The Gospel In Vanity Fair

Meaningless Without Jesus Week 2 "Injil Dalam Pameran Kefanaan" 

Ps. Natanael Thamrin

 

PEMBACAAN                 : Pengkhotbah 2:1-26

Kalau kita baca khususnya Pasal 1:3 dan Pasal 2:22 maka akan menimbulkan gejolak dalam hati kita. Dan kalau kita jujur, kesan pertama yang kita pikirkan dari kedua ayat tersebut maka kita temukan ada 3 respon manusia pada umumnya yaitu;  

Lari dari kenyataan (The Escapist. Kaum Escapist menggunakan narkoba, alkohol, ataupun seks untuk menghindari kenyataan hidup. Namun, ada juga yang melakukannya dengan cara yang dipandang lebih baik ialah melalui menonton, bekerja, liburan, bermain game, dst. 

Adakah kenyataan? (The Nihilist). Kaum Nihilist bertanya: mengapa harus melanjutkan hidup jika hidup itu tidak ada artinya? Untuk apa hidup di bawah sinar matahari jika ternyata kita hanyalah seperti sehelai daun yang akan segera jatuh dari pohon, lalu disapu dan dibakar? 

‘Bodo amat’ sama kenyataan (The Hedonist). Kaum Hedonist memiliki slogan: ‘mari kita makan, minum, karena toh besok akan mati.’ Hidup demi kesenangan adalah tujuan akhir dari kehidupan itu sendiri.

Ketiga respon ini bukanlah respon yang tepat. lalu bagaimana seharusnya kita sebagai orang percaya melihat kenyataan hidup ini? Sebelum sampai ke sana, dalam teks kita, pengkhotbah, raja Salomo dalam Pasal 2 ini memberikan sebuah pameran kefanaan yang paling jelas dan sangat vulgar terhadap kenyataan hidup ini. 

          1. PENCARIAN MAKNA HIDUP MELALUI PENGEJARAN KESENANGAN

Dalam Pengkhotbah 1:12-15, Raja Salomo berpikir bahwa mengejar hikmat akan memberi jawab pencarian makna hidup. Namun, ternyata pada akhirnya di dalam banyak hikmat justru ada banyak susah hati. Ibarat raja Salomo pergi ke sebuah universitas dan mempelajari hikmat di sebuah ruang perpustakaan sepanjang waktunya tetapi yang dia temukan justru semakin banyak susah hati dan kesedihan. 

Belum puas dengan pencariannya akan makna hidup maka sekarang dalam pasal 2 dia mencoba untuk mencarinya di tempat lain, disebuah ruangan yang mungkin untuk mudah kita mengerti saya sebut sebagai ruangan club malam yang penuh dengan hiburan. Demikianlah hidup manusia bukan. Ketika gagal menemukan jawaban disebuah tempat maka mereka akan pergi ke tempat lain untuk mencarinya. 

Pengkhotbah 2:1-3

1 Aku berkata dalam hati: ”Mari, aku hendak menguji kegirangan! Nikmatilah kesenangan! Tetapi lihat, juga itu pun sia-sia.” 2 Tentang tertawa aku berkata: ”Itu bodoh!”, dan mengenai kegirangan: ”Apa gunanya?” 3 Aku menyelidiki diriku dengan menyegarkan tubuhku dengan anggur, – sedang akal budiku tetap memimpin dengan hikmat –, dan dengan memperoleh kebebalan, sampai aku mengetahui apa yang baik bagi anak-anak manusia untuk dilakukan di bawah langit selama hidup mereka yang pendek itu.

