RECAP KHOTBAH – THE APOSTLES CREED – WEEK 9
Judul Khotbah : Akan Datang dari Sana untuk Menghakimi Orang yang Hidup &
yang Mati
Pembacaan : Yohanes 12:41-50
Kita kembali melanjutkan Sermon Series kita yang berjudul di Apostle Creed atau Kredo Rasuli. Kita sudah memasuki minggu ke sembilan dengan judul “Akan Datang dari Sana untuk Menghakimi Orang yang Hidup & yang Mati”. Kita akan melihat mengapa hari penghakiman itu penting? Mungkin beberapa di antara kita tidak suka dengan kata-kata tentang penghakiman, tetapi ternyata hari penghakiman itu memiliki implikasi yang baik buat diri kita.
Baca : Yohanes 12:41-50
Kredo Rasuli bukan firman Allah tetapi cerminan firman Allah. Jadi Kredo Rasuli tidak memiliki otoritas dari diri-Nya sendiri, tetapi mencerminkan terang firman Allah yang hidup. Melalui Pengakuan Iman Rasuli kita juga belajar kosakata iman dari kitab Yohanes untuk memberikan kita gambaran iman Kristen secara holistik baik secara doktrin maupun secara pribadi (artinya bagi hidup kita).
Penghakiman bukanlah topik yang populer. Kalau kita pergi ke toko buku, kita akan menjumpai buku “The Original! Chicken Soup for the Soul”, “Care of the Soul”, buku-buku yang menenangkan buat jiwa, tetapi kita tidak akan pernah melihat buku yang best seller tentang “Penghakiman Bagi Diriku”. Kita tidak akan pernah menemukan buku seperti itu karena pada dasarnya manusia tidak suka penghakiman. Bahkan ada banyak orang yang tidak percaya tentang adanya hari penghakiman. Bahkan punya gagasan bahwa Tuhan itu bukan Tuhan yang menghakimi, tetapi Tuhan yang mengasihi.
Kalau kita melihat Yohanes 13, sebelum Yesus disalibkan, tepatnya saat Perjamuan Terakhir di mana Yesus membasuh kaki-kaki para murid-Nya, malam sebelumnya itu berbicara tentang penghakiman. Jadi kalau Yesus sendiri yang berbicara mengenai penghakiman artinya penghakiman itu penting. Bahkan hari terakhir sebelum Ia ditangkap, Ia berbicara juga tentang penghakiman.
Untuk itu ada 3 poin yang kita pelajari dari khotbah minggu ini:
1. MENGAPA HARUS ADA HARI PENGHAKIMAN?
Yohanes 12:46-47:
46. Aku telah datang ke dalam dunia sebagai terang, supaya setiap orang yang percaya kepada-Ku, jangan tinggal di dalam kegelapan.
47. Dan jikalau seorang mendengar perkataan-Ku, tetapi tidak melakukannya, Aku tidak menghakiminya, sebab Aku datang bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya.
Artinya, pertama kali Yesus datang, Ia tidak datang untuk menghakimi dunia, namun untuk menyelamatkan umat-Nya. Ini merupakan kabar baik. Jikalau kita percaya kepada-Nya, kita diselamatkan.
Yohanes 12:48:
48. Barangsiapa menolak Aku, dan tidak menerima perkataan-Ku, ada hakimnya, yaitu firman yang telah Kukatakan, itulah yang akan menjadi hakimnya pada akhir zaman.
Baru saja Yesus menjelaskan bahwa Ia tidak datang menjadi hakim, tetapi Ia mengatakan bahwa akan ada penghakiman. Baru saja Ia mengatakan Dialah terang, namun tiba-tiba Dia berbicara mengenai penghakiman.
