Preach The Gospel to Yourself

The Book Of Galatians Week 26 "Preach The Gospel To Yourself" 

Ps. Natanael Thamrin

PEMBACAAN : Galatia 5:26-6:5

Pernahkah kita mendengar perkataan semacam ini: ‘kamu perlu memperhatikan orang lain yang sukses supaya itu memotivasi kamu untuk bekerja lebih keras. Kalau mereka bisa sukses, mengapa kamu tidak?’ Mungkin ini terdengar nasihat yang bijak, tapi ternyata belum tentu. 


Nasihat seperti ini bisa membuat kita mudah iri hati, minder bahkan frustrasi jika kita tidak mengalami apa yang dikatakan. Namun sebaliknya, jika itu memang terjadi maka mudah juga bagi kita untuk merasa tinggi hati bahkan lupa diri dan merendahkan orang lain. 
Lalu, bagaimana Injil memberi jawaban dan jalan keluar atas kedua ‘tension’ ini? Bagaimana Injil menolong kita untuk memiliki konsep identitas diri yang sehat dan dimampukan untuk keluar dari jerat perasaan iri hati dan tinggi hati?

          1. MENGAPA KITA YANG SUDAH PERCAYA PERLU MENGKHOTBAHKAN INJIL KEPADA DIRI SENDIRI? 

Kita menghadapi sebuah realitas bahwa setelah percaya Yesus maka hidup kita tidak selalu baik-baik saja. Adakalanya hari-hari kita tidak berjalan seperti yang kita inginkan dan rencanakan. Juga adakalanya kita masih bergumul dengan keinginan daging atau dosa yang menguasai hati kita. Demikian pula kehidupan jemaat di Galatia yang sudah percaya pada Kristus pun juga masih bergumul di dalam keinginan dosa yang menguasai hati mereka. Hal ini terlihat sangat jelas dalam ayat 26 

Galatia 5:26

‘dan janganlah kita gila hormat, janganlah kita saling menantang dan saling mendengki.’ 

Paulus menutup pasal 5 ini dengan memberikan nasihat supaya jemaat di galatia jangan gila hormat, jangan saling menantang dan saling mendengki. Beberapa penafsir menduga bahwa di dalam kehidupan jemaat terjadi hal yang demikian dimana: ada orang-orang Yahudi yang merasa lebih baik dan merasa lebih taat kepada hukum Taurat dibandingkan dengan orang-orang non Yahudi yang baru saja bertobat sehingga mereka merendahkan orang-orang non Yahudi. Tetapi disisi lain ada orang-orang non Yahudi yang merasa iri kepada orang-orang Yahudi yang dianggap mendapat penerimaan lebih dari ahli-ahli taurat dibandingkan mereka sehingga mereka merasa rendah diri. Keadaan ini memperlihatkan kepada kita bahwa ternyata kehidupan orang yang sudah percaya, tidak lepas dari sebuah kecenderungan dosa. dan dalam ayat ini, ada dua kencenderungan yang nampak jelas dimana bentuk gila hormat disini dijelaskan lewat dua sifat lain yaitu yang satu saling menantang alias provocative dan yang satu lagi saling mendengki (envious). Sikap menantang bisa dipahami sebagai sebuah sikap seseorang yang dengan yakin merasa lebih superior atau lebih unggul daripada orang lain dan memandang rendah orang lain yang dianggap lebih lemah(looking down). Sedangkan sikap mendengki adalah sebuah sikap dimana seseorang menyadari kelemahannya lalu merasa inferior dan memandang orang lain selalu lebih tinggi daripada dirinya (looking up).