Secara spesifik perhatikan kata yang diberi huruf tebal: nikmatilah kesenangan, tetapi lihat, juga itu pun sia-sia. Tentang tertawa aku berkata: itu bodoh. Aku menyelidik diriku dengan menyegarkan tubuhku dengan anggur sampai aku mengetahui apa yang baik bagi anak-anak manusia untuk dilakukan dibawah langit selama hidup mereka yang pendek. Frasa-frasa ini ingin memberikan kita sebuah gambaran yang realistis tentang hidup bahwa : Mencari kesenangan sepertinya akan membuat seseorang bahagia, namun nyatanya Tidak. Tertawa mungkin dapat mengalihkan perhatian kita sejenak dari kesedihan, namun nyatanya Tidak dapat menyembuhkan. Minum anggur terlihat sebagai solusi terbaik mengatasi kehampaan hidup menghadapi kematian, namun nyatanya Tidak menghilangkan rasa sakit atas keterhilangan.

Bukankah kita sering menyaksikan hal ini bahkan mungkin melakukan hal ini dalam hidup kita. Bayangkan ketika kita baru saja kehilangan orang yang anda kasihi, lalu kita pergi ke sebuah acara stand up comedi yang menawarkan gelak tawa yang heboh, mungkinkah kita akan tertawa disana? 

Ketika pengkhotbah, raja Salomo ternyata tidak menemukan pencarian makna hidupnya melalui beragam bentuk kesenangan, dalam ayat selanjutnya dia pergi ke tempat lain yang kita sebut sebagai ruangan pekerjaan dan seks. 

Pengkhotbah 2:4-10

4 Aku melakukan pekerjaan-pekerjaan besar, mendirikan bagiku rumah-rumah, menanami bagiku kebun-kebun anggur; 5 aku mengusahakan bagiku kebun-kebun dan taman-taman, dan menanaminya dengan rupa-rupa pohon buah-buahan; 6 aku menggali bagiku kolam-kolam untuk mengairi dari situ tanaman pohon-pohon muda. 7 Aku membeli budak-budak laki-laki dan perempuan, dan ada budak-budak yang lahir di rumahku; aku mempunyai juga banyak sapi dan kambing domba melebihi siapa pun yang pernah hidup di Yerusalem sebelum aku. 8 Aku mengumpulkan bagiku juga perak dan emas, harta benda raja-raja dan daerah-daerah. Aku mencari bagiku biduan-biduan dan biduanita-biduanita, dan yang menyenangkan anak-anak manusia, yakni banyak gundik. 9 Dengan demikian aku menjadi besar, bahkan lebih besar dari pada siapa pun yang pernah hidup di Yerusalem sebelum aku; dalam pada itu hikmatku tinggal tetap padaku. 10 Aku tidak merintangi mataku dari apa pun yang dikehendakinya, dan aku tidak menahan hatiku dari sukacita apa pun, sebab hatiku bersukacita karena segala jerih payahku. Itulah buah segala jerih payahku. 

Pengkhotbah, raja Salomo ternyata melakukan pekerjaan yang sangat luar biasa. Dia adalah seorang arsitek yang handal (ay. 4), juga seorang pengusaha tanaman dan buah yang berhasil (ay. 5). Dia juga adalah seorang yang ahli dalam hal tata kota (ay. 6)

Dari ayat 4-6 disini beberapa penafsir bahkan mengatakan salomo sedang mencoba menciptakan taman eden yang baru. Itu terlihat dengan sangat jelas melalui ungkapan rupa-rupa pohon buah-buahan yang diulang sebanyak 3 kali dalam kisah penciptaan yakni dalam kejadian 1:11, 29 dan 2:9. (nanti silahkan anda baca sendiri dirumah).

Selanjutnya, ayat 7-8 menyingkapkan bahwa dia juga memiliki budak yang sangat banyak dari hasil pembelian dan juga yang lahir di istananya. Kambing domba sapi sebagai komoditas usaha utama pada waktu itu juga dimilikinya tak terhitung jumlahnya. 

Ditambah lagi dengan perak emas yang didapatkannya dari kolekte yang dikumpulkan oleh raja-raja yang tunduk pada kekuasaannya dan pajak yang dikumpulkan dari rakyatnya sendiri. ini jelas menandakan bahwa raja salomo bukan hanya memiliki harta yang limpah tetapi juga kekuasaan dan ketenaran militer yang mentereng. 