Dari sini kita belajar bahwa ada metafora antara terang dan hakim. Yesus Sang Terang Dunia menjelaskan akan ada AKHIR ZAMAN dan akhir zaman itu akan menjadi HARI PENGHAKIMAN serta akan ADA SEORANG HAKIM. Siapa yang menjadi hakim? Yesus sendiri. Dengan jelas dicatat dalam Kisah Para Rasul 10:42 (AMD):
“Yesus memerintahkan kami untuk memberitakan kepada orang Yahudi. Ia menyuruh kami untuk menyampaikan kepada mereka bahwa Yesuslah yang ditunjukkan Allah menjadi Hakim atas semua orang yang hidup dan yang mati.”
Artinya Yesus Kristus datang pertama kali bukan menjadi hakim, tetapi kedatangan-Nya yang kedua kali Dia akan datang menjadi seorang hakim. Jadi dari metafora hakim dan terang kita dapat menyimpulkan bahwa tanpa hari penghakiman, kita berada dalam KEGELAPAN TOTAL karena jika tidak ada HAKIM yang menentukan standar KEBENARAN, maka tidak ada standar MORAL yang mutlak. Kalau ada hakim berarti ada yang benar dan ada yang salah. Kalau ada hakim berarti ada hitam dan ada putih. Namun, jika tidak ada hakim yang menentukan standar kebenaran maka tidak ada standar kebenaran yang mutlak.
Ada seorang penulis bernama Arthur Asher Miller (1915-2005), dia adalah penulis naskah drama dan penulis skenario di teater Amerika. Dalam naskah dramanya yang berjudul “After the Fall”, dia mendeskripsikan konsep penghakiman yang dia tolak sebagai orang Liberal dan tidak percaya Tuhan. Dalam naskahnya itu ada satu tokoh yang ia tulis bernama Quentin. Miller melalui Quentin mengatakan begini:
“Selama bertahun-tahun saya melihat hidup seperti suatu kasus pengadilan untuk membuktikan sesuatu. Ketika muda, saya membuktikan betapa berani, betapa cerdas, dan betapa romantisnya diriku. Seiring berjalannya waktu saat aku menjadi dewasa aku berusaha membuktikan bahwa diriku adalah seorang ayah yang baik, seorang yang bijak, dan seorang yang berpengaruh. Tetapi yang mendasari semua itu adalah asumsi bahwa saya sedang ada di sebuah jalan di mana saya dinilai oleh seorang hakim yang memberikan ‘vonis’. Kemudian aku melihat satu hari ternyata kursi hakimnya kosong. Tidak ada Tuhan, tidak ada hakim, dan yang tersisa hanyalah suatu argumentasi pembuktian tanpa akhir dengan diriku sendiri, suatu usaha membuktikan sesuatu di hadapan bangku hakim yang kosong.”
Quentin, seorang Liberal mengungkapkan bahwa setiap kali ia mencari kebenaran, pembuktian diri, supaya dia berharga, dengan asumsi bahwa ada seorang di atas sana yang menilai hidupnya, yang suatu hari dia harus bertanggung jawab terhadap hidupnya. Tetapi menurutnya tidak ada orang yang menghakiminya, tidak ada Tuhan. Artinya, kita bisa hidup terserah dan semau kita. Apa yang benar dan salah tergantung dirimu. Tidak usah berpikir bahwa suatu hari ada hari penghakiman, karena itu adalah suatu kebodohan.
Dari sini kita bisa melihat, kalau benar dan salah tidak ada, lalu untuk apa kita melakukan hal-hal tersebut? Tidak ada gunanya. Namun, ada satu hal yang perlu dipertanyakan dan tidak bisa dijawab kepada Miller (Quentin), mengapa ada dorongan di dalam dirinya sendiri untuk selalu melakukan pembuktian diri?