Kedua kecenderungan ini sangat mungkin kita alami. Ketika kita merasa lebih unggul dari orang lain kita sangat mungkin merendahkan atau tidak menganggap orang tersebut. Atau ketika kita merasa lebih lemah dari orang lain maka sangat mungkin kita menjadi iri dan mengasihani diri lalu akhirnya menutup diri dari orang lain. Kedua sikap ini bukanlah respon yang benar dari lensa Injil karena Injil tidak membuat kita merasa lebih baik dari orang lain tetapi pada saat yang sama juga tidak membuat kita terus tenggelam dalam perasaan mengasihani diri. Timothy Keller mengatakan: 

A. Karena Hanya Injil Yang Dapat Membuat Kita Tidak Berbangga Diri Ataupun Merasa Rendah Diri Tetapi Justru Dapat Percaya Diri Dan Pada Saat Yang Sama Dapat Rendah Hati. (Only the gospel makes us neither self-confident nor self- disdaining, but both bold and humble.)

Inilah alasan pertama mengapa kita perlu mengkhotbahkan Injil kepada diri kita sendiri. Secara praktis ketika kita mendapati diri bahwa ada orang yang merendahkan kita dan kita menjadi sangat down maka kita  perlu mengkhotbahkan Injil kepada diri anda sendiri bahwa pendapat orang tersebut bukanlah hal yang menentukan keberhargaan diri kita melainkan penerimaan Kristus atas diri kitalah yang menjadi identitas kita dan Kristus tetap melihat kita sebagai anak-anaknya yang berharga. Atau ketika kita mendapati diri kita punya kecenderungan merendahkan orang lain karena mungkin performanya bagi kita masih tidak memuaskan maka kita juga perlu mengkhotbahkan Injil kepada diri sendiri  bahwa sesungguhnya dihadapan Tuhan performa yang kita anggap baik pun tidak sanggup memuaskan Tuhan dan kita juga adalah orang yang sesungguhnya tidak layak menerima kasih karunia Allah namun diterima dan mendapatkan kasih karunia yang sangat berharga. Sehingga yang keluar dari perkataan kita bukanlah perkataan yang kasar atau merendahkan melainkan kita melihat orang tersebut dengan kacamata belaskasihan.

Lebih lanjut, Paulus kemudian memberikan nasihat lain kepada jemaat Galatia dalam pasal 6 ayat 1

Galatia 6: 1

‘Saudara-saudara, kalaupun seorang kedapatan melakukan suatu pelanggaran, maka kamu yang rohani, harus memimpin orang itu ke jalan yang benar dalam roh lemah lembut, sambil menjaga dirimu sendiri, supaya kamu juga jangan kena pencobaan.’  

Dalam ayat ini Rasul Paulus ingin orang-orang percaya di Galatia untuk tidak menjalani hidup sebagai sebuah persaingan atau pertandingan untuk melihat siapa yang paling saleh, taat, atau yang paling benar melainkan sebagai saudara/i yang saling mendukung satu sama lain untuk menghidupi iman kepada Kristus di dalam dunia.

Mungkin kita tidak melihat relasi dengan saudara-saudari seiman sebagai sebuah persaingan atau pertandingan tetapi seringkali kalau mau jujur kita apatis atau cuek dengan orang lain atau mungkin sedikit lebih baik adalah kita mungkin mau bersosialisasi tetapi tidak mau berelasi. Matt Chandler dalam bukunya Creature Of The Word pernah mengungkapkan:  “Teknologi memungkinkan manusia terhubung dan bersosialisasi satu sama lain dengan lebih mudah. Tetapi ‘connectivity does not equate to community.’ Dapat terhubung dengan orang lain tidak secara otomatis menandakan relasi yang dekat dan mendalam.”

Jika kita ingin terhubung dengan orang lain tanpa tertanam dalam komunitas maka yang perlu kita lakukan hanyalah dengan pergi ke sebuah kedai kopi dan duduk disana sambil tersenyum dengan orang lain dan sedikit basa-basi dengan orang yang duduk disamping kita. Mungkin kita akan terhubung tetapi tidak berelasi.  Atau mungkin kita dapat bersama tetapi tetap merasa sendirian. 