Dia memiliki banyak biduan-biduan yang dapat menghiburnya sepanjang hari tanpa henti dengan alunan lagu. raja salomo nampaknya tidak perlu memberi radio tape atau ipod atau berlangganan spotify premium untuk mendengarkan lagu kesukaannya karena dia sanggup mendatangkan bahkan membeli sebuah band atau paduan suara untuk bernyanyi bagi dia tanpa harus terganggu dengan iklan-iklan skincare ataupun tawaran pinjaman online. 

Raja Salomo juga  tidak perlu kuatir dengan persoalan kenikmatan seksual. dia punya 700 istri dan 300 gundik wanita yang dicatat dalam 1 Raja-Raja 11. Dan dalam ayat 9-10 kita mendapati bahwa pengkhotbah, raja salomo mengatakan aku menjadi besar, bahkan yang lebih besar daripada siapapun yang pernah hidup di Yerusalem sebelum aku dan juga tidak ada satupun yang dapat merintanginya untuk mendapatkan apapun yang dikehendakinya. aritnya uang bukan masalah, pengaruh juga bukan masalah baginya, semuanya dia miliki. 

Pengkhotbah 2:11

11 Ketika aku meneliti segala pekerjaan yang telah dilakukan tanganku dan segala usaha yang telah kulakukan untuk itu dengan jerih payah, lihatlah, segala sesuatu adalah kesia-siaan dan usaha menjaring angin; memang tak ada keuntungan di bawah matahari.

Dengan kata lain , bahkan ketika segala sesuatu ada di dalam gengamannya, hatinya tetap hampa. Mungkin inilah yang dikatakan sebagai sebuah paradoks oleh seorang jurnalis dan penulis buku 

Kita hampir memiliki segalanya sekarang ini… kecuali kebahagiaan. Faktanya, semakin banyak yang kita miliki, kita semakin tidak bahagia, karena kita tahu bahwa kita tidak akan pernah bisa mendapatkan semua hal baru yang kita inginkan.

We have more of almost everything today… Except happiness. In fact, the more we have, the unhappier we are, because we know we will never be able to get all the new things that we want. Gregg Easterbrook, The Progress Paradox: How Life Gets Better While People Feel Worse

Sebagai contoh yang lain;  Meskipun kita mengalami kemajuan dalam teknologi seperti handphone, tetapi kita tidak mengalami kemajuan dalam komunikasi. Buktinya: dulu waktu jaman pager yang dimana kita hanya bisa mengetik beberapa karakter kata saja sudah cukup happy. Sekarang ini, ketika kita bisa dengan bebas mengetik tanpa harus dibatasi oleh beberapa karakter, toh kita masih sering tersinggung ketika menerima pesan teks dari sahabat atau bahkan pasangan kita. 

Atau ketika pilihan hidup yang semakin banyak seperti: pilihan makanan yang ada di aplikasi-aplikasi tertentu yang sekarang ini memudahkan kita untuk membeli makanan tanpa harus beranjak dari meja kerja atau kamar tidur tapi toh itu tidak membuat kita semakin mudah dalam memilih makanan. Yang terjadi justru kita dibuat bingung dengan ragam pilihannya dan menurut penelitian bahwa banyaknya ragam pilihan yang membuat kita semakin bingung dalam memilih menurunkan tingkat kebahagiaan. Dan yang menarik kemudian ialah

Pengkhotbah 2:11

11 Ketika aku meneliti (Ibr. Panah yang secara harafiah berarti menatap sesuatu atau mata seseorang) segala pekerjaan yang telah dilakukan tanganku dan segala usaha yang telah kulakukan untuk itu dengan jerih payah, lihatlah, segala sesuatu adalah kesia-siaan dan usaha menjaring angin; memang tak ada keuntungan di bawah matahari.

Ketika pengkhotbah memakai kata ’meneliti’ dalam ayat 11 yang dalam bahasa ibrani memakai kata panah yang artinya secara harafiah ialah menatap sesuatu atau menatap mata seseorang. Dan pemaknaan ini semakin kuat ketika pengkhotbah mengatakan lihatlah. Seolah-olah pengkhotbah, raja salomo ingin memberi pesan yang sangat personal kepada seseorang bahwa kejarlah semua kesenangan, namun semuanya itu tidak dapat memuaskan jiwamu. 