Kalau kita adalah orang-orang ateis, agnostik, orang-orang yang tidak percaya pada hari penghakiman, atau kita orang percaya yang berpikir bahwa Tuhan tidak menghakimi, kita perlu memikirkan satu hal: Jika tidak ada Tuhan (tidak ada hakim/hari penghakiman) maka semua perbuatan baik yang bermoral dalam kehidupan tidak lagi memiliki makna (sia-sia & menghasilkan keputusasaan. Kalau ada yang bilang, “Lebih baik berbagi dari pada egois”, siapa yang bilang? “Lebih enak egois karena semua bisa saya miliki”. “Kalau aku bisa nilep uang, aku ambil saja semuanya untuk diriku sendiri”. Jadi gagasan Arthur Miller awalnya terlihat sangat membebaskan bahwa enggak ada hakim, tetapi dia masuk ke dalam kegelapan total. Jika kita memiliki kebebasan total semacam itu, berarti kita juga memiliki ketidakberartian total, karena semua yang kita lakukan tidak artinya.
Ada seorang teolog bernama Miroslav Flov, asal Kroasia yang mengalami dampak perang dan konflik etnis agama, bahkan ia mengalami ketidakadilan, tetapi dia banyak berbicara tentang rekonsiliasi dan pengampunan. Dia ada satu kalimat yang dia tulis dalam bukunya yang berjudul “Exclusion & Embrace”:
“bahwa kepercayaan adanya Tuhan yang melakukan penghakiman ilahi merupakan dasar yang penting untuk suatu budaya & masyarakat melakukan praktik non-kekerasan.”
Bagi Volf, saat ia berbicara dengan orang-orang korban kekejaman (diperkosa, dibunuh, dihancurkan rumahnya), lalu upaya yang dilakukan untuk menolongnya adalah dengan menyuruh mereka untuk mengampuni, respons yang terjadi adalah mereka akan memberontak dan segera ingin membalas. Satu-satunya cara untuk menenangkan korban-korban ini adalah dengan mengatakan “Ada Tuhan yang melihat semua hal ini, kamu tidak usah balas dendam, biarlah Tuhan yang membalas”. Orang yang mempunyai kepercayaan kepada Tuhan akhirnya bisa disembuhkan dari dendam dan kepahitan yang berasal dari trauma kehilangan anak, orang tua, pasangan, dibandingkan dengan orang yang tidak percaya pada Tuhan, mereka akan menjadi orang yang sangat pemarah dan trauma, atau mereka akan mati karena balas dendam di dalam perang dan kalah.
Volf mengkritik pandangan Liberal yang menganggap bahwa gagasan tentang Tuhan yang menghakimi akan memicu agresi dan kekerasan. Sebaliknya, dia menunjukkan bahwa dalam situasi ketidakadilan ekstrem, gagasan tentang tidak adanya Tuhan atau Tuhan yang hanya mengasihi dan tidak menghakimi justru tidak realistis dan tidak efektif. Tanpa keyakinan bahwa Tuhan itu akan mengadili, justru membuat orang ingin balas dendam. Satu-satunya cara untuk menghentikan violence/kekerasan ini adalah dengan melihat bahwa ada Tuhan yang menghakimi. Di sini terlihat bahwa hari penghakiman itu punya sisi positif. Karena satu hari, semua orang bertanggung jawab atas semua yang mereka lakukan.
2. HARI PENGHAKIMAN ADALAH KABAR BURUK.
Meskipun hari penghakiman punya sisi positif, tetapi hari penghakiman merupakan kabar buruk bagi orang berdosa. Ada satu paradoks yaitu:
“Hari penghakiman penting dan harus ada namun di hari penghakiman, tidak ada satu pun manusia (kita) yang bisa berharap selamat atau luput dari hukuman.”
Tuhan adalah Tuhan yang adil. Jika hari penghakiman Tuhan benar-benar ada, maka kita pasti dihukum karena kita berdosa dan kita tidak sempurna. Kita semua gagal dalam memenuhi standar kekudusan Tuhan. Pada hari penghakiman kita ditemukan bersalah. Kita perlu menyadari bahwa penghakiman Tuhan itu ada prinsipnya. Ada 2 prinsip penghakiman Tuhan:
Yeremia 17:10:
“Aku, Tuhan, menyelidiki hati, menguji batin, untuk memberi balasan kepada setiap orang setimpal dengan tingkah langkahnya, setimpal dengan hasil perbuatannya.”