Ironisnya, hal ini juga seringkali terjadi dengan kehidupan bergereja. Kita ada di dalam ruangan yang sama, memuji Tuhan dengan pujian yang sama, mendengarkan khotbah yang sama tetapi setelah ibadah kita sangat mungkin tetap merasa sendirian karena tidak ada seorangpun yang menyapa kita. Sangat mungkin kita merasa down dan mulai iri dengan orang-orang yang punya komunitas. Atau untuk kita yang sudah berkomunitas sangat mungkin anda hanya ingin ngobrol dengan orang-orang yang ada di dalam komunitas kita namun enggan untuk menyapa orang lain yang duduk di samping kita yang mungkin baru kita lihat hari itu dan di dalam hati kita mulai berkata: makanya, gabung CG biar ada teman. Kedua kecenderungan ini menunjukkan gejala yang sama dengan dua kecenderungan yang baru saja kita lihat dalam ayat 26 yaitu saling mendengki dan saling menantang.  Sebab itu kita perlu terus mengkhotbahkan kepada diri kita akan Injil, karena… 

B. Karena hanya Injil yang telah dan akan terus mengikat serta mempersatukan kita sebagai satu tubuh di dalam Kristus. (Gal 6: 1)

Galatia 6: 1

Saudara-saudara, kalaupun seorang kedapatan melakukan suatu pelanggaran, maka kamu yang rohani, harus memimpin orang itu ke jalan yang benar dalam roh lemah lembut, sambil menjaga dirimu sendiri, supaya kamu juga jangan kena pencobaan.

Kalau mau jujur lagi mana yang jadi kecenderungan kita ketika mendapati seseorang melakukan pelanggaran atau melakukan dosa? Apakah kita cepat untuk menghakimi atau mengkritik malas untuk menegur atau mengingatkan? Di dalam natur kedagingan kita, kita sering terjebak di dalam dua sikap ini yaitu cepat untuk menghakimi seolah-olah kita seperti polisi yang bertugas menyatakan kebenaran namun malas menegur ibarat tetangga yang masa bodoh. Atau cepat untuk menghakimi mungkin bukan dengan makna literal tetapi bisa juga dengan sebuah postur seperti perumpamaan yang diberikan Yesus dalam Lukas 18 tentang orang Farisi dengan pemungut cukai dimana ketika orang Farisi itu berdoa dia mengatakan: ya Allah aku mengucap syukur kepadamu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cuka ini (Lukas 18:11). Postur yang seperti ini juga memperlihatkan bahwa kita juga ternyata malas menegur atau mengingatkan orang lain tetapi justru membanggakan diri atas kegagalan atau kejatuhan orang lain. Coba kita balik, bagaimana jika kita yang kedapatan jatuh di dalam sebuah pelanggaran atau dosa sikap atau respon apa yang kita inginkan dari orang lain? Tentunya kita ingin diterima dan juga dibimbing. Disinilah Injil memberikan jawaban atas kedua kecenderungan hati kita ini. 

Galatia 6:1

‘Saudara-saudara, kalaupun seorang kedapatan melakukan suatu pelanggaran, maka kamu yang rohani, harus memimpin orang itu ke jalan yang benar dalam roh lemah lembut, sambil menjaga dirimu sendiri, supaya kamu juga jangan kena pencobaan.’ 

Apa arti maka kamu yang rohani? Apakah ini hanya untuk kaum elit atau rohaniawan? Paulus disini tidak sedang membuat sebuah struktur rohani dimana hamba Tuhan lebih rohani dan jemaat rohaninya biasa saja. Paulus disini berbicara kepada setiap pribadi yang ada di dalam Kristus dan yang hidupnya dipimpin oleh Roh. Artinya tanggungjawab ini adalah untuk setiap orang percaya. Lalu bagaimana setiap kita merespon jika mendapati orang melakukan dosa atau pelanggaran? 