Dengan kata lain, ternyata hidup dengan cara pandang escapist atau hedonist tidak dapat memuaskan jiwa kita. Tidak heran, bapak gereja, Agustinus pernah berkata: 

Engkau membuat diri kami untuk diri-Mu, ya Tuhan, dan hati kami tidak akan tenang sampai kami tenang di dalam-Mu. 

You have made us for yourself, O Lord, and our heart is restless until it rests in you.” (St. Augustine)

Tetapi, melalui ayat 12-14 pengkhotbah, raja Salomo tidak menjadi putus asa terhadap keadaannya. Dia kemudian beralih kepada sebuah pencarian lagi dan kali ini dia kembali kepada pencarian akan hikmat. Ibarat: ketika barang yang kita simpan di meja kerja kita dan kemudian hilang lalu kita pergi mencarinya di seluruh ruang kerja kita bahkan sampai ke ruang tamu dan dapur namun pada akhirnya kita kembali lagi mencarinya diatas meja kerja kita. Kali ini dia kembali pada pencarian melalui hikmat sebagaimana yang sudah dilakukannya seperti yang dicatat dalam Pasal 1:18. 

12 Lalu aku berpaling untuk meninjau hikmat, kebodohan dan kebebalan, sebab apa yang dapat dilakukan orang yang menggantikan raja? Hanya apa yang telah dilakukan orang.13 Dan aku melihat bahwa hikmat melebihi kebodohan, seperti terang melebihi kegelapan.14a Mata orang berhikmat ada di kepalanya, sedangkan orang yang bodoh berjalan dalam kegelapan. 

Disini Pengkhotbah, raja Salomo ingin menyampaikan bahwa memiliki hikmat lebih baik jika dibandingkan dengan kebodohan. Dengan kata lain, adalah lebih bermanfaat memiliki kebijaksanaan Pengkhotbah ingin menyampaikan bahwa adalah lebih baik tinggal dalam terang atau hikmat daripada kegelapan atau kebodohan. Dengan kebijaksanaan maka kita dapat menavigasi hidup kirta tanpa tersandung oleh jebakan-jebakan dalam kehidupan dunia ini dan dapat mengambil keputusan yang tepat dalam setiap situasi yang sedang kita hadapi. 

Pengkhotbah 2:14b-17

14b tetapi aku tahu juga bahwa nasib yang sama menimpa mereka semua. 15 Maka aku berkata dalam hati: ”Nasib yang menimpa orang bodoh juga akan menimpa aku. Untuk apa aku ini dulu begitu berhikmat?” Lalu aku berkata dalam hati, bahwa ini pun sia-sia. 16 Karena tidak ada kenang-kenangan yang kekal baik dari orang yang berhikmat, maupun dari orang yang bodoh, sebab pada hari-hari yang akan datang kesemuanya sudah lama dilupakan. Dan, ah, orang yang berhikmat mati juga seperti orang yang bodoh!17 Oleh sebab itu aku membenci hidup, karena aku menganggap menyusahkan apa yang dilakukan di bawah matahari, sebab segala sesuatu adalah kesia-siaan dan usaha menjaring angin.

Namun ternyata masalah yang sama juga menimpa kehidupan orang yang berhikmat dan orang yang bodoh yaitu kematian.

          2. UJUNG PENCARIAN MAKNA HIDUP BERAKHIR PADA KEMATIAN

Ada sebuah kisah tentang percakapan raja alexander the great dan dengan sahabatnya seorang filsuf yang bernama Diogenes. Diceritakan satu kali Alexander The Great menemukan Diogenes sahabatnya itu sedang berdiri sendirian di sebuah lapangan dan sedang memandangi tumpukan tulang belulang dengan seksama. Ketika itu, Alexander bertanya kepada Diogenes tentang apa yang dia lakukan. dan Diogenes menjawab  “ Saya sedang mencari tulang belulang dari ayahmu Philip, tetapi saya tidak dapat membedakannya dari tulang pada budak.” Cerita ini ingin menunjukkan bahwa hikmat manusia tidak dapat mengatasi persoalan kematian, dan karena itu hikmat manusia tidak dapat memberi jawab atas persoalan makna hidup.