Ternyata balasan itu diberikan setimpal dengan tingkah langkahnya, dan hasil perbuatannya, tetapi yang diselidiki hati, yang diuji adalah batin. Tuhan menyelidiki hati manusia dan memberikan balasan sesuai dengan niat-motivasi hati dan batin mereka saat sudah dibuahi dalam perbuatan.
1 Samuel 16:7:
“Tetapi Tuhan berkata kepada Samuel: ‘Jangan pandang parasnya atau perawakan yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi Tuhan melihat hati.’”
Jadi di sini ditegaskan bahwa Tuhan melihat hati manusia, bukan tindakan eksternal. Kalau kita baca dalam Yohanes 12:42-43, ternyata ada orang-orang Farisi yang sebenarnya percaya pada Yesus, tapi tidak mau mengaku dan berterus terang karena takut dikucilkan. Mereka lebih suka akan kehormatan manusia dari pada kehormatan Allah. Setelah itu, barulah Yesus menjelaskan tentang penghakiman. Jadi prinsip PERTAMA penghakiman Tuhan adalah berfokus pada hati kita. Banyak orang kelihatannya beribadah, kelihatannya baik secara eksternal, tetapi hatinya dipenuhi dengan kesombongan, iri hati, merasa superior. Dan penghakiman Tuhan yang benar bukan hanya mempertimbangkan perbuatan, tetapi justru melihat kondisi hati yang sebenarnya. Tuhan adalah Tuhan yang adil dan melihat kita dari motivasi hati kita.
Apa yang menjadi motivasi hati kita? Kita bisa saja melakukan hal yang baik tetapi motivasi hati kita paling penting. Kenapa kita melakukan hal itu? Apakah untuk terlihat baik, untuk merasa unggul dari orang lain, untuk membuat Tuhan berhutang pada kita? Coram Deo artinya tidak ada yang tersembunyi di hadapan Allah.
Yohanes 12:48:
“Barangsiapa menolak Aku, dan tidak menerima perkataan-Ku, ada hakimnya, yaitu firman yang telah Kukatakan, itulah yang akan menjadi hakimnya pada akhir zaman.”
Apa maksudnya? Kata “firman” di sini adalah metafora (simbolis) karena Yesus tetap menjadi hakimnya, namun Yesus mengatakan bahwa Dia menghakimi kita berdasarkan apa yang kita ketahui. Prinsip KEDUA penghakiman Tuhan adalah berdasarkan apa yang kita ketahui. Orang yang lebih memiliki banyak pengetahuan, pemahaman tentang kebenaran, teologi, dan firman, akan diminta pertanggung jawaban yang lebih besar. Prinsip ini memastikan bahwa penghakiman Tuhan itu adil sesuai dengan keadaan masing-masing individu. Kalau dia tidak tahu ya dia akan diadili sesuai dengan itu.
Contoh: ada 2 anak, satunya umur 12 tahun satunya lagi umur 5 tahun. Dua-duanya bikin salah, akhirnya orang tuanya memberi hukuman kepada keduanya. Pasti papa mamanya ngomong ke yang paling besar, “kamu ini kan yang paling besar, kamu mestinya lebih tahu”. Tanggung jawab si paling besar lebih berat. Kenapa? Dia lebih banyak tahu.
Kita sering kali menyukai pemahaman teologi-teologi yang baru, untuk mengisi apa yang kita ketahui. Pertanyaannya adalah apakah pemahaman-pemahaman yang kita ketahui sudah kita HIDUPI? Karena kita harus bertanggung jawab kepada Tuhan. Mungkin dalam hati kita terbesit pikiran, “Ya sudah gak usah ikut-ikutan seminar-seminar, nanti tambah tahu banyak”. Untuk menjawab ini, kita perlu melihat dari sisi lain apabila kita tidak tahu. Paulus dalam Roma 2:13-16 mengatakan orang yang tidak tahu hukum Taurat tetap dihakimi sesuai dengan apa yang dia tahu:
13. Karena bukanlah orang yang mendengar hukum Taurat yang benar di hadapan Allah, tetapi orang yang melakukan hukum Tauratlah yang akan dibenarkan.