Dalam ayat tadi Paulus mengatakan: kita harus memimpin orang itu ke jalan yang benar. Kata memimpin disini lebih tepat diterjemahkan memulihkan atau restore yang dapat dimaknai seperti ‘menempatkan kembali bagian tulang yang dislokasi. Dan untuk mengembalikan bagian tulang yang dislokasi pasti akan menimbulkan rasa sakit, tetapi itu adalah rasa sakit yang menyembuhkan. Ini berarti bahwa ketika ada seseorang yang kedapatan melakukan pelanggaran maka kita perlu berkonfrontasi dengan orang tersebut dengan tujuan mendorong orang tersebut mengalami perubahan hati tetapi konfrontasi yang kita lakukan ditandai dengan sikap lemah lembut. Atau dalam kata lain bahwa komunitas Injil menyadari keberadaan dosa dan menerima (tidak menghakimi) pengakuan (confession) orang yang berdosa tetapi tidak menganggap perbuatan dosa sebagai hal yang dapat dikompromikan apalagi untuk diulangi terus menerus.

Hal ini sejalan dengan hastag gereja kita yaitu: bukan tempat untuk orang sempurna tetapi kita semua disempurnakan oleh kuasa Injil dan kasih karunia Kristus. Kesadaran ini dapat dimungkinkan jika kita juga mawas diri atas godaan dosa. Paulus mengatakan: sambil menjaga dirimu sendiri, supaya kamu juga jangan kena pencobaan. Akan sulit untuk kita memulihkan orang lain jika kita merasa tidak akan melakukan dosa yang sama karena disana akan muncul sikap superioritas yang ujungnya justru membuat kita merasa lebih benar dari orang tersebut. Sebab itu kita perlu terus mengkhotbahkan Injil kepada diri kita sendiri karena… 

C. Karena hanya Injil yang sanggup memulihkan kehidupan orang berdosa dan menguatkan orang percaya untuk hidup dalam kebenaran. 

Roma 1: 16 – 17

Sebab aku mempunyai keyakinan yang kokoh dalam Injil, karena Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya, pertama-tama orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani. Sebab di dalamnya nyata kebenaran Allah, yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman, seperti ada tertulis: "Orang benar akan hidup oleh iman.”

          2. BAGAIMANA KITA MENGKHOTBAHKAN INJIL KEPADA DIRI SENDIRI?

A. Melalui komunitas Injil yang Tuhan sediakan sebagai salah satu sarana anugerah dalam hidup orang percaya. 

Galatia 6:2

‘Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus.’

Ayat ini mengungkapkan bahwa kita perlu terhubung satu dengan yang lain. Dan dengan kita terhubung satu sama lain maka kita dapat saling bertolong-tolongan. Untuk bertolong-tolongan menanggung beban tidak bisa hanya dengan berteriak dan menyemangati seseorang dari jauh. Jika ini yang terjadi maka kita hanyalah seperti seorang penonton yang sedang memberikan sorak-sorai dan menyemangati 11 orang yang sedang bertanding dalam sebuah pertandingan sepakbola melawan 11 orang dari tim lain. Kita tidak dipanggil untuk jadi penonton tetapi menjadi pemain yang dimana kita dapat hidup saling bertolong-tolongan satu sama lain. Atau dengan kata lain bahwa kita perlu berada di dekat orang yang sedang mengangkat bebannya seorang diri dan menempatkan kekuatan kita bersama-sama dengan orang tersebut sehingga berat dari beban itu tersalurkan dan meringankan beban orang lain. Jadi bagaimana kita mengkhotbahkan Injil kepada diri sendiri? Sarananya ialah komunitas Injil dimana dalam komunitaslah kita dapat merefleksikan kembali kebenaran Injil bersama dengan orang lain. 

Apa arti memenuhi hukum Kristus?

