Ketika JalanNya Nampak Tak Masuk Akal

 “Ketika Jalan-Nya Nampak Tak Masuk Akal”- Ev. Samuel Soegiarto, M.Th.

 

Pembacaan : Lukas 5 : 1- 11

Salah satu hal paling berat dalam kehidupan ini adalah ketika kita mencoba untuk hidup mengikut Tuhan. Firman Tuhan berkata bahwa barangsiapa mau mengikut Dia  harus memikul salib dan menyangkal diri dimana itu adalah hal yang tidak mudah untuk kita lakukan. Namun  lebih sukar lagi untuk mengikut Dia dengan setia  dan taat ketika kita harus mengalami konsekuensi-konsekuensi yang buruk ketika kita memilih untuk taat dan setia. Kalau pilihannya kita ikut Tuhan dan pasti mendapatkan kebahagiaan serta berkat maka meskipun ada kesulitannya maka kita tetap mengikut Dia. Tetapi ketika kita diminta untuk mengikut Dia dan taat namun harus mengalami konsekuensi-konsekuensi yang buruk maka kita bisa berpikir ulang mengapa Tuhan memimpin kita ke sebuah jalan yang bagi kita adalah aneh dan ini sepertinya adalah keputusan yang salah. Ini adalah pengalaman yang sering terjadi dalam kehidupan kita dimana sekalipun kita mencoba belajar untuk taat namun ada konsekuensi yang harus kita tanggung.

Pengalaman ini dialami oleh Yusuf dimana sekalipun dia berusaha hidup setia dan menjaga kesucian hidupnya namun dia tidak mendapatkan pujian namun justru penjara yang dia dapatkan. 

Pengalaman semacam inilah yang setidaknya juga dialami oleh Simon Petrus, seorang nelayan yang terbiasa menangkap ikan di Danau Galilea. Hari itu ia berjumpa dengan Yesus, sang rabbi yang sedang naik daun. Karena banyaknya jumlah orang yang berupaya mendengarkan Yesus, maka Ia meminjam perahu Simon dan duduk di sana mengajar.

Masalah terjadi tatkala Yesus selesai mengajar. Ia mengajak Simon untuk berlayar ke tempat yang lebih dalam dan menangkap ikan di sana. Beberapa problem dalam permintaan Tuhan Yesus:

Pertama, problem sains. Sebagaimana diketahui, ilmu alam menunjukkan bahwa waktu terbaik untuk menangkap ikan adalah pada saat malam hari. Permintaan Yesus ini nampak tidak umum dan bahkan bertentangan dengan hukum alam. Tidak mengherankan jika permintaan ini merupakan permintaan yang tidak mudah.

Kedua, problem pengalaman. Simon dengan jelas menjawab permintaan Yesusdengan menyatakan bahwa semalaman ia telah berjuang dan tidak mendapatkan hasil. Pengalaman menunjukkan bahwa “jalan” tersebut adalah jalan yang salah, karena tidak membawa hasil.

Ketiga, problem kesia-siaan. Pada saat Yesus datang dan meminjam perahu,Lukas mencatat bahwa Simon dan rekan-rekannya sedang membasuh jala. Hal itu berarti mereka sudah membereskan pekerjaan mereka. Perintah Yesus seolah meminta mereka untuk membongkar kembali pekerjaan yang baru saja mereka lakukan.

Gabungan ketiga masalah di atas memberikan gambaran betapa sulitnya kondisi Petrus untuk mentaati permintaan Yesus pada saat itu.

Sebenarnya kisah dalam Lukas ini bukan hanya mencatat sulitnya ketaatan Petrus di dalam mengikuti Yesus, tetapi juga sebaliknya, yakni betapa sulitnya Tuhan Yesus untuk dapat memercayai manusia. Setidaknya ada tiga masalah yang Tuhan Yesus hadapi ketika Ia harus memanggil manusia dan melibatkan mereka di dalam pekerjaan-Nya:

Pertama, problem natur keberdosaan. Manusia, bukan saja terbatas, tetapi jugasudah jatuh dalam dosa. Kondisi demikian sebenarnya bukanlah kondisi ideal calon partner pelayanan. Kondisi dalam dosa bukan saja membuat manusia sulit melakukan kehendak Tuhan, tetapi bahkan seringkali merusakkannya. Bukankah sejarah pada akhirnya membuktikan kebenaran dari poin ini?! Simon Petrus yang dipilih tetap gagal, ia menyangkali dan mengutuki Yesus Kristus (lih. Mrk. 14:71).

Kedua, problem kelambanan belajar. Perjumpaan Petrus dengan Tuhan Yesus dalam bagian ini bukan perjumpaan pertama. Kalau kita melihat kepada catatan Yohanes, maka Petrus sudah berjumpa dan belajar dari Yesus sendiri (Yoh. 1:20). Dan perjumpaan kali ini bukan juga kali pertama Petrus melihat kuasa Allah yang Yesus nyatakan. Di dalam Lukas 4:38-41, Tuhan Yesus sudah pernah menyembuhkan ibu mertua Simon Petrus. Sehingga, sudah seharusnya Petrus mengetahui “kehebatan” meski belum secara jelas mengenal keilahian-Nya. Kelambanan belajar ini juga ditunjukkan dalam banyak catatan Injil dan Kisah Para Rasul. Bagaimana para murid tetap kebingungan (tanda tidak percaya) bagaimana memberi 4000 orang makan, padahal Yesus Kristus sudah pernah memberi makan 5000 orang laki-laki saja dengan 5 roti dan 2 ikan di depan mata dan menggunakan tangan mereka untuk membagikannya?! Bagaimana para murid yang sudah melihat Yesus mati dan bangkit, tetap saja memikirkan pemulihan politik dan bukan rindu menyatakan kerajaan Allah kepada semua orang?!