14. Apabila bangsa-bangsa lain yang tidak memiliki hukum Taurat oleh dorongan diri sendiri melakukan apa yang dituntut hukum Taurat, maka, walaupun mereka tidak memiliki hukum Taurat, mereka menjadi hukum Taurat bagi diri mereka sendiri.
Paulus menjelaskan bahwa kita dihakimi sesuai dengan kebenaran yang kita ketahui meskipun cuma sedikit, tetapi dilakukan tidak kebenaran itu?
15. Sebab dengan itu mereka menunjukkan, bahwa isi hukum Taurat ada tertulis di dalam hati mereka dan suara hati mereka turut bersaksi dan pikiran mereka saling menuduh atau saling membela.
16. Hal itu akan nampak pada hari, bilamana Allah, sesuai dengan Injil yang kuberitakan, akan menghakimi segala sesuatu yang tersembunyi dalam hati manusia, oleh Kristus Yesus.
Kalau kita tahu Injil dan mengerti firman dan memahami teologi, pertanyaannya adalah apakah kita sudah MELAKUKAN apa yang kita ketahui dan pahami? Kalau bisa membandingkan pandangan tentang penghakiman ada 2 kubu. Pertama yaitu Liberal:
Kedua yaitu Legalistik:
Yohanes 12:44-45
44. Tetapi Yesus berseru (CRIED OUT) kata-Nya: “Barangsiapa percaya kepada-Ku, ia bukan percaya kepada-Ku, tetapi kepada Dia, yang telah mengutus Aku;
45. dan barangsiapa melihat Aku, ia melihat Dia, yang telah mengutus Aku.”
Kata BERSERU di sini artinya menangis sambil berteriak. Jadi Ia bukan hanya berseru. Yesus berkata sambil menangis bahwa “Penghakiman itu akan datang dan Akulah satu-satunya jalan keluar. Akulah satu-satunya jalan agar engkau dapat berdamai dengan Bapa. Aku adalah wakil dari Bapa.” Banyak agama, banyak filsafat yang benar mengatakan adanya hakim, tapi tidak ada satu pun agama atau filsafat yang mengatakan bahwa sang hakim berbicara dan mengatakan sambil menangis. Kenapa Ia menangis?
Yesus Kristus tidak hanya datang sebagai hakim yang adil namun juga hakim yang berbelas kasihan & penuh empati. Dia berseru & menangis dengan kasih, memahami penderitaan manusia & merasakan kepedihan tentang penghakiman. Dia tahu tidak ada yang bisa luput dari penghakiman itu, untuk itulah Dia berseru sambil menangis, “Akulah jalan, hanya Aku jalannya”.
Yohanes 12:37:
Kenapa mereka tidak percaya? Karena orang-orang pada waktu itu percaya bahwa Mesias itu bukan hanya hakim yang ngomong tentang keadilan saja tetapi hakim yang bisa melaksanakan keadilan. Yesus terlihat lemah, tidak punya kekuatan politik, tidak punya kekuatan militer untuk melaksanakan keadilan makanya dikatakan mereka tidak percaya. Sebaliknya, keadilan yang ditunjukkan Yesus ada di ayat 38:
Gospel Connection
Yohanes 12:38:
38. supaya genaplah firman yang disampaikan oleh nabi Yesaya: “Tuhan, siapakah yang percaya kepada pemberitaan kami? Dan kepada siapakah tangan kekuasaan Tuhan dinyatakan?”
Kalimat “supaya genaplah firman yang disampaikan oleh nabi Yesaya” , ini merujuk Yesaya 53 dan yang mengisahkan nubuat tentang Yesus Kristus.
1. Siapakah yang percaya kepada berita yang kami dengar, dan kepada siapakah tangan kekuasaan Tuhan dinyatakan?
2. Sebagai taruk ia tumbuh di hadapan Tuhan dan sebagai tunas dari tanah kering. Ia tidak tampan dan semaraknya pun tidak ada sehingga kita memandang dia, dan rupa pun tidak, sehingga kita menginginkannya.