Apakah ini berarti dengan kita berkomunitas atau melayani maka kita lebih baik dan lebih saleh daripada orang lain? Tentu tidak. Karena kita semua sadar bahwa memiliki komunitas dan melayani itu adalah anugerah Allah dalam hidup kita. Dalam konteks surat Galatia, Paulus mengatakan bahwa dengan bertolong-tolongan menanggung beban maka kamu memenuhi hukum Kristus, maka ada kemungkinan disini Paulus sekali lagi memberikan pukulan telak kepada para Judaizers dan guru-guru palsu yang mencoba membuat orang-orang kristen di Galatia berada di bawah tuntutan hukum Taurat.

Paulus dengan tegas mengatakan kepada jemaat di Galatia bahwa daripada mereka menempatkan diri dibawah tuntutan memenuhi hukum taurat yang jelas-jelas tidak mungkin dapat mereka penuhi maka …

Seharusnya dengan mereka saling bertolong-tolongan mengangkat beban orang lain itu berarti mereka menghidupi perintah yesus sebagaimana yang dinyatakan dalam Injil Yohanes pasal 13:34-35 yang mengatakan: 

‘Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi.’ 

Dengan demikian, ketika kita saling bertolong-tolongan maka itu justru menunjukkan sebuah respon atas kasih karunia Allah yang terlebih dahulu mengasihi kita dan yang telah menyelamatkan kita. Dan ini sejalan dengan apa yang Rasul Paulus katakan dalam ayat 3 bahwa :

Sebab kalau seorang menyangka,bahwa ia berarti, padahal ia sama sekali tidak berarti, ia menipu dirinya sendiri. (Galatia 6:3)

Meresponi ayat ini maka Tim Keller mengatakan; “ Jadi, ‘jika seseorang berpikir bahwa dirinya 
berarti padahal sebenarnya bukan siapa-siapa’ (if anyone thinks he is something when he is nothing) maka mereka akan selalu menganggap kepentingan diri mereka lebih penting daripada orang lain dan gagal untuk memperhatikan serta membantu orang lain.

Perkataan Tim Keller ini ingin menunjukkan bahwa cara kita memperlakukan orang lain sangat bergantung pada apa yang kita pikirkan tentang diri kita sendiri. Jika seseorang menilai dirinya dari segala sesuatu yang dia capai dan merasa bahwa apa yang ada padanya hari ini karena seluruh kerja kerasnya maka sangat mungkin dia terlalu egois untuk memberi diri dalam melayani dan membantu orang lain. Melayani dan membantu orang lain dipandang sebagai sebuah hal yang merendahkan harga dirinya. Padahal kalau kita mau kembali pada apa yang yesus katakan dalam Yohanes 15:5 maka disana kita mendapati bahwa 

‘Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa.’ 
 

Jadi, jika kita bisa saling bertolong-tolongan kita perlu mengingat kebenaran ini bahwa itu semata-mata karena Allah yang memampukan dan menopang kita. 

B. Dengan mengingat bahwa hanya di dalam Kristus kita menjadi berharga dan hanya melalui kasih karunianya maka kita ada sampai hari ini. (Gal. 6: 4)

Galatia 6: 4

‘Baiklah tiap-tiap orang menguji pekerjaannya sendiri; maka ia boleh bermegah melihat keadaannya sendiri dan bukan melihat keadaan orang lain.’ 

Ayat 4 secara khusus terkesan kontradiktif dengan ayat 3 tadi yang memberitahu bahwa kita ini nothing. tetapi di ayat 4 ini seolah-olah Paulus berkata bahwa kitab oleh bermegah dengan keadaan kita sendiri. Lalu apa maksudnya? Disini kita masuk point selanjutnya ..

          3. INJIL APA YANG KITA KHOTBAHKAN KEPADA DIRI SENDIRI? 

Dalam Galatia 6:4  maka Paulus tidak sedang berkontradiksi terhadap apa yang dikatakannya. Justru Paulus ingin mengungkapkan bahwa sekarang ini kita hidup pada sebuah ketegangan diantara sebuah keadaan bahwa kita ini nothing tetapi pada saat yang sama kita ini something. atau dalam bahasa Martin Luther ialah bahwa kita ini orang benar tetapi juga orang berdosa. Sayangnya, dalam realitas kecenderungan kita justru seringkali merasa paling benar tanpa dosa atau merasa berdosa tanpa layak menerima kebenaran Allah.