Ketiga, problem kemahakuasaan Allah. Tentu saja Allah sanggup untuk melakukan semua pekerjaan- Nya sendirian. Bahkan jika Ia menghendaki keterlibatan yang lain, Allah dapat meminta malaikat, makhluk surgawi, untuk melakukan seluruh pekerjaan tersebut. Dengan demikian, tidak ada poin penting Allah melibatkan manusia untuk melakukan pekerjaan-Nya.

Gabungan dari ketiga masalah di atas memberikan gambaran betapa sulitnya seharusnya kondisi Yesus untuk melibatkan manusia di dalam pekerjaan pelayanan-Nya.

Yang menarik, Tuhan Yesus tidak pernah menyerah pada manusia. Di dalam segala kemungkinan kegagalan (yang sebenarnya merupakan kepastian) yang sangat besar, Tuhan Yesus tetap datang kepada Petrus dan mengundangnya untuk menjadi murid dan turut melakukan pekerjaan yang Ia hendak kerjakan dan lakukan (lih. Lk. 5:10; bdk. Mat. 4:19). Bukan hanya satu kali, tetapi dua kali. Di dalam Yohanes pasal 21, di lokasi yang sama (meskipun mungkin bukan di titik yang sama persis) di pantai danau Tiberias, peristiwa serupa terjadi. Bukan hanya mengenai banyaknya tangkapan ikan, tetapi juga panggilan Tuhan Yesus terhadap Petrus, “Ikutlah Aku!” (bdk. Mat. 4:19 dan Yoh. 21:19).

Yang menjadi pertanyaan adalah apa yang membuat Tuhan tidak menyerah kepada manusia? Pertama, karena kasih-Nya. Kasih setia-Nya yang baru setiap pagi, yang panjang sabar dan berlimpah dengan pengampunan itulah yang membuat Ia tetap mau memakai kita yang lemah, terbatas, dan lamban ini. Kedua, demi relasi. Tujuan akhir Allah bukan sekadar menyelesaikan tugas, tetapi justru mentransformasikan kehidupan. Sehingga, kepercayaan yang Allah berikan kepada manusia sebenarnya merupakan cara Allah membentuk dan menjadikan setiap pribadi semakin serupa dengan Yesus Kristus. Ketiga, karena kuasa-Nya. Alkitab mengajarkan dengan jelas bagaimana Allah berkuasa bukan hanya menjadikan sesuatu hal yang baik, tetapi mengubahkan hal yang buruk untuk mendatangkan kebaikan dan memenuhi rencana-Nya. Sehingga tidak mungkin ada kegagalan, bahkan pemberontakan manusia yang bisa merusakkan rancangan-Nya yang indah dan mulia.

Kini, pertanyaannya adalah apa yang harusnya menolong kita untuk bisa percaya kepada Allah, di tengah-tengah kondisi hidup yang tidak mudah, bahkan di tengah adanya resiko kesulitan hidup dan ancaman ketika kita harus setia kepada Dia dan firman-Nya?

Pertama, diingatkan oleh kasih-Nya. Karya kasih dalam kayu salib harusnya menjadi bukti terkuat dan tidak terbantahkan mengenai besarnya kasih Allah yang diberikan kepada manusia. Jika Allah Bapa tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua, bagaimanakah mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia? (Rm. 8:32).

Kedua, didorong demi relasi kasih. Sama seperti ketika kita sedang ada dalam sebuah perjalanan dari satu kota ke kota lain, kesenangan dan kebahagiaan hanya akan kita rasakan sejenak ketika kita meletakkan sumber kebahagiaan pada posisi tiba di tujuan. Bahkan, di bandingkan dengan rasa bosan dan menderita di tengah perjalanan, maka kesenangan yang didapatkan tidak ada artinya. Tetapi ketika kebahagiaan hidup justru kita letakkan pada perjalanan bersama dengan Tuhan, maka kebahagiaan bukan hanya dirasakan nanti, tetapi juga terjadi dan dirasakan dalam proses yang sulit dan berat.

Ketiga, ditakjubkan karena kuasa-Nya. Bahkan kalaupun proses perjalanan memang membawa ke dalam situasi yang tidak mudah, kuasa Allah yang besar dan sanggup mengubah hal yang buruk untuk mendatangkan kebaikan itu akan membuat kita semakin terkagum-kagum akan Dia dan hidup menikmati-Nya. Berjalan melangkah bersama dengan Dia akan membuat kita mengenal Dia lebih baik dan mengenal kekuasaanNya sehingga kita dapat semakin menyandarkan kehidupan kita kepada Allah yang sanggup untuk dipercayai. Sebab itu ditengah-tengah tantangan hidup dan mengikut Dia yang penuh dengan konsekuensi marilah kita terus mengiring Dia, berjalan bersama Dia dan ditopang anugerahNya sehingga kita bisa melihat pekerjaan Tuhan yang ajaib yang memberkati dan menolong kita.