3. Ia dihina dan dihindari orang, seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan ia sangat dihina, sehingga orang menutup mukanya terhadap dia dan bagi kita pun dia tidak masuk hitungan.
4. Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya, padahal kita mengira dia kena tulah, dipukul dan ditindas Allah.
5. Tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh.
Yesus menanggung penghakiman kita. Sang Hakim itu turun dari kursi-Nya untuk menanggung penghakiman yang seharusnya kita alami. Di salib, Yesus menjadi hamba yang menanggung penghukuman kita, melalui penolakan-Nya – kita diterima; melalui penderitaan-Nya – kita dibenarkan; melalui penghukuman-Nya – kita diampuni; melalui kehinaan-Nya – kita dipulihkan; melalui kesakitan-Nya – kita disembuhkan.
Yesus Kristus Sang Hakim Agung dihakimi & menanggung penghakiman kita, untuk menyelesaikan rencana penebusan Bapa melalui karya salib-Nya secara sempurna. Kita yang percaya kepada Kristus, tidak perlu takut akan penghakiman di masa depan, karena penghakiman kita sudah ditanggung oleh Yesus. Kasih dan keadilan Allah bertemu di salib.
3. BAGAIMANA INJIL MENJADI JAWABAN DAN IMPLIKASINYA BAGI KITA?
Sekarang di dalam Kristus, kita bisa hidup dengan tenang di antara dua penghakiman. PENGHAKIMAN MASA LALU yaitu Kristus telah menanggung penghakiman kita di kayu salib, sehingga melalui Dia, kita tidak perlu takut akan penghakiman masa depan, karena kita sudah diterima, dikasihi & diampuni Tuhan. PENGHAKIMAN MASA DEPAN yaitu akan ada penghakiman akhir di mana semua orang akan diadili. Kita hidup dengan pengharapan bahwa keadilan akan ditegakkan pada akhirnya. Kita yang percaya, aman karena dibenarkan di dalam Kristus.
Namun, ada satu penghakiman lagi. Setiap hari kita hidup dalam dunia yang penuh penghakiman. Kita hidup di dalam dunia yang senantiasa menghakimi & mengevaluasi hidup kita semua. Penampilan, aset, keluarga, rumah, pakaian, postur tubuh kita dinilai, bahkan sosial media mengevaluasi kita dengan algoritmanya. Inilah sistem dunia. Bagaimana kita bisa tenang dengan performa kita yang selalu dievaluasi, dalam semua penilaian yang kita harus terima berdasarkan semua hal-hal yang fana, yang menjadi ukuran dunia di mana kita dinilai hebat, sukses, berhasil, sebagai orang terpandang? Bagaimana kita bisa hidup dengan tenang dan memuliakan Allah?
Kalau kita sadar bahwa kita orang ber-Injil:
Pertanyaan ke-52 dari Katekismus Heidelberg: Penghiburan apa yang saudara peroleh dari kedatangan Kristus kembali untuk menghakimi orang yang hidup dan yang mati?
Jawaban: bahwa dalam segala kedukaan dan penganiayaan, dengan kepada tegak aku tetap menantikan kedatangan Dia, yang dahulu menghadapi pengadilan Allah guna kebaikanku, dan yang telah mengangkat seluruh kutuk Allah dariku, untuk menjadi Hakim surgawi. Dia akan membuang semua musuh-Nya, yang adalah juga musuhku, ke tempat kutuk yang kekal, tetapi akan menyambut aku bersama dengan semua orang pilihan-Nya dalam kesukaan dan kebahagiaan yang di surga.
Jadi, apa yang menjadi penghiburan kita? Kita dapat hidup dengan suatu ketenangan di hati karena tahu kutukan kita telah ditanggung oleh Kristus. Hal ini menolong kita dan memberikan kita kekuatan menghadapi tantangan, penganiayaan sekalipun.
Pertanyaan Reflektif
Gospel Response
Karena Injil