Realitas ini menyatakan dan kembali menyadarkan kita semua bahwa kita perlu terus menerus mengaklibrasi pemahaman kita tentang Injil setiap hari. Dalam perenungan kita,  disini nyata sebuah kebenaran bahwa saling bertolong-tolongan menanggung beban adalah cara Kristus hidup.

Markus 10:45

‘Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.’ 

Disini Yesus tidak hanya menunjukkan keteladanan dalam melayani serta saling bertolong-tolongan dan supaya kita menjadikan yesus sebagai teladan kita saja. Celakanya banyak orang Kristen hanya berhenti disini dan akhirnya merasa superior atau arogan ketika berhasil melakukan tetapi juga menjadi inferior atau minder ketika gagal menghidupi.Tentu kita tidak boleh berhenti disini. Justru kita perlu kembali melihat kepada karya Kristus yang dikerjakannya bagi kita yang tidak mampu dan gagal dalam memenuhi hukum Kristus. Perhatikan ini.
Yesus tidak hanya menunjukkan keteladanan dalam hal melayani dan bertolong-tolongan melainkaN Yesus justru yang menanggung beban hukuman dosa dan rela tergantung di atas kayu salib menggantikan kita yang seharusnya menerima ganjaran hukuman atas pemberontakan dan dosa kita. 

Yesaya 53:4-6 sudah menubuatkan hal ini bahwa:

4 Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya, padahal kita mengira dia kena tulah, dipukul dan ditindas Allah. 5 Tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh. 6 Kita sekalian sesat seperti domba, masing-masing kita mengambil jalannya sendiri, tetapi TUHAN telah menimpakan kepadanya kejahatan kita sekalian.

Inilah keindahan Injil yang perlu kita khotbahkan setiap hari yaitu Yesus yang tidak berdosa justru harus menanggung hukuman dosa yang seharusnya ditimpakan kepada kita. Yang paling benar harus tergantung diatas salib menerima murka Allah atas kesalahan yang kita perbuat. Yang seharusnya menerima kemuliaan tertinggi justru mengalami penolakan dan penghinaan terbesar untuk menggantikan kita yang seharusnya tertolak oleh Allah. Yang adalah anak Allah justru menjadi seorang hamba agar kita yang adalah hamba dosa dapat diangkat menjadi anak-anak Allah. 

Pertanyaan Reflektif

  • Kapan terakhir kali kita merenungkan keindahan karya Kristus dengan sungguh-sungguh secara pribadi dan mengaplikasikannya dalam hidup sehari-hari?
  • Jika kita sadar bahwa kita semua dipersatukan oleh Kristus, lalu mengapa kita masih sering membeda-bedakan orang lain?
  • Mengapa seringkali kita sulit dalam hidup bertolong-tolongan dengan sesama? Dan bagaimana kita mengatasi hal ini?

Gospel Response

  • Bertobatlah dari kecenderungan hati yang sering merasa diri paling benar (superior) dan merasa diri tidak berharga (inferior)
  • Temukanlah dan ingatlah akan keindahan kasih serta karya penebusan yang telah kita terima di dalam Kristus.

IMPLIKASI Karena Injil …

  • Kita dapat merasa berharga dan dikasihi tetapi tidak menjadi sombong dan rendah diri.
  • Kita dimampukan untuk hidup dalam kebenaran tanpa merasa yang paling benar ketika sanggup melakukannya.
  • Kita dapat berbagi beban kepada orang lain tanpa merasa malu karena takut direndahkan.
  • Kita dapat menanggung beban orang lain tanpa merasa paling kuat karena sadar bahwa kekuatan kita dari Kristus yang memampukan kita.