Disini Pengkhotbah, raja Salomo seolah-olah sepakat dengan paham nihilist yang mempertanyakan makna hidup.  jika hidup harus berakhir dengan kematian, lalu untuk apa hidup? Untuk apa hidup jika kita ternyata hanyalah seperti sehelai daun yang akan segera jatuh dari pohon, lalu disapu dan dibakar? Namun justru saya mendapati bahwa pengkhotbah berbeda dengan kaum nihilist yang sangat pesimis melihat hidup. Pengkhotbah, raja Salomo tetap dalam keyakinan akan kehidupan tetapi disisi lain punya kesadaran tentang akhir dari kehidupan yaitu kematian. 

Pengkhotbah 2:20-23

20 Dengan demikian aku mulai putus asa terhadap segala usaha yang kulakukan dengan jerih payah di bawah matahari. 21 Sebab, kalau ada orang berlelah-lelah dengan hikmat, pengetahuan dan kecakapan, maka ia harus meninggalkan bahagiannya kepada orang yang tidak berlelah-lelah untuk itu. Ini pun kesia-siaan dan kemalangan yang besar. 22 Apakah faedahnya yang diperoleh manusia dari segala usaha yang dilakukannya dengan jerih payah di bawah matahari dan dari keinginan hatinya? 23 Seluruh hidupnya penuh kesedihan dan pekerjaannya penuh kesusahan hati, bahkan pada malam hari hatinya tidak tenteram. Ini pun sia-sia.

Disatu sisi, Pengkhotbah mengatakan bahwa dia mulai putus asa dengan kehidupan, tetapi disisi lain dia masih mengungkapkan tentang persoalan pekerjaan bahkan pekerjaan yang dilakukan sampai malam hari. Lalu di ayat 21 pengkhotbah seolah-olah ingin menunjukkan bahwa dia senang berlelah-lelah untuk mendapatkan hikmat, pengetahuan dan kecakapan, tetapi disatu sisi dia juga merasa sedih karena jika dia kemudian mati maka seluruh yang dia miliki harus berpindah tangan kepada orang yang tidak mengusahakannya. 

Jadi ada sebuah paradoks. Putus asa dengan hidup tetapi masih bekerja keras. Senang berlelah-lelah dalam bekerja tetapi kuatir dan sedih jika harus menyerahkan hasil usahanya kepada orang lain. Tesis ini ingin menunjukkan bahwa Pengkhotbah, raja Salomo tidak sedang mendukung paham nihilis, tetapi justru sedang mengungkapkan perasaannya dimana Pengkhotbah memang frustasi dengan kehidupan, tetapi juga tidak siap berhadapan dengan kematian.

Dalam kesimpulan ini, kita juga menjumpai sebuah paradoks dimana sekalipun manusia frustasi dengan kehidupan, tetapi seringkali justru mereka terus bekerja. Namun tujuannya bekerja bukan karena ingin lebih banyak mengalami kefrustrasian tetapi justru karena ingin lari dari kenyataan akan kematian. Seorang filsuf yang bernama Blaise Pascal mengatakan :

Karena manusia tidak mampu menemukan obat untuk menyembuhkan kematian,
maka manusia cenderung untuk tidak memikirkannya agar bisa tetap merasa bahagia. (Blaise Pascal)

Apakah mungkin ini menjadi praktik yang juga kita lakukan sekarang ini?  Kita menghabiskan banyak waktu kita dengan bekerja dan terus bekerja sekalipun kita tahu bahwa di dalam pekerjaan itu akan ada banyak masalah dan rentan untuk kita menghadapi keputusasaan. Tetapi sesungguhnya sekalipun kita mengeluh tentang kerjaan yang sangat banyak, kita tetap mengerjakannya.Pertanyaannya ialah mengapa? Karena di dalam lubuk hati kita yang terdalam ada sebuah rasa takut dan ketidaksiapan akan menghadapi kematian itulah sebabnya, kita cenderung tidak memikirkannya agar tetap bisa merasa bahagia. Padahal kebahagiaan yang kita impikan itu juga tidak kunjung kita temukan. 

