egois atau jahat, mereka melakukannya secara alami. Maka, seperti pohon yang akarnya diracuni, hati manusia perlu diganti, bukan dirawat.

Yesus menegaskan hal ini dalam Yohanes 3:5–7. “Jika seseorang tidak dilahirkan dari air dan roh, ia tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah.” Ini bukan dua peristiwa terpisah, tetapi satu kesatuan: pembersihan dan pembaruan rohani. “Air” melambangkan penyucian dosa, dan “roh” melambangkan pembaruan oleh Roh Kudus. Maka keselamatan bukan hanya soal diampuni, tapi diperbarui.

Pertanyaannya, bagaimana Tuhan menjawab permohonan Daud? Di Mazmur 51:11, Daud berkata, “Palingkan wajah-Mu dari dosaku,” tetapi di ayat 13 ia berkata, “Jangan buang aku dari hadapan-Mu.” Ia meminta Tuhan menjauhkan diri dari dosanya, tapi jangan menjauh darinya. Ini terlihat kontradiktif—bagaimana mungkin Tuhan bisa menjauh dari dosa tetapi tetap dekat dengan pendosa?

Jawabannya hanya ditemukan di salib Kristus. 2 Korintus 5:21 berkata, “Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat menjadi dosa karena kita.” Yesus menanggung dosa kita, dan berseru di salib, “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Saat itu, wajah Bapa berpaling dari Yesus yang memikul dosa dunia, supaya kita tidak lagi ditinggalkan. Karena Yesus ditolak, kita diterima. Karena Ia dihukum, kita dibebaskan. Salib menjadi tempat pertukaran ilahi—yang sempurna menggantikan yang berdosa.

Kini, melalui Kristus, kita bukan hanya diampuni, tetapi juga diubah menjadi anak-anak Allah. Bukan lagi sekadar merasa bersih, tetapi benar-benar diperbarui. Seperti yang Daud katakan, “Basuhlah aku, maka aku menjadi lebih putih dari salju” (Mzm. 51:9). Itu bukan hanya metafora, tapi nubuatan Injil: hanya salib Kristus yang bisa menyucikan sampai ke akar terdalam hati manusia.

Allah tidak mengabaikan dosa kita. Ia menghukumnya—di tubuh Anak-Nya sendiri. Dan sekarang, ketika kita datang dengan rasa bersalah, Allah tidak menolak kita. Ia berkata, “Sudah selesai.” Inilah kabar baik Injil. Dan kini, bagaimana kita akan meresponnya?

PEMULIHAN DIMULAI DARI HATI YANG HANCUR

Semua ini dijawab dalam Mazmur 51:19: “Korban sembelihan kepada Allah ialah hati yang hancur; hati yang patah dan remuk tidak akan Kau pandang hina.” Ini sangat penting, apalagi dalam konteks Perjanjian Lama, ketika korban sembelihan adalah cara pengampunan dosa. Tapi Daud sadar, bukan itu intinya. Bukan ritual, tapi hati. Tanpa pertobatan hati, semua persembahan sia-sia.

Begitu juga hari ini. Kita bisa paham teori pertobatan, bisa bedakan penyesalan dari Injil. Tapi pertanyaannya: apakah hatimu sungguh hancur di hadapan Tuhan?

Korban terbaik di hadapan Allah adalah hati yang hancur.

Tiga respons Injil bagi mereka yang hidup dalam rasa bersalah:

  1. Melihat dosa dengan jujur dan mengakuinya, tanpa menyalahkan orang lain, tanpa menutupi diri.
  2. Datang kepada Tuhan dengan Pertobatan, karena hanya Dia yang bisa memulihkan hati kita.
  3. Meminta hati yang baru, karena pengampunan saja tidak cukup, kita perlu pembaruan dari dalam hati.

Hari ini, jangan berhenti di penyesalan, tapi melangkahlah menuju pertobatan. Jangan lari dari Tuhan. Mendekatlah. Jangan hanya ingin lega. Minta hati yang baru. Letakkan rasa bersalahmu di kaki salib.

Saya pun punya pergumulan. Sebagai hamba Tuhan, saya sering merasa tidak layak—gagal sebagai suami, ayah, pelayan. Rasanya ingin menyerah, berhenti melayani. Saya merasa gelap, kotor, munafik. Meski kadang khotbah saya menyentuh orang, saya merasa seperti berakting. Dan saat itu, saya terjebak dalam rasa bersalah yang makin dalam. Saya pikir menyalahkan diri sendiri adalah pertobatan. Tapi itu cuma remorse. Saya sedih karena gagal, bukan karena melukai hati Tuhan.

Dalam kegelapan itu, seperti ada suara Tuhan berkata, “Ayo bicara dengan-Ku.” Seolah Tuhan mengingatkan: “Mike, kamu memang rusak sejak awal. Tapi lihatlah kasih-Ku.”

Baru saya sadari—saya tidak bertobat, saya hanya merasa bersalah. Tapi ketika saya membawa kegelapan itu ke hadapan terang Injil, di situlah saya dipeluk oleh anugerah.

Yesus datang bukan untuk yang kuat, tapi untuk mereka yang sadar bahwa mereka hancur. Justru dalam kelemahan, kasih Kristus bersinar. Jika saya bisa berdiri di sini hari ini, itu bukan karena saya kuat, tapi karena salib berkata: “Kamu tidak harus kuat. Dalam kehancuranmu, Aku dipermuliakan.”

Begitu juga denganmu. Dunia berkata, “Buktikan dirimu.” Tapi di dalam Kristus, saat kita lemah, kuasa Tuhan nyata.

Di situlah Tuhan menciptakan hati yang baru. Saya belajar bahwa kelahiran baru bukan hanya momen di masa lalu, tapi proses harian. Karena hati ini mudah lupa, mudah gundah. Maka, kabar baik itu harus dikhotbahkan ke hati sendiri setiap hari.

Pertanyaan Reflektif

01 Apakah selama ini saya hanya menyesal atau saya benar-benar bertobat, karena saya sungguh ingin berbalik kepada Tuhan yang saya lukai?

02 Apakah saya hanya ingin Tuhan memperbaiki hidup saya, atau benar-benar merindukan hati yang baru dan hidup yang dipimpin oleh Roh Kudus-Nya?

03 Apakah saya datang kepada Tuhan dengan hati yang hancur, bukan dengan pembelaan diri atau prestasi, dan percaya bahwa hati seperti itu Tuhan tidak akan tolak?

ORANG BERINJIL

  • Tidak hanya menyesal atas konsekuensi dosa, namun bertobat dan kembali kepada pribadi Allah yang telah Ia lukai.
     
  • Tidak hanya ingin menghilangkan rasa bersalah, namun merindukan hati yang baru dan hidup yang diperbaharui oleh Roh Kudus.
     
  • Tidak datang dengan prestasi, namun datang dengan hati yang hancur yang tidak akan ditolak oleh Allah.