Ditengah kekeringan harapan dan keputusasaan akan kehidupan, pengkhotbah, raja salomo tiba-tiba mengalihkan perhatiannya kepada sebuah kebenaran yang dituliskan pada ayat 24-26 ;

Pengkhotbah 2:24-26

24 Tak ada yang lebih baik bagi manusia dari pada makan dan minum dan bersenang-senang dalam jerih payahnya. Aku menyadari bahwa ini pun dari tangan Allah. 25 Karena siapa dapat makan dan merasakan kenikmatan di luar Dia? 26 Karena kepada orang yang dikenan-Nya. Ia mengaruniakan hikmat, pengetahuan dan kesukaan, tetapi orang berdosa ditugaskan-Nya untuk menghimpun dan menimbun sesuatu yang kemudian harus diberikannya kepada orang yang dikenan Allah. Ini pun kesia-siaan dan usaha menjaring angin.

Ayat-ayat ini seperti oasis dipadang pasir yang kering atau air segar di tengah hutan belantara yang penuh dengan semak duri. Dan ayat-ayat ini secara implisit ingin menyingkapkan sebuah petunjuk seperti yang dikatakan oleh seorang penafsir bahwa ;

Kerinduan kita yang tidak terpuaskan memberikan petunjuk rohani bahwa kita memang dicipta untuk kesenangan Allah. 

Our unsatisfied longings give us a spiritual clue that we were made for the pleasure of God. (Philip Graham Ryken, Ecclesiastes: Why Everything Matters)

Mengetahui kebenaran ini adalah satu hal, tetapi meyakini kebenaran ini adalah hal yang lain. Masalahnya ialah kecenderungan hati kita ialah semata-mata hidup untuk kesenangan diri sendiri. Seorang penafsir dengan sangat jeli memperhatikan satu hal penting 

Adalah hal yang menarik bahwa dari pasal 1:14 sampai pasal 2:23, Allah seolah-olah menghilang dari catatan penulis, dan dirinya ‘AKU’ yang menjadi pusatnya. 

It is interesting that from 1:14 to 2:23 God has been entirely absent from the writer’s frame of reference; the striving self is at the center. (David Gibson, Living Life backward: How Ecclesiastes teaches us to live in light of the end )

Bisa dikatakan bahwa cukup banyak bahkan sangat banyak kata ‘aku’ dari 28 ayat mula-mula dari kitab Pengkhotbah ini, yang dimana secara gamblang ingin menjelaskan bahwa karena dosa maka seluruh orientasi hidup kita adalah tentang diri sendiri alias aku. Paul David Tripp pernah menuliskan: 


DNA dari dosa ialah keegoisan. Dosa membuat kita melihat segala sesuatu tentang diri kita. Dosa membuat kita selalu fokus pada keinginanku, kebutuhanku, dan perasaanku. Dosa menutupi pandangan kita terhadap kebutuhan orang lain karena yang paling penting hanyalah kebutuhanku. Dosa juga membuat fokus kita semata-mata hanya pada kepentinganku sehingga tidak perduli dengan kepentingan orang lain. (Paul David Tripp).

Dengan kata lain bahwa karena dosa maka kita semata-mata hanya menempuh jalan kesenangan yang berpusat pada diri sendiri. Dosa juga hanya selalu membawa kita pada pertanyaan-pertanyaan yang berpusat pada diri seperti: bagaimana perasaanku, bagaimana keaadanku, bagaimana orang memperlakukanku, apakah aku berhasil, apakah aku gagal, apakah aku diperlakukan adil, dan seterusnya. Jika demikian, bagaimana kita bisa terbebas dari jerat ‘aku’? 

          3.  MAKNA HIDUP DITEMUKAN DALAM KEBENARAN INJIL.

Pengkhotbah 2:26

26 Karena kepada orang yang dikenan-Nya Ia mengaruniakan hikmat, pengetahuan dan kesukaan, tetapi orang berdosa ditugaskan-Nya untuk menghimpun dan menimbun sesuatu yang kemudian harus diberikannya kepada orang yang dikenan Allah. Ini pun kesia-siaan dan usaha menjaring angin.

Di penghujung pasal 2 ini, Pengkhotbah, raja Salomo untuk pertama kalinya mengatakan tentang 2 macam orang yakni orang yang diperkenan Allah dan orang berdosa. Petunjuk yang paling jelas terdapat pada orang berdosa dimana hal urusan mereka yang menjadi ambisi mereka adalah mengumpulkan, mengumpulkan. Namun pada akhirnya, apa yang mereka kumpulkan akan diberikan kepada orang yang dikenan Allah.

Jadi, orang berdosa disini sama sekali tidak perduli dengan anugerah Allah. Satu-satunya yang mereka perdulikan hanyalah mengumpulkan untuk diri mereka dan kesenangan mereka sendiri. Tapi sayangnya, Pengkhotbah mengatakan: itu pun kesia-siaan dan usaha menjaring angin. Karena petunjuk tentang orang berdosa sangat jelas, tetapi untuk orang yang dikenan allah tidak sama sekali diberikan petunjuk. Maka dari itu, Pengkhotbah menuntun kita kepada sebuah pertanyaan penting yakni

Siapakah Pribadi Yang Diperkenan Allah?

Apakah orang yang diperkenan Allah adalah orang beragama yang berusaha dengan kekuatan dirinya untuk hidup dalam kesalehan? Alkitab menyaksikan bahwa tidak ada seorangpun yang benar, tidak ada seorangpun yang mencari allah, semua orang telah menyeleweng, mereka semua tidak berguna dan tidak ada yang berbuat baik. (Roma 3:10-12). Bahkan Yesaya 64:6 menyaksikan bahwa kesalehan kitapun seperti kain kotor yang menjijikkan dihadapan Allah. Lalu siapa pribadi yang diperkenan Allah? 200 tahun kemudian, nabi Yesaya menunjukkan sebuah petunjuk bahwa 

Lihat, itu hamba-Ku yang Kupegang, orang pilihan-Ku, yang kepadanya Aku berkenan. (Yesaya 42:1a)

Lalu terdengarlah suara dari sorga yang mengatakan: Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan. (Matius 3:17)

Kedua ayat ini menuntun kita untuk melihat satu-satunya pribadi yang berkenan dihadapan Bapa yaitu Tuhan Yesus Kristus.  Apa yang menjadi kontras dari kehidupan Yesus sebagai yang diperkenan Allah dengan orang berdosa yang tidak perduli dengan anugerah Allah?

  • Orang berdosa mengumpulkan dan menimbun kekayaan, menahan hartanya serta mengejar kesenangan dunia. Sangat kontras dengan orang yang diperkenan Allah yaitu Yesus yang memberi diri, menjadi miskin, melepaskan haknya dan menolak kesenangan dunia.
  • Yesus pada puncak hidupnya di dunia harus menanggung murka Allah dengan mati diatas kayu salib atas sesuatu yang tidak diperbuatnya. (2 Korintus 5:21)
  • Melalui Yesus Kristus, kita dibenarkan dihadapan Allah dan diterima sebagai anak-anak Allah. Hidup kita menjadi bermakna (tidak sia-sia). Sengat kematian tidak sanggup menggoyahkan kehidupan kita.

Tim Keller mengatakan “ Semua yang bisa kematian lakukan kepada orang Kristen sekarang adalah membuat hidup mereka menjadi jauh lebih baik.” (All death can now do to Christians is to make their lives infinitely better.)

Jika kita memahami ini, maka kita tidak lagi menjadi orang yang lari dari kenyataan, atau mempertanyakan kenyataan atau tidak perduli dengan kenyataan. Justru kita menjadi orang yang hidup dengan penuh pengharapan dan sukacita. Seorang yang bernama Douglas Sean O Donnell mengatakan 

Kehidupan di bawah matahari sangat singkat dan suram, tetapi kehidupan melalui Anak (Yesus Kristus) adalah kekal dan penuh sukacita. (Life under the sun is brief and bleak, but life through The Son is eternal and joyful )

Kita yang sekarang didalam Kristus dapat memaknai hidup dengan cara yang berbeda. Itulah sebabnya, barangsiapa yang ada di dalam Kristus, tidak membenci kehidupan tetapi justru mencintai kehidupan. Dengan kalimat yang lain;

Gospel People tidak membenci kehidupan tetapi justru mencintai kehidupan dan akan berusaha memberikan yang terbaik serta mengembangkannya semaksimal mungkin demi kemuliaan Allah.

Mungkin kita tidak dapat menikmati atau mempunyai segala sesuatu dalam hidup ini. Tetapi melalui apa yang dipercayakan oleh Tuhan kepada kita maka disanalah kita mengembangkannya demi kemuliaan Allah. Mungkin kita tidak mengetahui sepenuhnya tentang kehidupan, tetapi itu tidak mempengaruhi kesungguhan kita dalam menjalani hidup karena hidup kita tidak ditentukan oleh pengetahuan kita tentang yang akan datang, melainkan janji Tuhan yang telah mengangkat kita menjadi anak-anakNya dan yang mengatakan bahwa jerih lelah kita di dalam Tuhan tidak sia-sia. (bdk. 1 Korintus 15:58)

Secara praktis, kita dapat memaknai hidup dari lensa Injil dimana :

  • Melakukan pekerjaan dengan motivasi hati yang benar untuk kemuliaan Allah. 
  • Menikmati seluruh hasil bumi dengan ucapan syukur tanpa mengeksploitasi. 
  • Memiliki kemurahan hati kepada sesama demi pemberitaan Injil.
  • Melihat hubungan seksual dalam terang kekudusan dan rancangan Allah. 
  • Menatap penderitaan bahkan kematian dengan pengharapan akan kehidupan kekal bersama Allah.

Ini semua adalah hal yang sangat berkontradiksi dengan apa yang pengkhotbah katakan dalam bacaan kita. Tetapi melalui karya kristus maka sekarang ini kita dapat memaknai hidup dengan lensa yang benar. 

Lalu apa yang menjadi respon kita? 

Gospel Response

  • Mari kita bertobat dari kehidupan yang egois, pengejaran kesenangan fana dan menaruh identitas diri pada hal-hal yang sementara.
  • Pandanglah pada Yesus yang telah memberikan dirinya untuk menyelamatkan kita dari kesia-siaan, yang telah mengangkat kita menjadi anak-anak Allah serta yang menjamin kehidupan kita di dalam kekekalan.

Pertanyaan Reflektif

  • Apa yang selama ini menjadi standar kesenangan atau kebahagiaan kita?
  • Mengapa seringkali kita merasa putus asa dan hidup dalam kesia-siaan?
  • Apa yang selama ini memberi makna dalam hidup kita? Hal-hal yang fanakah ataukah karena sekarang ini kita ada di dalam Kristus?
  • Apakah kesadaran akan realitas ‘kematian’ mengubah perspektif kita dalam menjalani kehidupan?

KARENA INJIL

  • Kita tidak terlena dengan tawaran kesenangan yang fana melainkan dapat memiliki kepuasan di dalam pengenalan akan pribadi Kristus. 
  • Kita menyadari identitas dan makna hidup yang tidak tergoyahkan di dalam Kristus.
  • Kita justru menjadi penyalur kasih karunia (tidak menjadi egois) dan senantiasa mengucap syukur atas apa yang dikaruniakan Allah pada kita.
  • Kita berpengharapan dan memiliki sukacita dalam menjalani kehidupan sekalipun harus melewati penderitaan bahkan kematian.